Ads

Sunday, February 17, 2019

Jaka Lola Jilid 022

“Siapa sudi mendengar omongan manismu yang beracun?” Siu Bi membentak. “Kau seorang yang amat jahat, mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Orang macam engkau ini tidak ada harganya diberi hidup lebih lama lagi.”

Memang Siu Bi amat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan para petani betapa pemuda ini telah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di dusun itu, merampasi isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal yang mengerikan, banyak diantara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.

“Nona, antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu…..”

“Jahanam perusak wanita! Tak usah berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!”

Bhong Lam adalah seorang pemuda yang selalu dihormat dan ditakuti orang. Selama hidupnya, baru sekali ini dia dimaki-maki dan dihina. Biarpun dia tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apalagi melihat betapa para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.

“Keparat, kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormatan orang. Kau kira aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, belum tahu rasa kau, dan biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasan!” Setelah berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.

Dengan senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas menyerang. la mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih tinggi daripada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun baginya pemuda inipun merupakan lawan yang empuk saja.

Pada saat itu, terdengar suara berisik dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu sambil membawa senjata. Tukang-tukang pukul keluarga Bhong ada dua puluh orang jumlahnya, kini mendengar berita bahwa gedung majikan mereka didatangi seorang wanita yang mengamuk, tergesa-gesa mereka lari mendatangi.

Ketika mendengar bahwa ada enam orang teman mereka yang dibuntungi lengannya, mereka itu marah sekali. Apalagi ketika melihat betapa Bhong-siauw-ya (tuan muda Bhong) mereka sekarang sedang bertempur melawan wanita itu dan berada dalam keadaan terdesak, kemarahan mereka memuncak dan tanpa diberi komando lagi, empat belas orang tukang pukul itu serentak maju mengeroyok.

Siu Bi tadi sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mempunyai dua puluh orang tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah lengkap berkumpul disitu. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang pukul, baru ia hendak turun tangan.

“Para paman, lihatlah aku membalaskan dendam kalian!” terdengar bentakan merdu dan nyaring diantara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.

Seiring dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi bayangan berkelebat dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang digunakan oleh gadls itu, dan akibatnya mengerikan sekali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul.

Tubuh para tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali. Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itupun roboh tersungkur tak dapat berkutik lagi. Tidak sampai seperempat jam lamanya, empat belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik, darah mengucur dari dadanya yang sudah tertembus pedang.

Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman itu. Para petani yang tadinya menonton dengan jantung berdebar, kini tidak berani memandang lagi. Mereka adalah korban-korban kekejaman dan sering kali mereka itu disiksa, akan tetapi menyaksikan ini membuat mereka menggigil dan tidak berani memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan penyiksa-penyiksa mereka itu terbalas dan terhukum, namun apa yang dilakukan oleh “Dewi Kwan Im” ini benar-benar amat menyeramkan.

Empat belas orang dan enam orang mandor di sawah, dibuntungi lengannya sedangkan Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merintih-rintih memegangi lengan kanan yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur seperti pancuran.





Siu Bi seperti seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa akan datang antek-antek keluarga Bhong, ia menantang,

“Hayo, kalau masih ada binatang-binatang keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan Im!”

Seorang laki-laki setengah tua, Bhong-loya sendiri, yaitu lurah Bhong Ciat, diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah kedua suami isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak mandi darah tak bernyawa lagi.

Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah perajurit-perajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang, dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.

“Minggir! Bun-enghiong (pendekar Bun) datang…..!” teriak orang-orang yang tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan gedung lurah Bhong.

Pemuda tampan itu memberi tanda dengan tangan menyuruh barisannya berhenti. Dia sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak, matanya terbelalak heran menyaksikan empat belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya.

Adapun Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu, segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.

“Aduh, Bun-enghiong….. tolonglah kami….. malapetaka telah menimpa keluarga kami, anak kami tewas….. orang-orang kami buntung semua lengan mereka….. penasaran….. penasaran…...”

“Paman Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?” Si pemuda tampan bertanya, pandang matanya mencari-cari.

“Aku yang melakukan!” tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Pemuda itu cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,

“Nona, harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamukan seperti ini.”

“Siapa main-main? Huh, memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja apa sih sukarnya? Biar ada sepuluh kali mereka banyaknya, semua akan kurobohkan!”

Siu Bi menyombong, pedangnya digerakkan melintang di depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah.

Berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan kekagetan.

“Nona siapakah?”

“Huh, baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya kaya pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!”

Pemuda itu memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan matanya untuk sedetik menyinarkan kegembiraan.

“Nona, ketahuilah, aku yang rendah bernama Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?”

“Aku Cui-beng Kwan Im!” jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan dada dan pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguhpun diam-diam dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,

Bun Hui tercengang. la tahu bahwa nona itu menggunakan nama samaran, atau nama julukan. Julukan yang hebat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas seperti setan pengejar nyawa! la mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw, lebih banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apalagi kalau yang punya nama itu seorang dara jelita seperti ini!

Sementara itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan berbisik,

“Pouwsat (dewi), dia itu adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga yang amat adil dan.ditakuti pembesar macam Bhong-loya.”

Siu Bi mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya mendongkol. Jadi pemuda ini putera pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!

“Eh, orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi percaya? Kalau kau atau ayahmu benar adil, tentu tidak akan membiarkan para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong dan kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, biarpun merupakan pembesar-pembesar tinggi, tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu macam anjing-anjing ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa? Mau membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!”

Bun Hui terheran-heran dan diam-diarn dia amat kagum di samping kemarahannya akan kesombongan dara ini. Ia menoleh kearah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu bertanya,

“Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?”

Bhong Ciat adalah seorang yang pandai mengambit hati, karena kekayaannya dia pandai bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja dapat dikelabuhi, mengira dia seorang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.

“Bohong, Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!” Bhong Ciat cepat membantah. “Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara petani.”

Akan tetapi belum juga Bun Hui melakukan pertanyaan, para petani itu serempak berteriak-teriak,

“Memang betul ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara dibawah telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki tangannya yang kejam! Bhong-loya tidak tahu apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli akan keganasan puteranya, selalu berfihak kepada puteranya!”

Biarpun orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul-menyusul, namun isi teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. la kini menghadapi Siu Bi kembali, yang masih berdiri tegak menantang.

“Nah, apakah kau masih hendak memihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap berfihak kepada mereka yang tertindas!”

“Sabar, Nona. Aku tidak berfihak kepada siapa-siapa, melainkan berfihak kepada hukum. Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti dan mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Sekarang, sebagai wakil ayah, aku menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan disini, khawatir kalau-kalau aku terpengaruh oleh salah satu fihak dan dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku, juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara tani sebagai saksi. Beranikah Nona menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?”

Biarpun masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Oleh kecerdikannya ini dia dapat menghadapi Siu Bi. la dapat menyelami watak dara lincah yang tidak mungkin mau mengalah itu, maka sengaja dia menantang apakah Siu Bi berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata berapi gadis itu membentaknya,

“Mengapa tidak berani? Hayo, biar malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut karena aku membela keadilan!” serunya.

“Bagus sekali!” Bun Hui berseru girang, “Nona betul gagah perkasa. Banyak orang kang-ouw yang tidak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara, seakan-akan mereka itu tidak bernegara, dan tidak mengenal hukum. Mereka suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati, sehingga terjadilah balas-membalas dan permusuhan di mana-mana.”






No comments:

Post a Comment