Ads

Monday, February 18, 2019

Jaka Lola Jilid 028

Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk dan punggung, dimana pusat tenaganya ditekan dan menjadi hilang kekuatannya. la merasa dibawa lari cepat sekali dan angin dingin membuat ia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikitpun juga, ia tertidur diatas pundak orang yang memanggulnya itu’.

Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat, tubuhnya serasa kesemutan dan pipi kanannya yang berada diatas panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada diatas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan ia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orangnya yang menculiknya ini, yang membawanya lari dari dalam gedung Jenderal Bun selagi ia roboh dalam keroyokan para pengawal.

“Hemmm, perawan apa ini? Dipondong orang sejak malam, enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka…..” Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.

Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi.
“Siapa mendengkur? Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepaskan kau laki-laki kurang ajar!”

“He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!”

Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang semalam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!

“Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!” Siu Bi membanting kaki dengan gemas.

Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Matahari pagi serasa lebih gemilang cahayanya menghadapi seorang dara lincah nakal ini.

“Kau masih kanak-kanak,” katanya tenang.

“Siapa bilang? Aku bukan anak Kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!”

Siu Bi bersitegang. Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah mempunyai julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di “cap” kanak-kanak?

“Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!”

“Bagiku kau masih kanak-kanak,” kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh. Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa “silau” akan kecantikan wajah Siu Bi.

Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon, menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar seperti Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.

“Wah, kau ini kakek-kakek, ya? aksinya!” Siu Bi membentak gemas.

“Aku jauh lebih tua dari padamu.”

Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri. Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua daripada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.

“Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh.”

“Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas…..”

“Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku'”

“Ya itulah, masih kanak-kanak kataku.”

“Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?”





Yo Wan panas perutnya. Masa ia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini! la mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya pada lehernya, seakan-akan kepanasan, memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu ia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.

“He, Lopek’ Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?” bentak Siu Bi dengan suara nyaring.

“Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan.”

Siu Bi meloncat-loncat marah.
“Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, aku bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil'” la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.

Yo Wan bersungut-sungut,
“Kalau kau bukan anak kecil, akupun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?”

“Kau yang mulai dulu”

“Siapa mulai? Kau yang mulai,” jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.

“Kau yang mulai.”

“Kau.”

“Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?”, Siu Bi menantang.

Yo Wan mengeluh, lalu menarik napas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini telah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.

“Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bocengli tidak benar macam ini?” Ia mengomel panjang pendek.

“Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?”

“Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah nnemondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai njarem (pegel) rasanya”.

Siu Bi makin marah, kedua tangannya dikepal,
“Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?”

“Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!”

“Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tidak sudi pertolonganmu, mengapa kau tolongaku?”

“Akupun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, maka aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dah membawamu pergi.”

Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan,

“Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ah, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan…..”

Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman ketika pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.

“Juga kebetulan aku melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah menolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tidak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal.”

Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi. Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip, ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap disebuah tikungan, ia teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,

“Heee, berhenti dulu!!”

Yo Wan berhenti dan membalikkan, tubuh perlahan. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?

“Ada apa lagi? Hendak menghajarku?” tanyanya.

Siu Bi menggelengkan kepala, tapi mulutnya masih cemberut.
“Tergantung dari jawabanmu,” katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, “Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!”

Hampir Yo Wan terbahak ketawa. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?

“Tidak mendengkur, hanya….. ngo-rok…..”

“Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak.”

“Ngorokpun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu.”

“Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!”

Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, jauh daripada itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya, hatinya keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, benar-benar merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.

Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini.
“Ya sudahlah, tidak ngorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, napasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun.”

Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini ia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.

“Kau baik sekali…..”

Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini ia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, bersuara lembut dan bersinar mata mesra.

“Ahhh…… sama sekali tidak baik, biasa saja,” katanya. “Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka dalam tangan para pengawal.”

Hening sejenak, dan agaknya Yo Wan lupa sudah bahwa baru saja dia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi seperti orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ketempat jauh di sebelah kiri. Tiba-tiba ia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,

“Kau….. lapar…..?”

Yo Wan melongo beberapa detik.
“Lapar? Tetu saja…..” jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi.






No comments:

Post a Comment