Ads

Friday, February 22, 2019

Jaka Lola Jilid 036

“Wah, kalau begitu, lebih baik nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Amat berbahaya, nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas daripada bahaya maut.”

“Akan tetapi tidak terlepas daripada penghinaan hebat!” sambung KungLoTosu.

Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.
“Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai. Siapa duga sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang ini anak murid Kun-lun-pai? Harap Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?”

“Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf,” kata Kung Thi Tosu.

Nona itu mengangguk.
“Memang seharusnya begitulah. Akan tetapi biarpun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai takkan asing mendengar nama saya dan tidak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-san.”

Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek-kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) adalah sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

“Kiranya Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Diantara sahabat sendiri, tentu saja pinto, suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran.”

Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.

Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam.
“Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?”

“Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami.”

“Memang sebaiknya begitu. Urusan ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, akan tetapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm…..”

“Harap Nona jangan main-main disini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja begitu lihai, belum ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggauta mereka banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona meninggalkan tempat ini agar jangan mengalami penghinaan.”

Gadis itu tersenyum.
“Saya justeru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”

Setelah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya bukan main kuatnya sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.

Kung Thi Tosu dan sutenya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus ia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, kedua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat kedarat, memberi hormat kearah nona berperahu yang sudah menggerakkan perahunya ke tengah telaga lagi.

Kung Thi Tosu menarik napas panjang.
“Sute, benar-benar perjalanan kita kali ini membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita telah bertemu dengan tiga orang muda yang memiliki kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun kalau kita sudah kembali ke gunung,”

Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.





Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja semenjak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.

Hanya satu hal menjengkelkan ayah bunda Cui Sian dan yang membuat ibunya sering kali menangis sedih adalah kebandelan gadis ini tentang perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi, yang tergila-gila kepadanya. Banyak sudah datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak yang baik, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

“Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku….. aku tidak mau seperti enci Cui Bi…..” demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil menarik napas berkali-kali, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka kepada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.

Didalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat dalam jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya serdiri!

Cerita tentang Cui Bi inilah agaknya yang membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat ia tidak mau bicara tentang perjodohan, bahkan membuat ia seperti membenci perjodohan.

“Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan malapetaka yang menimpa diri cicinya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapapun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau ia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, ia tentu akan mau sendiri,” demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.

“Tapi….. tapi….. tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun…..” Isterinya tak dapat melanjutkah kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.

Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik napas panjang.
“Didalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu jodohnya. Dia sudah dewasa dan tentang kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri.”

Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa ia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya ia menerima pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,

“Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan jika kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun.”

“Bekas tunangan cici Cui Bi?” Cui Sian mengerutkan kening.

Ayahnya tertawa.
“Apa salahnya? Dahulu tunangan, akan tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai adalah sahabat baikku.”

Setelah menerima nasihat-nasihat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian dan emas secukupnya, dengan hati gembira.

Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu dengan kedua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan ia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda Ching-coa-to.

Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau.

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil melernparkan kedua orang tosu ke dalam air.

“Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!” teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepas anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.

Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.

“Adik Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!”

Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian menghampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil ini. Ouwyang Lam mengambil dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah, diikuti pandang mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.

“Wah, kongcu mendapatkan seorang kekasih baru,” kata seorang anggauta yang kurus kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia mengiri.

“Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan berat bagi paicu…..” kata temannya yang gendut.

“Sssttttt….. apa kau bosan hidup?” cela si kurus sambil pergi ketakutan.

Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini biarpun tidak berapa besar namun mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga amat indahnya.

“Lihat, disana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu Ching-coa-to, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat daripada barisan manusia bersenjata.”

Siu Bi bergidik. la melihat banyak sekali ular-ular besar kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubang-lubang batu karang.

“Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?” tanyanya.

Ouwyang Lam tersenyum.
“Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran.”

“Tapi….. apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?”

“Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya…… racun mereka karni ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu.”

“Ahhh….. hebat kalau begitu'” Siu Bi berseru kagum.






No comments:

Post a Comment