Ads

Sunday, February 24, 2019

Jaka Lola Jilid 046

“Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada disini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang mencari-cari Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera Jenderal Bun itupun menceritakan adanya sekawanan penjahat yang bernama Ang-hwa-pai, berpusat di Pulau Chong-coa-to dipimpin oleh Ang-hwa Nio-nio dan banyak orang sakti lainnya, juga mengumpulkan tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san. Putera Jenderal Bun itu dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, dan dia sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan keluarga Pendekar Buta sebetulnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu.”

Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa.
“Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, dijaman ini, siapakah orangnya yang akan mampu mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya? Kalau ada yang sakit hati dan ingin membalas dendam, biarkan mereka itu pergi menandingi Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan.”

“Paman Hong, biarpun sudah buta, penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya? Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian akan mendapat pengalaman yang amat berharga kalau dia sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para penjahat yang hendak rnenyerbu ke Liong-thouw-san.”

Ucapan Li Eng ini disertai suara mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong terhitung pamannya, seperguruan, maka ia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama pamannya.

Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.

“Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali memuji-mujinya, apalagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermuncullan orang-orang sakti di dunia hitam, apalagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah payah dalam usahanya memperkuat dan memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh hitam disini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pendekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Maka, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus mernbantunya membasmi mereka agar negara bersih daripada gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?”

Kong Bu mengangguk-angguk.
“Ayah selalu berpemandangan luas. Tentu saja kami disini, biarpun hanya terdiri daripada kami bertiga dan beberapa belas anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apabila diperlukan.”

“Bagus!” Li Eng menyambung. “Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya, membuat aki menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul kembali!”

“Wah-wah, kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawai anakmu? Kita sudah tua, tidak perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda.” Kong Bu menggoda isterinya.

“Ayah, aku setuju dengan Ibu, Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?” Lee Si membela ibunya.

Su Ki Han tertawa bergelak.
“Anak baik, kalau Ibumu tidak begitu bersemangat dan gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku kesini, seperti telah kukatakan tadi, adalah mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi tidak mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang kesini?”

“Tidak, Su-suheng.”






“Heran sekali, kemana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee? Ataukah ke Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Tai-gaan, malah kabarnya dia telah pergi mengunjungi Pulau Ching-Coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada disana, malah ketika kutanyakan Bun-goanswe, juga tidak singgah disana.”

“Mana bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouw-san dan menanti disana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah kesana.”

“Senang sekali memang melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan sebatang pedang menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia muncul disini, tentu akan kuberitahu,” kata Li Eng dengan wajah berseru.

Nyonya ini yang dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau, teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.

“Cui Sian tidak seperti kau!” sela Kong Bu.

“Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger.”

Mereka tertawa-tawa lagi. Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan mereka bertiga itu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudah masuk ke kamarnya.

Baru pada keesokan harinya suami isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu. Diatas meja dalam kamar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi,

“TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN'”.

“Bocah lancang!” seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam bangunan lain.

Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi turun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, para murid ini tidak berani di dalam bangunan tempat tinggal mereka.

“Mengapa ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi,” kata Li Eng, tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam kehilangan anaknya.

“Biarpun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tapi dia masih hijau. Dunia banyak sekali orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?”

“Ah, kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Kalau dia tidak digembleng dengan kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?”

Su Ki Han menjadi tidak enak,
“Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul disini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekarang dan akan kususul dia!”

“Jangan menyalahkan diri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung, tapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah,” kata Li Eng menghibur.

Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang menyebabkan Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap berpamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau setidaknya ia dapat mengamat-amati dan menjaganya.

Akan tetapi betapapun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak dapat menyusul Lee Si. Gadis ini bukanlah orang bodoh dan iapun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.

Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar dan memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui daerah pegunungan yang tiada habisnya dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!

Penduduk dusun di pegunungan adalah orang-orang gunung yang tak pernah meninggalkan daerah pegunungan, maka tak seorangpun yang dijumpainya dapat menerangkannya kemana jalan menuju Ke Liong-thouw-san atau ke kota raja. Hanya ada dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong ia turun gunung yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan paman ibunya yang terkenal dengan narna Pendekar Buta, dan kedua ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang namanya pernah didengarnya dari cerita ibunya.

Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan suara seperti seekor katak buduk “bernyanyi” di musim hujan.

Sebagai puteri suami isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat menduga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang mengerahkan khikang tinggi. Cepat ia menyusup diantara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon ia mengintai dan melihat dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.

Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring daripada lengking suara ayahnya kalau mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya amat tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting dan melihat bentuk hidungnya yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing.

Adapun orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok sambil mengeluarkan suara “kok-kok-kok!” seperti suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumis seperti tikus dan jenggotnya pendek.

Dengan hati tertarik Lee Si memandang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara. Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya.

Si jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan miring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka, mukanya seperti orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengking yang kadang-kadang mendesis-desis.

Lee Si dapat menduga bahwa dua orang itu tentu sedang berada dalam awal pertandingan. la tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, maka ia hanya mengintai dan menjadi penonton.

Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan suara “kok-kok” dari mulutnya makin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mujijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun tetap saja ia terhuyung kekiri, mukanya berubah merah sekali.

Lee Si terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan tadi, tapi terang bahwa si jangkung telah terdesak hebat dan keadaannya berbahaya.

Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian kedua lengannya bergerak dari atas kepala ke bawah seperti orang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya!

Kali ini si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan kedua tangannya, terdorong mundur sampai satu meter lebih dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan seperti bola karet ia dapat mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga mujijat.






No comments:

Post a Comment