Ads

Sunday, February 17, 2019

Jaka Lola Jilid 023

Siu Bi mengerutkan keningnya. Ini tidak menyenangkan hatinya, karena ia sendiri menganggap dirinya seorang tokoh kang-ouw pula, biarpun belum ternarna.

“Karena mereka itu tidak berani!” serunya, ingin menang.

“Memang, karena mereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa saja.”

“Tentu aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapapun juga akan kulawan dan kuhadapi dengan pedangku!”

Bun Hui tersenyum dan segera memberi perintah kepada anak buahnya untuk menyiapkan kuda. la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi.

“Mari, Nona, kita berangkat.” Kepada para petani yang tidak ikut menjadi saksi, dia berkata, “Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai saat ini di dusun Pau-ling tidak boleh terjadi keributan, tidak boleh ada yang menggunakan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor kepadaku.”

Berangkatlah rombongan itu. Siu Bi naik kuda di samping Bun Hui, di depan barisan. Lurah Bhong dan enam orang petani saksi berada di tengah rombongan. Para penduduk Pau-ling mengantar rombongan itu dengan pandangan mata mereka.

Banyak yang berlinang air mata karena girang, terharu dan juga khawatir akan keselamatan Siu Bi. Nama Cui-beng Kwan Im akan tetap terukir di sanubari para petani miskin di Pau-ling karena sesungguhnya, semenjak Siu Bi turun tangan, penderitaan mereka lenyap, setelah di dusun itu diperintah oleh seorang lurah baru yang adil sehingga tidak ada lagi terjadi pemerasan dan penindasan disitu.

Tak seorangpun tahu bahwa semua peristiwa semenjak Siu Bi dikeroyok tadi, dilihat oleh sepasang mata yang amat tajam, yang tadi memandang kagum, kemudian memandang khawatir ketika melihat gadis itu ikut pergi bersama rombongan Bun Hui.

Tanpa diketahui siapa-siapa, pemilik sepasang mata ini diam-diam mengikuti rombongan. Hebatnya, biarpun rombongan itu berkuda, dia dapat berlari cepat dan tetap mengikuti di belakang rombongan. Dia seorang laki-laki muda, kurang dari tiga puluh tahun, pakaiannya sederhana, sikapnya halus dan pendiam. Siapa lagi kalau bukan Si Jaka Lola, Yo Wan!

Seperti kita ketahui, Yo Wan meninggalkan Pegunungan Himalaya, menuju ke timur dalam perantauannya. Timbul pikirannya untuk mengunjungi Hoa-san. Ketika dia mengenangkan peristiwa di Hoa-san beberapa tahun yang lalu, dia menyesalkan akan sikapnya sendiri yang telah mendatangkan gara-gara disana.

la tidak perlu merasa takut, karena maksud kedatangannya sekarang hanya ingin mengunjungi suhu dan subonya, untuk memberi hormat dan melihat keadaan kedua orang tua itu. Gembira juga hatinya kalau memikirkan bahwa tentu sekarang Swan Bu, anak yang dahulu amat manja itu, sekarang sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Tampan dan gagah, tak salah lagi. Dahulu di waktu kecil saja sudah memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. la akan merasa bangga melihat adik seperguruan ini.

Pada hari itu, secara kebetulan sekali dia tiba di dusun Pau-ling dan mendengar ribut-ribut. Ketika dia memasuki dusun, tepat dilihatnya seorang gadis remaja dikeroyok banyak orang. la tidak tahu akan persoalannya, maka ditanyakannya kepada seorang petani diantara banyak penonton itu. Dan apa yang didengarnya benar-benar membuatnya kagum luar biasa.

Gadis itu, yang berjuluk Cui-beng Kwan Im, ternyata membela para petani miskin yang ditindas lurah, dan sekarang dikeroyok oleh tukang pukul-tukang pukul yang biasanya menyiksa penghidupan para petani miskin. la kagum, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau gadis pendekar itu akan celaka di tangan para tukang pukul yang galak.

Akan tetapi, alangkah kagumnya menyaksikan sepak-terjang gadis itu, sepak-terjang yang amat ganas dengan ilmu pedang serta ilmu pukulan yang dahsyat dan ganas pula. Uap hitam yang keluar dari tangan kiri gadis itu! Terang merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan ilmu pedang yang juga bersinar hitam, semua ini membuktikan bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian dari golongan hitam, Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian gadis itu benar-benar luar biasa!

Munculnya pemuda bernama Bun Hui mengagumkan hatinya, juga gerak-gerik pemuda itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Sekali pandang saja Yo Wan dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan, langkah kakinya yang mantap, gerak-geriknya yang ringan, terang menjadi tanda seorang ahli silat tinggi. Maka diam-diam dia mentertawai gadis itu yang amat tinggi hati. Kau terlalu memandang rendah pemuda ini, pikirnya. Betapapun juga, dia mengkhawatirkan gadis perkasa yang agaknya masih hijau ini, dan diam-diam dia mengikuti dari jauh.





Gembira juga hati Siu Bi, kegembiraan yang timbul karena kebanggaan, ketika rombongan memasuki kota Tai-goan, sebuah kota besar di sebelah barat kota raja, rombongan itu menjadi tontonan banyak orang. Dan terutama sekali, dirinya yang menjadi pusat perhatian para penonton.

Dengan lagak angkuh ia duduk diatas kudanya yang berendeng dengan kuda Bun Hui. Di sepajang jalan tadi, ia tidak mempedulikan pemuda ini, juga Bun Hui tidak satu kalipun bicara dengan Siu Bi. Biarpun di dalam hatinya Bun Hui amat kagum dan tertarik oleh gadis ini, .namun dia adalah seorang pemuda gagah yang menjunjung tinggi kesopanan, maka dia menahan perasaannya dan tidak mau mengajak bicara Siu Bi di depan orang banyak.

Namun tidak sedetikpun perhatiannya beralih dari diri gadis di sampingnya. la heran sekali bagaimana seorang gadis semuda dan sejelita ini bisa bersikap demikian ganas, dan diam-diam dia menduga-duga murid siapakah gerangan gadis ini, siapa pula namanya. Ingin dia segera tiba di kota raja agar dalam pemeriksaan dia akan dapat mendengar riwayat dara yang telah menjatuh bangunkan hatinya itu.

Siapakah sebetulnya pemuda ini? Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu telah mengenal ayah pemuda ini yang bukan lain adalah Bun Wan, putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai!

Di dalam cerita Pendekar Buta telah dituturkan bahwa Bun Wan menikah dengan seorang gadis lihai puteri majikan Pulau Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau) yang bernama Giam Hui Siang. Kemudian, karena jasanya dalam perjuangan membantu Raja Muda Yung Lo yang mengalahkan keponakannya sendlri, setelah Yung Lo mengganti kedudukan sebagai kaisar dan memindahkan ibu kota dari selatan ke utara, Bun Wan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan jasanya, malah pernah menjabat sebagai seorang jenderal.

Dari perkawinannya dengan Giam Hui Siang, dia memperoleh seorang putera yang diberi nama Hui. Kemudian, melihat watak Jenderal Bun yang amat jujur keras dan adil, oleh kaisar Jenderal Bun diangkat menjadi pengawas dan pemeriksa semua alat negara.

Kekuasaannya amat tinggi sehingga dengan pedang kekuasaannya yang diberikan oleh kaisar, Jenderal Bun berkuasa memeriksa semua petugas, dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Inilah yang menyebabkan dia ditakuti dan disegani oleh para menteri sekalipun, karena jenderal ini terkenal sebagai seorang yang berdisiplin, keras dan adil, tak mungkin disuap dan tidak mengenal ampun pada para pembesar yang korup.

Di samping keseganan, tentu saja Jenderal Bun ini mendapatkan banyak sekali musuh yang membencinya secara diam-diam. Tapi siapakah orangnya berani menentangnya secara berterang? Jenderal Bun selain lihai ilmu silatnya, memiliki perajurit-perajurit pilihan, disayang dan dipercaya kaisar, di samping ini, masih ada Kun-lun-pai sebagai partai persilatan besar yang seratus prosen berdiri di belakangnya!

Jenderal Bun adalah seorang ahli silat Kun-lun-pai yang memiliki kepandaian tinggi, juga Giam Hui Siang isterinya adalah seorang ahli silat tinggi yang mewarisi kepandaian Ching-toanio majikan Pulau Ching-coa-to.

Tentu saja sebagai putera Bun Hui semenjak kecil digembleng ayah bundanya sendiri sehingga memiliki kepandaian yang hebat. Pemuda ini mewarisi watak ayahnya, keras, jujur dan adil. Oleh karena inilah maka dia dipercaya oleh ayahnya dan sering kali dia mewakili ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan di Tai-goan, untuk mengadakan pemeriksaan di wilayah yang dikuasakan oleh kaisar.

Pada hari itu, Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang sedang sibuk di kamar kerjanya, menjadi terheran-heran melihat puteranya pulang bersama seorang gadis cantik jelita yang sikapnya angkuh dan gagah, diiringkan pula oleh lurah Bhong dari dusun Pau-ling dan beberapa orang petani miskin.

Lurah Bhong dan para petani segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja jenderal itu, akan tetapi Siu Bi tentu saja tidak sudi berlutut, malah berdiri tegak dan memandang laki-laki tinggi besar yang duduk di belakang meja. la melihat seorang laki-laki yang gagah, berusia sepantar ayahnya, pakaiannya seperti seorang panglima perang matanya sebelah kanan buta, akan tetapi hal ini malah menambah keangkerannya. Mau tidak mau Siu Bi menaruh segan dan hormat kepada orang tua ini, maka ia diam saja, hanya memandang.

Sejenak Bun-goanswe menatap wajah Siu Bi, maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang tinggi hati dan merasa dirinya paling pandai, maka dia tersenyum di dalam hati dan tidak menjadi kurang senang melihat gadis remaja itu tidak memberi hormat kepadanya. Dengan tenang dia mendengarkan penuturan Bun Hui tentang keributan di dusun Pau-ling. Mata yang tinggal sebelah itu bersinar marah dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Segera dia menoleh kearah lurah Bhong yang masih berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.

“Lurah Bhong, betulkah pendengaranku bahwa kau tidak memperlakukan penduduk desamu dengan adil, melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu?”

“Mohon ampun, Taijin….. hamba….. hamba tidak merasa melakukan perbuatan sewenang-wenang. Ham….. hamba sudah tua….. jarang bekerja diluar….. semua urusan hamba serahkan kepada petugass petugas hamba…..”

“Hemmm, sudah keenakan lalu bermalas-malasan dan bersenang di dalam gedung saja, ya? Melalaikan kewajiban, tidak peduli akan keadaan penduduk, bersikap masa bodoh asal kau sendiri senang? Begitukah sikap seorang kepala kampung? Tentang keributan antara anakmu dan orang-orangmu dengan Nona ini, bagaimana?”

“Hamba tidak jelas….. hanya gadis liar ini datang menyerang, membunuh anak hamba….. melukai semua petugas, membuntungi lengan mereka, tak seorangpun selamat. Hamba….. hamba monon Taijin sudi menghukum gadis liar ini, dia jahat!”

Bun-goanswe menoleh kearah Siu Bi, sinar matanya penuh selidik. la tak senang juga mendengar gadis ini telah membunuh orang dan membuntungi lengan dua puluh orang lebih. Sungguh ganas!

Akan tetapi Siu Bi menentang pandang matanya dengan berani, berkedippun tidak. Sepasang mata yang amat tajam dan penuh ketabahan dan kekerasan hati. Seorang gadis berbahaya, apalagi kalau berkepandaian tinggi.

“Nona, kau siapakah?”

“Orang-orang dusun menyebutku Kwan Im Pouwsat, akan tetapi aku lebih senang memakai nama Cui-beng Kwan-im,” jawab Siu Bi, suaranya merdu dan lantang.

Bun-goanswe tak dapat menahan senyumnya, senyum maklum dan setengah mengejek. la pernah muda, pernah dia melihat gadis-gadis kang-ouw seperti ini di waktu mudanya. Malah isterinya sendiri, dahulu lebih ganas daripada gadis ini!

“Namamu siapa? Siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?”

Siu Bi mengerutkan kening. Untuk apa tanya-tanya orang tua ini, pikirnya. Akan tetapi ia tidak berani menjawab secara kurang ajar, hanya menjawab sewajarnya,

“Tentang orang tuaku, kiranya tidak perlu disebut-sebut disini. Namaku Siu Bi, dan tentang guruku….. hemmm, mendiang guruku berjuluk Hek Lojin.”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bun-goanswe mendengar nama ini. Di dalam cerita Pendekar Buta telah diceritakan betapa dia dan isterinya pernah bertemu dengan Hek Lojin dan terluka hebat, mungkin binasa kalau tidak ditolong oleh Kwan Kun Hong Si Pendekar Buta!

Hek Lojin adalah seorang kakek iblis yang dulu pernah hampir membunuh dia dan isterinya dan sekarang muridnya gadis ini yang tentu juga seorang gadis iblis pula, berdiri di depannya kalau saja Bun-goanswe bukan seorang tua yang sudah matang pengalamannya, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan, tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.

“Kenapa kau membunuh putera lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?” tanyanya, sikapnya tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak ayahnya, nnengangkat muka memandang.

Siu Bi mengedikkan kepalanya, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa ia tidak peduli.

“Harap kau orang tua suka tanya saja kepada para petani ini bagaimana duduknya perkara sebenarnya. Kalau benar seperti yang kudengar dari paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan menghukum lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan memberi hajaran kepadanya!” Siu Bi mengerling kepada lurah Bhong dengan pandang mata jijik.

Merah muka Bun-goanswe. Seorang bocah bicara seperti itu di depan banyak orang, benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya,

“Dengan cara apa kau hendak menghajarnya?”






No comments:

Post a Comment