Ads

Saturday, February 16, 2019

Jaka Lola Jilid 020

Kita tinggalkan dulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan perantauannya, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis lincah dan berhati tabah itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati sakit. Setelah ia mengetahui bahwa la bukan puteri The Sun, bukan keturunan keluarga The, simpatinya tertumpah kepada mendiang Hek Lojin yang telah terbunuh oleh The Sun. Ia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya ia bukan puterii The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah ia bukan anak ibunya pula?

Mengingat ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan. Ia amat mencinta ibunya, dan sekarang ia pergi tanpa pamit. Biarpun orang yang selama ini mengaku ayahnya telah mengecewakan hatinya dengan memukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tak pernah melukai hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andaikata ia bukan ibunya yang sejati, Sui Bi tetap akan mencintanya.

Betapapun juga, Siu Bi dapat menguasai perasaannya dan melakukan perjalanan dengan tabah. Tujuannya hanya satu, yaitu mencari dan membalas dendam kepada Kwa Kun Hong!

la akan menantang Pendekar Buta itu sebagai wakil Hek Lojin dan berusaha sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta, juga lengan isterinya dan anak-anaknya. la sudah bersumpah di dalam hati kepada kong-kongnya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat melakukan tugas ini. Setelah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang, ia merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapl lawan yang bagaimanapun juga.

Ingat akan hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan dibawah sebatang pohon besar ia berhenti lalu berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali ilmunya ini. Pedangnya, hanya sebatang pedang biasa saja, berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar diantara awan menghitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang.

Ketika ia berhenti berlatih sejam kemudian, dibawah pohon sudah penuh daun-daun pohon yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa pukulan Hek-in-kang!

Siu Bi berdlri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, lenganmu dan lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!

Sebagai seorang gadis remaja yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunungan yang luas dan jalan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Siu Bi tidak menemui kesukaran. Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang-kadang dia harus melompat jurang. Dengan ginkangnya yang tinggi ia dapat melompat bagaikan terbang saja, tubuhnya ringan meluncur diatas jurang, dilihat dari jauh tiada ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang terbang melayang turun ke dunia.

Pakaiannya yang terbuat daripada sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya.

Berpekan-pekan Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun-dusun di kaki gunung dan rnelalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang, tentu dia menjadi pusat perhatian. Apalagi kaum pria, melihat seorang gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman.

Namun tiada orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat, akan tetapi juga Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tidak boleh dibuat main-main!

Pada suatu hari sampailah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan perjalanan sebulan lebih ke selatan.

Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut kota, melainkan sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum. Tanah di lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju, hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil-hasil sawah ladang diangkut melalui sungai dengan perahu-perahu besar.

Ketika Siu Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan gandum berkarung-karung keatas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan.





Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor, membentak-bentak dan ada kalanya mengayun cambuk ke punggung seorang pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa dan memandang dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding kearah Siu Bi.

Panas hati Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau perjalanannya tertunda hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan sebentar saja ia sudah tiba diluar dusun Pau-ling.

Akan tetapi kembali diluar dusun, dikanan kiri jalan dimana sawah ladang membentang luas, ia disuguhi pemandangan yang amat menyolok mata. Belasan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan kurus seperti para kuli angkut karung gandum dan padi tadi, bekerja di sawah, menuai gandum.

Belasan orang wanita juga bekerja. Mereka bekerja dengan penuh semangat, akan tetapi jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga mereka dengan cambuk di tangan pula. Disana-sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.

Siu Bi berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi ia kiranya tidak akan sembarangan mau mencampuri urusan orang kalau saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya.

la melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting setelah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan dia menjerit dan menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang sudah pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, yang seorang sekali sambar telah mengangkat tubuh gadis itu dan….. menciuminya sambil terkekeh-kekeh dan berkata,

“Ha-ha-ha, jangan mau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan diberikan kepadaku . Ha-ha-ha!”

Adapun mandor kedua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk, memaki-maki,

“Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus disini? Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!”

Siu Bi tak dapat menahan kesabarannya lagi.
“Keparat jahanam, lepaskan mereka!”

Bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis tani, sekali kakinya bergerak menendang terdengar suara “bukkk!” dan mandor yang galak dan ceriwis itu terlempar sampai empat meter lebih dan jatuh terbanting ke dalam lumpur.

Hanya beberapa detik selisihnya, tahu-tahu terdengar suara “ngekkk!” ketika orang kedua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun.

Semua pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku. Muka mereka pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.

“Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwa” Im) menolong kita…..” bisik seorang laki-laki tua dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi.

Pada masa itu, kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan dunia dan menolong orang-orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im, terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan penolong yang juga terkenal amat cantik jelita.

Kini melihat seorang dara jelita berani melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im yang menolong mereka.

Akan tetapi dua orang mandor itu tidak berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat seperti Siu Bi. Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tak berdaya karena ketika terbanting tadi, muka mereka mencium lumpur sehingga sibuk mereka membersihkan lumpur dari mata, hidung, dan mulut, meludah-ludah dan menyumpah-nyumpah.

Empat orang kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa yang terjadi disitu. Para pekerja ketika melihat teman-temannya berlutut menghadapi Siu Bi dan melihat dua orang mandor merangkak dengan muka penuh lumpur seperti monyet, segera mengerti atau dapat menduga duduknya perkara.

Tanpa banyak komentar lagi mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma sebagai gadis cantik dan sedang menolong mereka itu!

Empat orang mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok,

“Tangkap gadis setan itu, berikan padaku nanti”

Mendengar ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang diantara mereka yang berkumis tikus membentak,

“Bocah, siapa kau dan apa yang kau lakukan disini?”

“Apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku lakukan, yang menjadi persoalan,” suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! “Kalian berenam ini manusia ataukah binatang-binatang buas, menekan orang-orang miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang kulakukan tadi hanya menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Kalau kalian serupa dengan mereka, kalian berempatpun akan kuberi tendangan seorang sekali.”

Dapat dibayangkan, betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan alias tukang-tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah dan manusia paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya, semua perahu besar adalah milik Bhong-loya.

Siapa berani menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para pembesar dari kota raja adalah teman-temannya, para buaya darat adalah kaki tangannya, dan para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perampok yang memiliki kepandaian. Kini anak perempuan yang masih hijau itu berani memandang rendah mereka?

“Bocah setan, kau harus diseret ke depan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa” bentak seorang diantara mereka.

Akan tetapi baru saja tertutup mulutnya, tubuhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tendangan kaki kiri Siu Bi!

Gerakan Siu Bi tadi cepat bukan main, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin.

Tiga mandor yang lain dengan marah menerkam maju. Mereka tidak menggunakan aturan perkelahian lagi, karena di samping kemarahan mereka, juga mereka kagum dan tergila-gila akan kecantik jelitaan yang jarang bandingannya di kota Pau-ling. Maka mereka berusaha meringkus dan memeluk gadis galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.

“Brukkk!” tiga orang itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala.

Dalam kegemasan tadi, mereka menubruk berbareng, seperti tiga ekor kucing menubruk tikus. Tapi yang ditubruk hilang, yang menubruk saling beradu kepala. Siu Bi tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya menendang dan dilain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting masuk ke dalam lumpur di sawah.

“Lopek, mengapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?”

Siu Bi bertanya kepada seorang petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang kemasukan lumpur.






No comments:

Post a Comment