Ads

Friday, February 22, 2019

Jaka Lola Jilid 039

Cui Sian menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan inipun mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring.

“Lihat pukulan!”

Seruan begini adalah lajim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah mempergunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.

Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka diapun lalu cepat menggerakkan kaki tangan, mainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari kedua tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi pukulan-pukulan itu.

Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. la puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang ini ia turunkan kepada puterinya semua sehingga kini menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar.

Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan dapat mengatasinya. Dengan jurus-jurus Im-yang-sin-kun yang luar biasa, Cui Sian dapat menolak Semua terjangan lawan, bahkan mulai mendesak dengan hebat.

Ouwyang Lam terkejut setengah mati. Selama ia menjadi murid dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini hebat di samping Siu Bi. la menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu.

Disuatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, dilain detik merupakan pukulan lunak tapi berbahaya. Memang disini letak kehebatan Im-yang-sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain. Ilmu-ilmu yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang.

Akan tetapi gadis cantik ini mencampur-aduk Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampur-adukan yang amat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang-sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia merasa malu karena disitu terdapat Siu Bi yang ikut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah dia menyombong tadi, sama-sama dengan tangan kosong dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan daripada kalau dia kalah dalam pertandingan ini. la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, kedua tangannya mencengkeram kearah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!

Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan inipun tidak sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.

“Awas.,…!!”

Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan. Terlambat sudah, tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan diatas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.

Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk kekiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Gerakan yang amat indah.

Ketika kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian menghantam dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangannya yang mengandung dua macam tenaga. Yang kiri menggentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.





Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tak terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi.

Kalau tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudah Cui Sian akan dapat menyusul serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.

Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apalagi ketika dia menoleh kearah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang kearah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. la merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang ini. Dalam marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biarpun Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebatnya.

Akan tetapi kehadiran Siu Bi disitu membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.

Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi. Cui Sian maklum dan merasai hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang-sin-kun sehingga biarpun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.

Seperti juga Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar. Kalau tidak ada Siu Bi disitu, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat menyelamatkan dirinya.

Di samping ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang tidak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta.

Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya? Memang ia telah tahu akan kesaktian Raja Pedang, akan tetapi puterinya ini baru dua puluh tiga usianya betapapun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian.

Namun, Im-yang-sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang-bu tek-cin-keng, merupakan rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari daripada semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiripun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih.

Andaikata masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua Ang-hwa-pai itu akan dapat menang. Sekarangpun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, namun Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali.

Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat kepandaian dua orang yang sedang bertanding itu. Terjangan-terjangan Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, didorong oleh hawa pukulan bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian merah itu.

Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang dan kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar merah lawan. Saking tegang dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam.

Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda kepada para anak buah Ang-hwa-pai. Tak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi seperti suling, tiada putus-putusnya datang dari empat penjuru.

Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget. Beratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan, menuju ke pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai disitu dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka kearah Cui Sian!

Gadis sakti inipun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu, maka begitu mendengar desis keras dari arah kiri, cepat ia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jari terbuka menyabet miring, tepat mengenai leher ular,

“Trakkk!!”

Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi, terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!

Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang kearah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.

Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian dapat menyelamatkan diri. la cepat melompat bangun dan wajahnya merah sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Biarpun lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar!

la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat banyak. Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas disini, namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua Thai-san-pai!

“Ang-hwa-pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa Nio-nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!”

Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau ia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ularnya. Benar-benar sekali ini kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, akan rusak nama besarnya.

“Iblis cilik, siaplah untuk mampus!”

“Nanti dulu, Nio-nio!”

Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan. Ang-hwa Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,

“Aku tidak suka melihat ini! Akupun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tidak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena aku dan kau bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja dibunuh, tapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah….. ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Heee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tapi berjanjilah, kalau nanti kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!”

Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan Liong-cu-kiam kepada Cui Sian. Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di tangannya. Akan tetapi dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu. Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu agaknya dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra kearah Siu Bi.

“Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, pedang ini menjadi milikmu. Tapi sayangnya, aku takkan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!”






No comments:

Post a Comment