Ads

Friday, February 22, 2019

Jaka Lola Jilid 038

Sebaliknya Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri diatas perahu terbalik amat licin dan terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itupun tak boleh dibuat main-main. Tadipun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,

“Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?”

Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apalagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu.

Dengan tenaga dalamnya yang murni dan amat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian masih dapat mempertahankan diri daripada desakan kedua buah dayung lawannya.

Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat. Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelem, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri. la ikut tenggelam dan di lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri gunung dan tak pandai berenang! Sungguhpun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!

Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan Ouw-ang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air.

Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah saputangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau harum dan….. tak ingat diri lagi. Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang dan memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu.

Siu Bi mengerutkan keningnya.
“Mau diapakan ia ini, Ouwyang-twako?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab.

“Diapakan? Dia….. eh, tentu saja ditawan. Hal ini harus dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya tinggi dan andaikata dia benar-benar bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa pula ia berperahu disini?”

“Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong…..” bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan secara begitu.

Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus berhati-hati, pikirnya.

“Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Kalau ternyata benar dia itu hanya seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biarlah dia ditawan beberapa hari hitung-hitung membalas penghinaannya atas diri kita berdua.”

Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, diam-diam Siu Bi mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini.

la melihat benda mengganjal diatas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu. Sebuah pedang pendek akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.

“Wahhh, pedang yang hebat, pusaka ampuh!” seru Ouwyang Lam. “Moi-moi, kau benar. Pedang itu harus dirampas, kalau tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman.”

Ucapan ini membikin muka Siu Bi makin merah. Sama sekali ia tidak mempunyai niat untuk merampas pedang orang, hanya ingin melihat. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir. Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tiada salahnya ia menyimpan dulu pedang ini, dan mudah kalau segala sesuatu beres, ia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada “bibi Kui Ciauw”.





Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada Ang-hwa Nio-nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa kesitu oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik.

Akan tetapi isinya hanya beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak terdapat sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu. Ang-hwa Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai saputangan berwarna biru, mengebutkan saputangan itu kearah hidung Cui Sian, kemudian dengan saputangan itu pula ia menotok belakang leher.

Ujung saputangan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini. Kiranya saputangan biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian menggerakkan pelupuk matanya dan pada saat matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga!

la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada disitu bersama seorang nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita. Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata,

“Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang berhasil menawan aku, mau apa?”

Ang-hwa Nio-nio membentak ketus,
“Bocah sombong, berani berlagak di depanku! Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?”

Cui Sian memandang nenek itu, pandang matanya tajam sekali membuat si nenek diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapa gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.

“Agaknya kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhkupun aku tidak takut, kau membebaskan akupun tidak merasa berhutang budi.”

“Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapa yang menyuruh kau datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Kalau tidak ada yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lun-pai?”

“Tidak ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong, kebetulan lewat dan pesiar di telaga, bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!”

Kembali Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus ia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh dipandang ringan.

“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”

“Sudah kukatakan kepada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-lun-pai, sungguhpun Kun-lun-pai merupakan partai segolongan dengan Thai-san-pai.”

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio.
“Kau anak murid Thai-san-pai? Kau….. kau she Tan, apamukah Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?”

“Dia ayahku…..”

“Keparat! Kiranya kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?”

Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang pada pukulannya ini.

Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah kecewanya bahwa ia tadi telah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan Thai-san-pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah musuh ayahnya.

Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari golongan hitam (baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas). Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan tabah.

Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa seorang diri amatlah berbahaya baginya untuk menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat mereka sendiri. Apalagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-cu-kiam di tangannya masih boleh diandalkan.

Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, ia cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus Im-yang-kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.

“Dukkk!”

Tubuh Cui Sian terlempar sampai keluar dari pintu ruangan, sedangkan ketua Ang-hwa-pai itu kelihatan meringis kesakitan. Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mujijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas diluar rumah.

“Bocah setan, lari kemana engkau?” Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata, “Kejar, ia dan ayahnya adalah sekutu musuh besar kita. Pendekar Buta!”

Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Ang-hwa Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai ikut mengejar.

Tentu saja Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh. Ternyata Cui Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal tempat itu, tanpa ia ketahui ia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.

Siu Bi merasa heran, akan tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! la bergidik dan diam-diam ia merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan menggunakan akal busuk.

Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, dan tiga orang pengejarnya masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek,

“Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok.”

Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian kini timbul kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak tersangka-sangka. Sekarang mereka berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata,

“Nio-nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!” la melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,

“Perempuan sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan kosong? Lihat, akupun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku takkan melepaskanmu!”






No comments:

Post a Comment