Ads

Monday, February 18, 2019

Jaka Lola Jilid 029

Wajah Siu Bi berseri gembira.
“Kau tunggu disini sebentar, kutangkap kelinci gemuk disana itu!”

Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan dilain saat ia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.

Yo Wan kembali tertegun, kemudian ia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu ia mengumpulkan daun dan ranting kering dan duduk diatas sebuah batu, menunggu.

Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci gemuk sekali meronta-ronta dibawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.

“Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!” teriaknya sambil tertawa-tawa.

Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
“Hemmmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api.”

la lalu membuat api dan matanya melirik kearah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik kearah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.

“Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm…… Makin lapar perutku,” kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.

“Lekas panggang, tak kuat lagi aku.” Yo Wan berkata, menelan air ludah sendiri beberapa kali.

Seperti seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakah itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik kearah Yo Wan, akan tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum.

Biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biarpun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biarpun tidak berterang. Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya. Pemuda itu tiba-tiba muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin melakukan sernua itu?

Kembali ia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, kalamenjingnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini, baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain, laki-laki pula, didekatnya.

“Hemmm, mengapa kau tertawa?” Yo Wan bertanya, kaget dan sadar daripada lamunannya.

“Tidak apa-apa, tak bolehkah orang tertawa?” Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci diatas api.

Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan.
“A….. a….. aku tidak melarang….. tentu saja siapapun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?”

Siu Bi hanya tersenyum, lidak menjawab, melirikpun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar menggoda.

Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Kalau aku berbaik kepadanya dan mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-thouw-san. Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang yang sakti, yang amat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagaimana kalau ia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika ia tidak berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin.

Akan tetapi kalau mendapat bantuan pemuda ini, hemmm…., kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Pendekar Buta. Akan tetapi apakah benar-benar pemuda jni lihai? Kembali ia melirik.





Yo Wan tampak mengantuk sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk kekanan kiri, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya. Kasihan! Tentu dia amat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan “tidur ayam” begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata.

Makin ia perhatikan, makin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguhpun belum tua. Rambutnya kering tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biarpun tampan, namun tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin!

Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar amat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.

“Hi-hi-hik…..!” kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu,

“Kenapa kau tertawa?”

“Siapa tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, daging sudah matang!”

Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya diatas daun-daun bersih yang sudah disediakan disitu, depan Yo Wan.

“Wah, gurih baunya!” Yo Wan memuji. “Hayo, kau ambil dulu.”

“Kau ambillah dulu.”

“Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?”

“Sudahlah, kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!”

Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap.

“Wah, hebat…..! Lezat bukan main…..!” katanya sambil mengunyah.

Memang gemuk kelinci itu, gajihnya banyak sehingga begitu menggigit daging, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.

“Sayang tidak ada arak…..Heee! Kau kemana, Nona?”

“Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!”

Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan. Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya rnakin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang amat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?

Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, ia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu diatas tanah, kemudian iapun mulai makan daging kelinci

Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandang mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk diatas batu, Siu Bi duduk bersila diatas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit.

Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya makan buah. Barulah Yo Wan berkata,

“Nona, kau baik sekali kepadaku. Terima kasih, daging kelinci tadi gurih dan mengenyangkan perut airnya jernih segar sekali, dan buah-buah inipun manis. Kau memang baik”.

“Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kaupun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, akupun tidak bilang terima kasih padamu.”

Yo Wan tersenyum. Dekat dan bicara dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum.

“Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona.”

“Siapakah kau ini? Siapa namamu?”

Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua.

“Ah, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tapi masih belum saling mengenal. Namaku orang menyebutku Jaka Lola, Nona.”

“Jaka Lola? Ayah bundamu….. sudah tiada?”

Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya,
“Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?”

“Orang-orang didusun, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Adapun namaku….. ah, kau tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?”

Kembali Yo Wan tersenyum.
“Namaku Yo Wan, hidupku sebatangkara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang.”

Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak dan suara Yo Wan ia berkata,
“Namaku Siu Bi, hidupku sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal tertentu,. rumahku dimana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apapun jadi!”

Dan ia tertawa lagi. Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan-akan menambah gemilangnya sinar matahari pagi.

“Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah shemu (nama keturunan)”

“Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan didepan ataupun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau siap dan keluarkan senjatamu!” kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.

Yo Wan terkejut.
“Eh, eh, eh, apa pula ini?”

“Artinya, aku hendak menguji kepan-daianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka.”

“Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona.”

“Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!” Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.

“Wah, gila…..!”

Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!

Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental dan merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. la kaget sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya. Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat!

Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Kalau aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati. Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan dilain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.

“Dukkk!”






No comments:

Post a Comment