Ads

Saturday, February 23, 2019

Jaka Lola Jilid 045

Tan Kong Bu dan isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri Kui-san-jin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat.

Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san sehingga kelak terkenal munculnya sebuah partai persilatan baru, yaitu Min-san-pai.

Biarpun belasan orang anak murid Min-san-pai merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru mereka.

Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan Lee Si. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun, cantik dan berwajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biarpun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri dengan teguh diatas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putuskan dan laksanakan sendiri sehingga biarpun masih amat muda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.

Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun!

Adapun dari ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena ia menerima gemblengan dari ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja faham akan kedua ilmu itu, malah kedua ilmu yang sudah mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai.

Ayahnya memberi hadiah sebatang pedang yang bersinar Kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama pedang Oei-kong-kiam. Adapun ibunya, seorang ahli senjata rahasia Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak). Tidak sembarang ahli silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara menggunakan harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.

Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang rumahnya. Sejak kemarin ia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san-kiam-sut jurus ke lima.

Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan sehingga kalau kedua Jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh. Akan tetapi Lee Si menemui kesulitan. Tiap kali ia mainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia menyarungkan pedangnya di punggung, lalu berdiri tegak dan mengumpulkan napas, suatu ilmu berlatih napas secara aneh yang diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, ia membuka matanya dan menarik napas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,

“Anak baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki-hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)? Jurusmu terlalu kacau dan berbahaya, kalau diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri.”

Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun kurang lebih duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada disana tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Lee Si berpemandangan luas, biarpun hatinya tak senang ada orang tak terkenal berani menegur dan malah memberi nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu memandang rendah, namun ia dapat menekan perasaannya dan berkata,

“Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada disini mengintai orang?”

Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri.
“Aku adalah sahabat baik ayahmu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu.”






Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.

”Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, mengapa tidak langsung masuk dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani melayanimu lebih jauh.”

Orang itu tertawa.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang hati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beritahukan ayahmu bahwa….. ah, itu dia sendiri datang!”

Lee Si menengok dan kagumlah ia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja bayangan ayahnya berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok diatas pagar tembok, ia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,

“Haiii….. bukankah suheng (kakak , seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?”

Suara Kong Bu keras dan nyaring. Pendekar ini biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.

“Lihat siapa yang datang berkunjung ini!” Kong Bu berseru.

Wanita itu berdiri memandang, lalu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu bersinar-sinar.

“Ah, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!” Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.

Lee Si menjadi girang sekali, la cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu.

“Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurang-ajaran saya tadi.”

“Wah, kau anak nakal. Apakah kau sudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?” bentak Kong Bu.

“Eh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang.”

“Bagus sekali! Hayo cepat kau haturkan terima kasih kepada Supekmu atas petunjuknya yang berharga!” kata Li Eng kepada puterinya.

Lee Si kembali menjura dengan hormat.
“Supek, saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan.”

Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya keatas.
“Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaiannya, kiranya bermodal sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi belum tampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima kasih?”

“Supek, sesungguhnya sudah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu, belum menemui jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak bernapas.”

“Kau memang bandel!” Kong Bu mencela puterinya. “Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak dahulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?”

“Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?”

“Eh, anak gila…..!” Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.

“Ha-ha-ha, anak kalian ini rnemang benar. Biarpun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan inilah yang menjadikan segala apa di duma ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah disebut TO)? Kekuasaaan alam bekerja dengan dasar Im Yang dua unsur berlawanan yang saling menarik, juga saling menolak, saling menghancurkan, juga saling menghidupkan. Dengah adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati SUI HO BOK KIM THO (air-api-kayu-logam-tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan Im dan Yang, saling menghidupkan dan saling mematikan. AIR menghidupkan KAYU, KAYU menghidupkan API, API menghidupkan TANAH, TANAH menghidupkan LOGAM, dan LOGAM menghidupkan AIR. Sebaliknya, AIR mematikan API, API mematikan LOGAM, LOGAM mematikan KAYU, KAYU mematikan TANAH, dan TANAH mematikan AIR. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, sedangkan mematikan boleh memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus….. ha-ha-ha!”

“Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!” teriak Lee Si sambil bertepuk tangan kegirangan.

“Supekmu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang-sin-hoat,” kata Kong Bu tersenyum.

Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya keatas menolak pujian itu.

“Tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan Ayah dan Ibumu? Anak baik kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Kalau mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau gagal dan inilah yang merasa sesak dadamu. Satu-satunya cara untuk mengatasinya hanya dengan Pi-ki-hu-hiat, karena dengan demikian, kau akan dapat mengatur kedua hawa yang bertentangan itu dengan teratur dan bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga iawan.”

“Lee Si, setelah mendapat petunjuk dari Supekmu, kenapa tidak segera dicoba agar kalau ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?” kata Li Eng kepada puterinya.

Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.

“Sing…..!” Sinar kuning berkelebat ketlka Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam. “Supek, mohon petunjuk Supek kalau ada kekeliruan,” katanya dan sekali lagi seperti yang telah ia lakukan diluar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu.

la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan…… ia berhasil melakukannya dengan baik.

“Eh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!” seru Kong Bu.

“Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut'” seru Li Eng.

Dengan girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya dan bersorak,
“Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek, terima kasih.” Mereka tertawa-tawa dengan girang.

“Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?” Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan isterinya “Ada tamu agung datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!”

“Ah, diantara saudara sendiri, mana ada aturan sungkan-sungkan segala macam?”

Su Ki Han membantah. Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah dimana pemilik rumah cepat menyuguhkan minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li Cu ibu Tan Cui Sian adalah ibu tirinya.

“Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai makin berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk.”

“Supek, kenapa bibi Cui Sian tidak kesini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita, ya?”






No comments:

Post a Comment