Ads

Sunday, February 17, 2019

Jaka Lola Jilid 025

“Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu.”

“Mau bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?” Siu Bi sengaja bersikap galak.

Pemuda itu makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hatinya.

“Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal disana adalah pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apapun juga alasannya, kau batalkan niatmu itu”.

Siu Bi melotot.
“Apa? Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?”

“Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!”

“Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun. kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo lepaskan aku, kembalikan pedangku dan kita bertempur secara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku dsini?”

“Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Maksudku hanya untuk menolongmu keluar daripada kesulitan, Nona. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan siapapun juga, sungguhpun sedih hatiku melihat kau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatrnu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona.,…”

“Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?”

Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang merupakan penyerangan tiba-tiba ini.

“Kenapa? Ah…… kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona…… hanya agaknya….. aku tidak suka melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona….. aku….. aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu.”

Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.

“Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi prikemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau menolong yang tergencet menghajar yang menindas. Akan setapi, hukum tetap hukum yang harus dilaksanakan dengan tertib. Kalau ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apakah akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini….. ah, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan hanya karena menjadi sahabat baik, melainkan masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kau mengaku akan hal itu di depan ayah!”

“Ah, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku kesini untuk menipuku….. ah, mengapa aku begitu bodoh?”

“Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada disini dan mengaku di depan ayah. Aku….. aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya daripada itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta…..”

“Aku mau memusuhi siapapun juga, apa pedulinya dengan kau?”

“Nona…..” suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.





“Ibu…… kau disini…..?” Bun Hui bertanya gagap.

“Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa seorang gadis yang liar mengancam hendak menyerbu Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?” telunjuk yang runcing menuding kearah Siu Bi yang memandang dengan bengong.

Wanita itu luar biasa cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar, pakaiannya amat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.

“Betul, Ibu. Aku….. aku sedang rnembujuknya supaya maksud hatinya itu tidak dilanjutkan,” kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya.

Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio, ilmu kepandaiannya tinggi dan di waktu mudanya la sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong (baca Pendekar Buta). Kini ia melangkah maju dan, rnemandang Siu Bi penuh perhatian.

“Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?” la bertanya memandang tajam.

Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasianya bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu! Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, ia menjawab seenaknya.

“Sudah kukatakan bahwa orang tuaku tak perlu disebut-sebut disini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena ia memang musuhku. Habis perkara’.”

Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Teringat ia akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihal dia? Mungkinkah dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cicinya yang amat lihai itu? Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw!

Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya. Pertama karena ketika ia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguhpun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, namun secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta (baca cerita Pendekar Buta)! Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini, mana mungkin dapat melawan Kun Hong?

“Lihat senjata!” tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring, tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar kearah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja.

Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-coa-to yang amat ditakuti lawan karena selain halus dan amat cepat menyambarnya, juga racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!

“Ibu…..!”

Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya. la maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat ia memandang kepada Siu Bi.

Siu Bi juga terkejut menghadapi Serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuh, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang dan menggerakkan kedua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh kekiri, kemudian ia susul dengan dorongan kemuka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.

Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung darl kedua lengan Siu Bi dan dilain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau saja ia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.

“Hebat…..! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang.”

Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih,
“Nona, harap Kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu.”

“Hemmm…..!”

Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya. Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai sekali. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, kalau tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sin-kang.

Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk diatas pembaringan di sudut, berusaha untuk istirahat mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, tiba-tiba ia berjungkir balik, kepala di bawah, kaki yang tetap bersila itu diatas, untuk melatih Iweekang menurut ajaran Hek Lojin.

Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan,
“Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?”

Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Diluar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedakap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.

Sukar menduga apa yang berada dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal, pakaiannya serba putih sederhana, rambutnya digelung keatas dan dibungkus kain putih. Muka yang membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.

Seperti kita ketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, kemudian ikut dengan pemuda yang memimpin barisan. la tidak turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk menolong diri sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.

Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa ibu pemuda itu menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada saat Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi.

la benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya mengapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan, maka ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, melainkan berlatih Iweekang secara aneh, dia tidak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.

Mengapa ia terlambat muncul? Yo Wan tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la melompati tembok dan membawa lari penjaga itu keluar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu.

Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi diluar kota, di bawah pohon yang besar. la, hanya merasa tubuhnya tak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang.

Saking takutnya, mengira bahwa ia diculik iblis tubuhnya menggigil dan tak berani ia membantah. Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.






No comments:

Post a Comment