Ads

Monday, February 18, 2019

Jaka Lola Jilid 030

Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia mengapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia rnemandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu! Mukanya seketika menjadi merah sekali. Penasaran ia. Masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la mengeluarkan seruan keras dan menerjang lagi, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.

Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biarpun hanya terbuat daripada kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya.

Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apabila kedua senjata itu bertemu. Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, iapun penasaran dan marah sekali. Masa dia, Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang patut dipakai mainan anak kecil.

Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak makin ganas dan dahsyat. Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apalagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan kalau tidak menggunakan sinkang yang kuat. lapun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu. Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesaknya dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang.

Kini Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.

”Benar-benar kau aneh sekali. Nona”. seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.

Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, melainkan khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, la mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan “tar-tar-tar'” cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir diatas kepala Siu Bi.

“Ayaaa…..!”

Siu Bi kaget bukan main. Apalagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan. Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Namun, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia makin bersemangat.

“Wah, benar-benar keras hati dia….?” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.

Seketika lenyap dari depan Siu Bi dan gadis itu dalam kebingungannya, cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya dan kepalanya menjadi pening!

“Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali…..” berkali-kali Yo Wan berseru, namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.

“Awas pedangmu!”

Yo Wan berseru dan lenyap. Ketika Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit puncak. Kiranya cambuk lawannya yang melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!

Dengan marah sekali, Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.

“Maaf, Nona, aku….. aku tidak sengaja. Kau telah mengalah ….”

Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak diatas tanah.





“He, nona Siu Bi…… tunggu….. pedangmu…..!”

Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah lari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!”

Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya.

“Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu.”

la lalu mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan gadis itu agak mendingin hatinya. Kalau sedang panas dan. marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik. Seorang gadis yang luar biasa masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Betulkah diapun sebatang-kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalaml malapetaka atau menjadi rusak.

Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi.

“Nona Siu Bi! Tunggu…..'” serunya sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti. Di depan kakinya tergeletak sehelai saputangan sutera kuning. Bukankah ini saputangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya saputangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Saputangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat keatas pohon, memandang ke sana ke mari.

“Nona Siu Bi! Dimana kau…..!! …..!” li berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.

“Celaka, apa artinya ini…..?” Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu-tangan di tangannya. “Jangan-jangan…..”

la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi.

Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?.
Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan keeewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi setelah ternyata ia kalah jauh, ia kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah ia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.

Siu Bi menggunakan ilmu iari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak guanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah gua yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.

Gua itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam gua itu membelok kekiri sehingga ia terbebas sama sekali daripada sinar matahari. Terlalu gelap disitu, melihat tangan sendiripun hampir tidak kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk disitu terengah-engah. Disusutnyai air matanya dengan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apalagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena kaget, maka sekaligus ia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.

“Bukkk!” orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.

Siu Bi melompat bangun, akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!

Beberapa detik kemudian, dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam gua. Seorang diantara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya diluar gua, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa,

“Ha-ha-ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!”

Kawannya yang mukanya pucat, tertawa masam.
“Bidadari tapi pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat.”

“Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!”

Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tak lama kemudian mereka tiba di tepi Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.

“He, kalian membawa seorang gadis , untuk apa? Siapa dia?”

Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan kedalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

“Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!” katanya.

“Bidadari yang pukulannya seperti setan!” sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.

Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang keningnya berkerut.
“Bian-te, kau terluka dalam yang hebat.”

“Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat dan agaknya mengandung racun yang aneh.”

Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda.
“Kau menjaga disini, kami akan ke pulau,” pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.

Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernapas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.

“Keparat, aku harus membalas ini.” la bangkit hendak memasuki bilik perahu.

“Bian-te, sabarlah,” cegah si brewok.

“Perjalanan ini masih lama, agaknya aku takkan kuat. Tak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran.”

“Jangan bunuh dia, Bian-te…..” cegah si rambut putih. “Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu.”

“Tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya disana, aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati.”

“Bian-te, dia hehdak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu.”






No comments:

Post a Comment