Ads

Saturday, February 23, 2019

Jaka Lola Jilid 043

Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari peganganYo Wan.
“Sudahlah…..! Lama amat membersihkan saja, agaknya memang kau senang pegang-pegang tanganku, ya?”

Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.

“Nah, sekarang kau omonglah! Awas, kalau dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!”

Mata Siu Bi memandang kearah leher Yo Wan, penuh ancaman, akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Biarpun gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. la yakin bahwa Siu Bi sampai mati takkan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang menyembelih ayam saja!

Yo Wan tersenyum dan duduk diatas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang amat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.

“Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau dengan perbuatan itu aku merugikan orang lain.”

Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi menambahi kata-kata “kalau dalam membohong itu akan merugikan lain orang!”

“Ketika kau lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat saputangan ini…… ada darah disitu….. aku menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat…..”

“Memang aku jatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum.”

“Ahhh…..! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu…..! Kemudian bagaimana?”

Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya.

“Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana ?”

Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup kalau bisa seperti ini terus. Heran dia mengapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon menjadi penuh keindahan bentuknya, semua hal aneh ini terjadi kalau Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang membingungkan.

“Aku lalu menyimpan saputangan pembungkus rambutmu ini yang….. eh, yang harum baunya tapi ternoda darah….. tadinya kusangka darahmu…..”

“Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Ketika aku pingsan, agaknya dia mengambil saputangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya…..”

“Celaka…..” pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.

“Eh, kenapa kau? Mukamu seperti….. Seperti monyet kalau begitu!”

Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia menciumi saputangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak sedap.

“Sudahlah, saputanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai disini aku belum melihat kesalahan-kesalahan.”

Belum ada kesalahan-kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.

“Aku mengejar terus sampai berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Disana aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu.”





“Stop dulu! Awas, apakah kau di bagian ini tidak membohong? Agaknya kau di jalan bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang.”

“Tidak sama sekali!”

“Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,

“Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa disitu ada Cui Sian, malah aku tak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak menolongmu.”

“Hemmm…..” Siu Bi menggerakkan mulut mengejek tanda tak percaya. “Teruskanlah…..” kata-kata ini membayangkan bahwa ia amat tertarik.

Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
“Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali diluar dugaanku.”

“Apa itu?”

“Eh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apalagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak dapat membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang seperti itu, maka aku lalu turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama disana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkati Ching-coa-to.”

“Tanpa pedulikan aku lagi, ya?”

“Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku tidak merasa khawatir meninggalkan kau disana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai.”

“Hemmm, tapi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal setelah kau dan dia berada disini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi segala!”

Yo Wan tersenyum dan mukanya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara dengan blak-blakan tanpa malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.

“Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang tidak mengenal dia?”

“Begini, Nona…..”

“Huh, aku lebih dulu kau kenal, masin kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini amat memanaskan perut?”

Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil.
“Kalau begitu, biar kusebut kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”

“Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan.”

“Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan tetapi setelah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun. Tentu sa]a pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa lalu.”

Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.
“Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?”

“Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain.”

“Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi….. tapi dia sahabat Pendekar Buta. Dan kau…..!” Tiba-tiba Siu Bi berdiri, “Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Kenapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?”

“Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti pula. Maka, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu.”

Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan ia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik napas panjang, dadanya lapang.

“Yo-twako….. nah, akupun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako…..”

“Hemmm”.

“Waduh, kau senang ya kusebut Yo twako?”

“Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?”

“Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?”

Yo Wan tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal ini seperti orang bertanya tentang perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu biasa dan sederhana! Begitu langsung dan terus terang. Apakah tidak luar biasa?

“Tentu saja, Bi-moi. Aku….. aku….. suka kepadamu.”

“Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi lain!”

“Sungguh mati, Bi-moi. Aku suka padamu, suka betul, tidak main-main dan tidak bohong!”

“Betul suka? Dan kau. mau menolongku, mau membantuku?”

“Tentu saja!”

Siu Bi memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang manis dan merah membasah itu agak terbuka, terhias senyum. Bukan main cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya serasa dingin,

“Yo-koko yang haik, koko yang perkasa. Terima kasih! Akupun suka sekali padamu! Yo-twako, mari kau bantu aku mencari Pendekar Buta untuk membuat perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!”

Serasa disambar geledek kepala Yo Wan. Mampus kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil (memukul dengan buku jari) Kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak! Ingin dia marah marah kepada diri sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara yang begini gembira-ria dan bahagia. Ia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong demi keselamatan hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.

“Tentu saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, mari kita duduk dulu dan kau ceritakan kepadaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek Lojin itu? Dan mengapa kau memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh anggauta Ang-hwa-pai itu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to”.

Siu Bi duduk diatas rumput wajahnya masih berseri.
“Kau baik sekali, Yo-twako. Aku sekarang takkan marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah, ya?”

Yo Wan terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil.

“Tidak ada yang dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.”

“Sebetulnya aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapapun juga, Twako. Akan tetapi kepadamu….. lain lagi.”

Aduhhhhh, jantung Yo Wan serasa cesssss….. direndam air es. la memandang wajah itu dan sepasang matanya seakan-akan bergantung kepada bibir yang bergerak-gerak lincah.






No comments:

Post a Comment