Ads

Saturday, February 23, 2019

Jaka Lola Jilid 042

“Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!” Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. “Kalian yang mengumbar mulut jahat menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tidak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, lelaki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?”

Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apalagi dara remaja itu telah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena rnengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.

“Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk…..”

“Cih! Bicarakan hal buruk ataupun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak, apa sangkutannya dengan kalian apa yang kulakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!”

“Siu Bi…..!” dalam kagetnya Yo Wan lupa rnenyebut nona.

la takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding.

“Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang…..”

“Diam kau. Atau….. kau hendak rnembela moi-moimu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!”

Celaka, pikir Yo Wan kewalahan dan tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. la sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga ia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan oleh sikap gadis muda yang liar ini.

Akan tetapi hatinya terasa perih. Harus ia akui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng iapun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!

Dengan suara lembut ia berkata,
“Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tidak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?”

“Peduli apa dengan alasan. Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!”

“Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau ataupun dengan siapa juga.”

Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di depan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!

“Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau”.

“Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?”

“Aku memusuhi ayahmu!”

“Ihhh, kenapa?”

“Karena ayahmu sahabat baik, bahkan guru Pendekar Buta!”

“Ahhh…..!”

Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi. Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebat sehingga Yo Wan juga kaget mendengar ia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.

“Aku sudah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya, dan keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kaupun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!”





Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la maklum bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda itu mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.

Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi. Yo Wan segera melangkah maju setelah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,

“Nona, kau….. kau benar-benar tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tak mungkin. Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada keduanya di dunia ini. Aku tidak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”

“Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau berpura-pura berlaku baik terhadapku karena hendak mengubah keinginanku? Tak mungkin ini, aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku takkan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Kakek Hek Lojin menjadi buntung lengannya oleh Pendekar Buta, karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku sudah bersumpah akan membuntungi lengan…..”

“Jangan….. jangan berkata begitu…”

Yo Wan melompat dan seperti seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!

“Ahhh….. aku….. uppp, lepaskan. lepaskan…..!”

Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan ia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk, akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.

Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring,
“Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouw-san.”

la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hati. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau ia pergi meninggalkan dua orang itu. Siu Bi dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya, sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya. la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya ia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!

Yo Wan sedang gugup, bingung, dan duka kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini. la merangkul Siu, Bi, mendekap mulutnya dan memegang lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

“Kau….. kau….. mau kurang ajar ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah bisa menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau….. kau….. jangan kira aku takut, kau harus mampus…..!”

Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya. Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata,

“Siu Bi….. eh, Nona.,… tunggu dulu ….”.

“Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!” Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.

“Sabar…..!” la sempat berkata tapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah menyambar, “Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan saputanganmu ini…..” la mencabut sapu-tangan kuning dari sakunya. “Kukira kau terancam bahaya maut….. kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati…..”

“Makan ini!” kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet kearah hidung.

Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.

“Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he Jaka Lola tak tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!”

Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang aneh sekali. Tapi….. tapi….. karena agaknya marah-marah karena dia menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.

“Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu…..”

“Berhenti kalau kau sudah mati!” teriak Siu Bi dan mengirim tusukan cepat dan kuat sekali.

Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di “sate” hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya, cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak!

“Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Kalau sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan takkan mengelak lagi!”

Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini ia tampak ragu-ragu dan bertanya.

“Betulkah itu? Kau takkan mengelak lagi kalau nanti kuserang?”

“Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu jangan terlalu galak.”

“Sumpah?”

“Sumpah…..?? Sumpah apa?”

“Sumpah bahwa kau takkan melanggar janji?”

“Pakai sumpah segala?” Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Aku…..”

“Tak usah bersumpahpun percuma, mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!” la mengasurkan tangannya ke depan.

Yo Wan melongo.
“Bersihkan tanganmu? Kenapa?”

la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?

Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.

“Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor??”

Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga terasa perutnya mengkal dan mengeras. Gadis ini benar-benar….. ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu. Tapi maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang betul-betul bersikap wajar, sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Ia lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya dan jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari tangan Siu Bi yang “dibersihkan”.






No comments:

Post a Comment