Ads

Sunday, February 17, 2019

Jaka Lola Jilid 021

“Pouwsat (Dewi) yang mulia…… kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan miskin….. tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah diperas dan ditekan oleh Bhong-loya….. mereka itu adalah tukang-tukang pukul Bhong-loya…..”

“Tan-pek, kenapa kau begitu lancang mulut…..?” tegur seorang petani di belakangnya yang nampak ketakutan sekali. “Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?”

Siu Bi menahan senyum geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat adalah seorang dewi yang penuh kasih terhadap manusia. Kata kong-kongnya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai yang rnempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, sudah sepatutnya mempunyai nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.

“Jangan takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat. Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?”

“Jahat?”

Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini, mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak.

“Mereka itu lebih jahat daripada Bhong-loya sendiri! Mereka itu seperti serigala-serigala kelaparan, entah berapa banyak diantara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel.”

Makin panas hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan membunuh orang patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh kearah enam orang mandor itu, ternyata rnereka sudah bangkit dari lumpur, berhasil mencuci muka dengan air sawah, lalu kini mereka melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap mengancam mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh tampak pada mata mereka yang merah.

“Setan betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) dari Bhong-loya? Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!” teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.

Melihat gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya.

Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus. Dengan ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu, tangan kiri Siu Bi telah terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak.

Tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat bagaikan kilat menyambar, pedang itu membabat ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya menjerit dan pingsan!

Lima orang kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak mau memberi ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebatan dan lenyap bentuknya sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Jerit susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini kalau marah terdorong oleh nafsu membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor ini, seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong dan anak isterinya!

Dengan tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka puas karena ada “Sang Dewi” yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, akan tetapi mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir mereka.

“Para paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang she Bhong yang sewenang-wenang itu, jangan takut, aku akan menanggung semua perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja.”

Mula-mula para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.

“Mari, Pouwsat, saya antarkan. Biar aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manusia-manusia berwatak binatang itu.”





Melihat semangat empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit. Akan tetapi hanya beberapa belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani mengangkat muka.

Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang, karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari dimana rumah manusia she Bhong itu.

Dengan wajah membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi menuju ke dalam dusun.

Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, apalagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah.

Gempar seketika keadaan dusun Pau-ling, lebih-lebih ketika para petani miskin itu menyatakan tanpa keraguan bahwa dara jelita yang mereka iringkan ini adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!

Segera banyak orang ikut mengiringkan walaupun dari jarak agak jauh sebagai penonton karena mereka tidak ingin menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton.

Gedung besar yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di dusun itu sudah bertahun-tahun.

Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah para tani yang sebagian besar dahulunya merupakan pelarian daripada banjir besar Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kayaraya. Betapapun juga, harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sebenarnya bernama Bhong Ciat itu tidaklah seganas dan sekeji orang-orangnya.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih galak dan ganas daripada majikannya. Para petugas rendahan merupakan serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat.

Ransum untuk para pekerja kasar yang sudah ditentukan oleh Bhong Ciat, hanya sebagian kecil saja sampai di tangan para pekerja itu. Upahpun demikian pula, dicatut, dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak seberapa itu masuk ke kantong para pekerja.

Celakanya, Bhong Ciat sudah terlalu mabuk akan kesenangan dan kemuliaan, sama sekali tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, sama sekali tidak tahu bahwa orang-orangnya melakukan tekanan yang amat kuat dikiranya bahwa semua berjalan lancar dan licin dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati makanan lezat dilayani oleh selir-selir muda dan cantik.

Lebih celaka lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong itu mempunyai seorang anak laki-laki, bukan anak sendiri melainkan anak pungut karena Bhong Ciat tidak mempunyai keturunan sendiri, seorang anak laki-laki yang sudah dewasa bernama Bhong Lan.

Pemuda inilah yang membuat keadaan menjadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tidak ada seorangpun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman. Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya.

Untuk maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora kadang-kadang kalau sudah bosan di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya dan di kota. Inilah dia menghamburkan uang dan main gila.

Bhong Lam tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. la pernah belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama sekali permainan toyanya amat kuat dan semua tukang pukul keluarga Bhong tidak seorangpun dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaian inilah yang membuat Bhong Lam makin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah menjadi seorang pangeran!

Sebagai keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya. Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yang mengiringkan Siu Bi tiba disitu. Ada saja petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan maksud menjilat mencari muka, melaporkan kepada Bhong-loya.

Pada saat itu, kebetulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang peristiwa itu marahlah pemuda ini. Cepat dia menyambar toyanya dan menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada “dewi palsu” itu. Dengan geram Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam gedung ketika mendengar suara ribut-ribut diluar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba disana.

Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua petani yang mengiringkannya. Tak seorangpun akan diberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.

“Setan betina, berani kau main gila….?”

Bhong Lam melompat keluar sambil menudingkan telunjuknya. Akan tetapi tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biarpun telunjuk kirinya masih menuding dan toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya ternganga. la melongo tak dapat mengeluarkan suara memandang wajah Siu Bi bagaikan terpesona dan kehilangan semangat.

Sungguh mati dia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang mandornya itu adalah dara secantik bidadari. Pantas saja. disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im! Belum pernah selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya daripada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya. Dibunuh? Wah, sayang Lebih baik ditangkap dan….. ah, belum pernah dia mendapatkan seorang dara pendekar. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan juga dan kini mulutnya dapat bergerak.

“Nona….. eh, kau siapakah dan….. eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Kalau mereka berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur dan menghukum mereka!”

Kalau saja Siu Bi dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu tidak mendengar penuturan petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkatnya, Bhong Lam, tentu ia akan tercengang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini. Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata kerajang, maka sikap Bhong Lam sekarang ini baginya merupakan sikap ceriwis, bukan sikap ramah tamah. Berkerut alisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan pedang rampasannya sambil bertanya,

“Kaukah yang bernama Bhong Lam?”

“Aduh mati aku….”

Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu itu. Bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apalagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya.

“Hayo jawab!” Siu Bi tak saba lagi melihat pemuda itu memandangnya tak berkedip.

Bhong Lam sadar dan tersenyum dibuat-buat.
“Betul, Nona. Silakan Nona masuk.” Pada para petani itu Bhong Lam berseru, “Kalian pergilah, kembali ke sawah. Tidak ada urusan apa-apa disini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalah fahaman di sawah tadi habis sampai disini saja.”






No comments:

Post a Comment