Ads

Sunday, February 24, 2019

Jaka Lola Jilid 048

Lee Si sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mengukur tenaga yang bertanding, tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepat “menunggangi” tenaga gabungan si Jangkung dan si pendek, terus ia mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.

Benar saja perhitungannya, Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa kalau dilanjutkan adu sinkang ini dengan dikeroyok dua, dia akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena fihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.

Begitu terlepas daripada gencatan dari kedua fihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkangnya dan melompat dengan selamat keatas tanah. Sedikitpun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup biarpun baru saja ia terbebas daripada ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.

“Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya sebaliknya, datang-datang kau menghina. Terang bahwa kau sengaja hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah kepada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapapun kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!”

Bhok Hwesio tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukan orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang! Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, muka demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!

“Siapa kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekalipun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!”

Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya. Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.

“Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!”

Di “bakar” seperti itu, Bhok Hwesio tersinggung keangkuhannya. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya dan berkata,

“Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul daripada kalian!”

Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang meniupkan angin pukulan seperti taufan.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin terkejut, akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis, dengan gerakan lengan dari atas ke bawah sedangkan Bo Wi Sianjin sudah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara kok-kok-kok seperti katak buduk. Di lain saat, tiga orang sakti ini suah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan mengandung sinkang dan Iweekang yang dapat membunuh lawan dari jarak jauh!

Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga orang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.

“Hendak lari kemana kau, bocah liar?”

Suara ini adalah suara Bhok Hwe-sio dan tiba-tiba hawa pukulan yang dahsyat menyambar kearah Lee Si. Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan…..

“brakkk!” pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!

Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.

“Huh, kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?”






Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat kesana kemari dengan cepat.

“Ah, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf….. maaf…..”

Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini menghentikan serangannya.

Lee Si kaget dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti ia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkangnya.

Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri kekiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lele Meloncat) ia menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan jarum perak kearah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya. Dalam keadaan terpojok, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.

Penyerangan Lee Si dengan jarum jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang ia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang ia telah mahir dengan Ilmu Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki). Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan.

Biarpun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang kearah bagian-bagian berbahaya di perut, dada, leher, dan mata. Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan serangan.

Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang tahu bahwa tak mungkin ia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.

“Eh, kau anak Hoa-san-pai?”

Bhok Hwesio berseru ketika lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat ia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.

“Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?”

Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum. Kini karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian-ho-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja amat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jairum itu tersebar mekar seperti payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.

“Ho-hoh-hoh, siapa takut Hoa-san-pai?”

Bhok Hwesio berseru, tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan dilain saat dia telah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau meluncur kedepan, menangkis jarum-jarum itu sehingga dilain saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh keatas tanah.

Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya hwesio itu luar biasa sekali kepandaiannya, sudah amat tinggi, malah lebih tinggi daripada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia.

Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan Ilmu Cek-yap-hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi dengan hanya rumput-rumput dan daun yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si.

Namun Lee Si tidak menjadi gentar atau putus asa, cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang ia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.

Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli, namun malah lebih hebat! Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung oleh ilmu pedang ini, karena kadang-kadang mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi dilain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris daripada Ilmu Im-yang-sin-hoat.

Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman “penebus dosa” dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang-sin-hoat. Maka sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula sehingga Lee Si sebentar saja terdesak hebat!

Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat tinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya.

Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang mempunyai ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi. Kalau dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh.

Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar kedua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Gulungan sinar itu seperti lingkaran besar yang amat kuat, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit.

Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit. Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya, ia tahu bahwa akhirnya ia takkan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!

“Hayo kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan ketua Thai-san-pai!” berkali-kali Bhok Hwesio membentak karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.

Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat bailk kakeknya Si Raja Pedang, akan tetapi iapun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati daripada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti yang bernama besar.

“Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-san-pai adalah kakekku!”

Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.

“Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!” tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.

“Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!” Maharsi menyambung.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang diantara mereka berseru,

“Bhok-suheng, tahan…..!”

Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah seperti kerbau mendengus, akan tetapi dia mundur dan Lee Si merasa terhindar daripada tekanan hebat. Wajahnya pucat, mukanya yang cantik penuh keringat, akan tetapi sepasang matanya berapiapi penuh ketabahan.






No comments:

Post a Comment