Ads

Monday, February 18, 2019

Jaka Lola Jilid 027

Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan,

“Nona…..! Kenapa kau tidak memegang janji, malah melarikan diri dan menyerbu kesini? Ah….. Nona, mengapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini….. Kau, yang kupandang gagah perkasa…..”

Getaran suara yang terkandung dalam ucapan Bun Hui ini tidak menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi maupun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!

“Hui-ji, mundur kau!” bentak Jenderal Bun.

“Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?” seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.

Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, ia dapat mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang amat ampuh, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.

Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun dan isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada disitu, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan siap. Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewanya, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih,

“Betapapun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona’.”

“Cih, cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang disini boleh maju mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan In tidak gentar seujung rambutpun!”

Bukan main marahnya Bun-goanswe.
“Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?”

Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu kearah kaki untuk merobohkan Siu Bi.

Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan melibat dan menjegal kedua kaki. la terpaksa berloncatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana-sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya.

Akan tetapi, mana mungkin gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya. Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian karena tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tak dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal dan ia terguling dengan pedang masih di tangan.

Pada saat itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan serentak antara keadaan terang benderang menjadi gelap hitam ini benar-benar membingungkan mereka.

“Pasang lampu…..! Lekas pasang lampu…..!” bentak Bun-goanswe.





Tak seorangpun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?

Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas,

Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri diatas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.

“Wah, dia dapat melarikan diri!”

Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya la ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong apalagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.

“Siapa bilang lari?” Jawab jenderal itu marah. “Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali tidak terdengar olehku.”

“Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi….” Bun Hui menggumam seorang diri.

“He, kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?”

Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya dan ia tergagap mencari jawaban,

“Aku….. aku….. tidak begitu, Ayah. Aku hanya….. kagum akan sepak terjangnya dan aku….. aku kasihan”

“Hemmm, menilai seseorang, apalagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok kau berangkat pagi-pagi ke Liong-thouw-san, menemui pamanmu Kwa Kun Hong dan berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san.”

“Baik, Ayah.”

Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta.

**** 027 ****





No comments:

Post a Comment