Ads

Saturday, February 23, 2019

Jaka Lola Jilid 041

Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan. Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biarpun ia akan dapat menangkan dengan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu amat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai mempergunakan racun-racun jahat.

Melanjutkan pertempuran berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apalagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?

“Kau benar, sahabat.” katanya. “Mari kita pergi!” katanya.

Yo Wan kagum dan girang. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpemandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.

Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua takkan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka dalam air.

Akan tetapi, Yo Wan dan Cul Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tak mungkin ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan mampu mengejar mereka.

Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu.

Ketika kedua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada disitu lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.

Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Gadis ini dengan perasaan kagum lalu menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.

“Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?”

Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik, kadang-kadang kepala pemuda itu miring kekanan kadang-kadang kekiri wajahnya membayangkam keheranan dan kegirangan yang besar.

Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api. Akan tetapi semua ini buyar seketika berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, lalu seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,

“Ya Tuhan…..! Benar sekali, tak salah lagi….. ah, kau Cui San….. eh, maksudku, kau….. eh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!”

Tentu saja, Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. la mengelak dan dengan suara ketus ia bertanya,

“Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?”

“Ha-ha-ha, tidak aneh kalau anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!”

“…..Yo Wan. Yang mana… siapa…..?” Cui Sian mengingat-ingat.

“Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dulu pernah….. ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?”

Tiba-tiba wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu,

“A Wan!! Tentu saja aku ingat…..! A Wan, kau….. kau A Wan? Ah, siapa duga…..”





Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, tapi segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah.

“…..ah …..eh, sungguh tidak sangka….. siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat mengenalmu, kau sekarang menjadi begini….. begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!”

Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biarpun hatinya berdebar girang dengan pujian itu.

“Kaulah yang hebat, Nona….. tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai”‘

“A Wan, diantara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi….. serasa asing bagiku?”

Yo Wan menarik napas panjang,
“Memang sebetulnyalah, aku murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi….. aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala locianpwe.”

Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dahulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian tinggi, berpemandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.

Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar dan kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapapun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu kepada pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Benar-benar ia merasa bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini.

Biasanya ia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung biarpun berhadapan dengan siapapun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!

“Non….. eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?”

Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun dan dalam usia sedemikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.

Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab,

“Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan saat ini….. aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan aku bertemu di telaga ini dengan dua orang tosu Kun-lun-pai dihina orang-orang Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa kira, dengan amat curang Ang-hwa-pai menawanku…..” selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.

“Baiknya seperti dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku terbebas daripada maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada disini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini…… eh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!”

Yo Wan tersenyum.
“Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Kau tanya tentang tempat tinggalku? Ah, aku tiada tempat tinggal, tiada sanak kadang, hidup sebatangkara dan merantau tanpa tujuan.”

“Oohhh…..”‘ Cui Sian menghela napas dan hatinya berbisik, “la masih….. sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula.” Dengan kepala tunduk mendengarkan cerita Yo Wan.

“Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara….. seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah.”

Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.

“Dia aneh sekali,” Yo Wan menutup ceritanya, “tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku mengejarnya untuk mengembalikan pedang, ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!”

Cui Sian mengangguk.
“Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Betapapun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular.”

“Akupun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada disana? Ah, agaknya dia memang mempunyai hubungan dengan Ang-hwa-pai…… sungguh tak kuduga sama sekali!”

Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar dan diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat mernperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.

“Agaknya dia hanya seorang tamu disana, dan sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok disana, dia tidak sudi melakukan pengeroyokan biarpun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika selalu ia berdekatan dengan mereka, akhirnya iapun mungkin akan rusak…..”

Tiba-tiba Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat kearah gerombolan pohon di sebelah kiri.

Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan, wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.

Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to!

Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tidak ada seorangpun anggauta Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apabila diperintah. Andaikata ada yang melihatnya pun, mereka tentu takkan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi “orang sendiri” dan sahabat baik kongcu?

Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika ia melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi dibalik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.

“Kalian berdua adalah orang-orang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?”

“Eh-eh-eh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?”

Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya. Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi betapa aneh watak dara remaja itu, dan diam-diam ia harus mengakui juga betapa cantik moleknya Siu Bi.






No comments:

Post a Comment