Ads

Sunday, February 24, 2019

Jaka Lola Jilid 049

Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti. Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bermuka hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar.

Biarpun mukanya bopeng dan buruk, namun sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Keduanya saling pandang seakan-akan mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata.

Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, karena dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Adapun dua orang yang lain adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai.

Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya Kemudian setelah mendengar bahwa suhengnya itu berada dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, dia mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai dan berbahayanya suheng temannya itu.

Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun. Tosu ini sedang menuju ke Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka lalu mengadakan perjalanan bersama? Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.

“Thian Ti Sute, mau apa kau datang kesini?” Bhok Hwesio menegur sutenya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.

“Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-lim-si,” jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.

Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.

“Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si.”

“Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang.”

“Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan kepadaku sudah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!”

“Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Tugas harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa. Dan kaupun cukup maklum, lebih maklum daripada siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, kalau kau minta diri dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi ketua itu tentu akan meluluskanmu.”

“Thian Ti! Kau tonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?”

“Ini pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kalau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?”

Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. la maklum bahwa sutenya ini memiliki kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, juga terkenal sebagai seorang ahli Iweekang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sutenya ini.

“Bhok-taisuhu, menghadapi adik seperguruan yang cerewet, mengapa masih terlalu banyak sabar?” tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kiri Bhok Hwesio. “Kalau mau bicara tentang ketaatan, seorang adik seperguruanlah yang seharusnya taat kepada suhengnya!”

“Ha-ha-ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukanlah anak kecil, bagaimana bisa bersikap begini tak tahu malu, mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?” Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.






Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw.

“Eh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?”

“Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai.”

“Eh, keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana bisa ikut campur? Tosu Kun-lun selamanya sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, tosu cilik, berani kau menentangku?”

“Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran!”

“Kalau kau mencari perkara, pinto tidak akan mundur setapak pun!” jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.

Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak.
“Bagus, kau sudah bosan hidup!”

Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi makin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara “kok-kok-kok!” dan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.

“Hemmm…. pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut disini…..?”

Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan depan dan tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia telah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat.

Namun, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkangnya, sehingga biarpun dia telah terpukul dan roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas disaat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.

“Iblis jahat!” serunya dan tubuhnya sudah melayang maju, sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.

Akan tetapi sekali lagi terdengar suara “kok-kok-kok!” dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!

Pucat muka Leng Ek Cu, tokoh Kong-thong-pai saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebat sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya dapat terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.

“Keji….. keji sekali…..” katanya sambil melangkah maju. “Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apalagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!”

Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.

Akan tetapi tiba-tiba dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.

“Heh, siapa kau? Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!” bentak tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.

Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing.

“Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku. Maharsi orang bodoh dari barat.”

Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan telinga, kedua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukan kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!

Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai, ilmu pedangnya merupakan ilmu pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, juga dia memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat Sung Bi Tosu.

Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tidak berani memandang rendah dan tidak mau menyambut langsung. la mengandalkan ginkangnya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju kearah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!

Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikitpun juga agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya Karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala lawan.

Hebat memang pendeta ini, karena begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya, selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya sehingga kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!

Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andaikata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan sedemikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti. Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.

“Bagus!”

Maharsi berseru gembira. Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, makin gembiralah hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mujijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lemas dan lincah, sungguhpun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.

Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengan bergerak, kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepuluh buah jari itu bergerak-gerak seperti ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata, sepuluh batang jari itu bergerak-gerak cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!

Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya makin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.

Maharsi makin kuat saja, kini hawa pukulan yang dapat menyelinap diantara sambaran sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan jarum-jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanya merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya.






No comments:

Post a Comment