Ads

Sunday, February 17, 2019

Jaka Lola Jilid 024

Siu Bu menepuk gagang pedangnya.
“Dengan ini!, Mungkin akan kulepaskan kedua daun telinganya yang terlalu lebar itu”.

Menggigil tubuh lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci saking rigeri hatinya. Bun Hui yang otomatis, melirik kearah telinga lurah itu, menahan geli hatinya.

Bun-goanswe lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta sambil berlutut dan menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-kongcu dan para kaki tangannya, tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan tentang upah yang tidak cukup mereka makan sendiri.

Kemarahan Bun-goanswe membuat mukanya makin merah lagi. Ada seorang lurah macam ini di dalam wilayah yang dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!

“Hemmm, urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-ling. Kalau betul lurah ini sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal kecil seakan-akan disini tidak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini diputuskan besok setetah aku meninjau kesana. Nona, kau harus ditahan semalam ini, serahkan pedangmu kepadaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa pedang atau senjata lain.”

Siu Bi merah mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus,

“Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum disini, percayalah bahwa ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan menjerumuskan Nona kedalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya ditunda disini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona tentu akan menerimanya kembali.”

Karena sikap Bun Hui ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. la pikir, tidak ada gunanya mengamuk disini. la melihat jenderal mata satu itu amat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan disitu tampak barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan. Melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.

“Boleh, andaikata tidak dikembalikan, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?” katanya sambil meloloskan pedang berikut sarung pedangnya.

Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan diatas meja depan Bun-goanswe yang memandangnya penuh selidik.

Bun-goanswe memerintah orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat dan enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya,

“Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai.”

Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini,
“Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggali disini, apalagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong thouw-san!”

Mendengar ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat dan penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-thouw-san?

“Hemrnm, ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena disana hendak melakukan sesuatu yang jahat?”

Ternyata jenderal ini mempergunakan akal seperti yang digunakan puteranya, memancing dengan menggunakan ketinggian hati gadis itu!

“Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan disana, siapapun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan….. membuntungi lengan beberapa orang disana!” Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata berkata, “kau mau apa!”

Bun-goanswe tercengang.
“Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!” serunya, akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga.





Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? la sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta. Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?”

la mencabut pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak. Pedang itu adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang jahat. diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu kedalam sarungnya.

“Hui-ji (anak Hui), antarkan ia ke dalam tahanan besar.”

“Mari, Nona,” ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.

Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san untuk membuntungi lengan orang. la telah mendengar dari ayahnya; tentang Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dan penolong ayahnya, orang yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi kesana membuntungi lengan pendekar itu!

la mengerti kehendak ayahnya, gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar Pendekar Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekalipun!

Bun Hui berduka. la amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baik, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justeru dia yang harus melakukannya. la sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itupun tanpa banyak cakap mengikuti, mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.

“Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona akan diperlakukan dengan baik,” katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.

Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui. Siu Bi kaget dan marah.

“Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?” teriaknya.

Bun Hui menjawab sambil menunduk.
“Nona, aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau….. kau…..”

Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera lari pergi dari situ, wajahnya pucat, napasnya terengah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya.

Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari pada besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu, cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang besar dan kokoh Kuat.

Tak mungkin dia dapat merusak pintu atau jeruji untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan kearah jeruji. Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, namun jeruji tidak menjadi patah.

la mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, namun sia-sia, jeruji baja itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang mati di tempat itu.

Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng. Biarpun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini.

Sore hari itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang pengawal datang dan mengulurkan sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tidak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk dipatahkan!

Siu Bi marah sekali, memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji, menyerang pengawal itu yang lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel kalau mengingat betapa dia menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andaikata pedang Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.

Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. la akhirnya berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih, pikirannya bingung dan….. perutnya lapar! Mengapa ia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau ia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya ia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum ia melanjutkan perjalanannya.

Pikiran ini membuat ia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang amat lelah itu diatas sebuah dipan kayu yang berada di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso dan memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la lalu bangkit dan duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan.

“Nona…… maafkan aku…..”

Sejak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersamadhi dengan tenang. Perutnya amat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biarpun tahanan itu buruk, sedikitnya diwaktu malam tidak gelap, mendapat sinar . lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri diluar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.

“Mau apa kau?” bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.

“Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona.”

Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yanp cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil panjang itu.

Sejenak timbul niat di hati Siu Bl untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi segera niat ini diurungkan ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.

“Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati kepadaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan. kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati kelaparan!”

“Ah, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan ini baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini.”

“Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!” kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi. Bun Hui girang hatinya, lalu berkata,

“Silakan makan, Nona, aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andaikata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Siu Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengebulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat.

Setelah celingukan ke kanan kiri dan yakin bahwa disitu tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga pecahlah mangkok-mangkok itu, isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak! Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui.

“Kenapa…..! kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?”

“Ih, siapa sudi?”

Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam ia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.






No comments:

Post a Comment