Ads

Saturday, February 16, 2019

Jaka Lola Jilid 019

Namun Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Larinya cepat seperti kijang dan setiap kali melalui hutan atau gunung yang sukar, dia masih dapat berlari cepat. Juga sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana, tidak membawa apa-apa, dia terbebas daripada gangguan para perampok yang hanya memperhatikan orang-orang yang membawa barang barang berharga.

Setelah tiba di Pegunungan Himalaya, barulah pemuda itu mengalami kesukaran hebat. Beberapa kali hampir saja dia celaka ketika perjalanannya sampai di bagian yang tertutup salju. Dinginnya hampir tak tertahankan lagi. Pernah ada gunung es longsor, gugur dan kalau dia tidak cepat melompat ke dalam jurang dan berlindung, tentu dia akan terkubur hidup-hidup dalam salju.

Kurang lebih sebulan dia melalui perjalanan yang amat sukar dan sunyi ini. Hanya kadang-kadang dia berjumpa kelompok pengembara atau singgah di gubuk pertama. Ditempat seperti ini, uang tidak ada artinya lagi, tidak dapat menolong seseorang daripada kesengsaraan. Hanya sikap yang baik dapat menolongnya, karena pertolongan datang dari orang-orang yang tidak terbeli oleh harta, melainkan oleh keramahan.

Dari para pertapa inilah Yo Wan akhirnya sampai juga di Anapurna, tempat pertapaan Bhewakala. Pendeta Itu amat girang melihat kedatangan Yo Wan yang berlutut di depannya dan menceritakan semua pengalamannya di Hoa-san.

“Ha-ha-ha, Pendekar Buta memang hebat dan dia cukup menghargai orang lain maka dia menyuruh kau datang kesini, muridku. Memang dia betul, biarpun ilmu-ilmu yang pernah kau latih dari aku dan Sin-eng-cu telah mendarah daging pada tubuhmu, namun masih mentah karena kau belum dapat menyelami inti sarinya. Nah, mulai hari ini kau belajarlah baik-baik muridku.”

Ternyata Bhewakala tidak hanya menggembleng Yo Wan dalam ilmu silat untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi juga memberi gemblengan-gemblengan ilmu batin kepada Yo Wan.

Makin lama makin betah pemuda ini tinggal di Himalaya, makin meresap ke dalam hatinya. Pelajaran kebatinan dan biarpun dia masih buta huruf karena tidak pernah mempelajarinya, namun kini mata hatinya sudah terbuka dan dapatlah dia meneropong ke dalam penghidupan manusia.

Mengertilah dia kini akan ucapan Kun Hong tentang dendam dan balas-membalas, dan makin lama makin tipislah keinginan hatinya untuk mencari The Sun dan membunuhnya. Lenyap pula hasratnya untuk merantau di dunia ramai karena di samping gurunya, ditempat yang sunyi dan dingin ini, dia telah menemukan ketenteraman hidup, kebahagiaan sejati manusia yang tidak digoda kehendak nafsu, sedikit demi sedikit melepaskan diri daripada lingkaran karma.

Waktu berjalan pesat seperti anak panah terlepas daripada busurnya, Sembilan tahun lamanya Yo Wan berada di Himalaya dan pada suatu hari Bhewakala yang sudah tua itu jatuh sakit. Pendeta ini maklum bahwa waktu hidupnya sudah tiba pada saat terakhir. la tidak ingin muridnya yang terkasih itu menyia-nyiakan hidup sebagai pertapa selagi masih begitu muda. Dipanggilnya Yo Wan dan dengan suara lirih dan napas tinggal satu-satu pendeta ini meninggalkar pesan.





“Yo Wan, saat bagiku untuk meninggalkan dunia sudah hampir tiba. Aku girang dengan peristiwa ini, karena selain berarti kebebasanku, juga kau akan terlepas daripada ikatanmu dengan aku. Ilmu yang kau miliki sudah cukup untuk bekal hidup. Bertahun-tahun kau tetap menolak perintahku untuk turun gunung dan merantau, dengan alasan ingin melayani aku yang sudah tua sebagai pembalas budi. Kau masih terikat oleh budi, tentu tak mudah melepaskan diri daripada ikatan dendam. Akan tetapi kau sudah masak sekarang, matang lahir batin. Pesanku terakhir ini harus kau taati, Yo Wan. Apabila aku meninggal dunia, kau harus bakar jenazahku di pondok ini, bakar semua yahg berada disini. Kemudian kau harus tinggalkan tempat ini, kembali ke timur.”

“Tapi…… Guru”

“Tidak ada tapi, kau sebagai seorang anak tidak boleh menjadi anak yang puthouw (tidak berbakti). Ada kuburan ayahmu, ada kuburan ibumu disana, siapa yang akan merawatnya? Pula, kau bukan ditakdirkan hidup menjadi pertapa. Kau harus turun gunung, kembali ke dunia ramai, mencari jodoh, mempunyai turunan seperti manusia-manusia lain. Soal The Sun, terserah kebijaksanaanmu sendiri.”

“Ah, Guru…..”

Bhewakala tersenyum lebar.
“Biarkan dirimu menjadi permainan hidup, menjadi permainan kekuasan Tuhan, karena untuk itulah kau diberi hak hidup disertai kewajiban-kewajibannya. Kalau kau mengingkari pesanku ini, selamanya kau takkan dapat tenteram, karena kau tentu tidak akan suka mengecewakan aku.”

Yo Wan tak dapat membantah lagi karena dia maklum bahwa apa yang dikatakan gurunya itu betul belaka. la tidak mungkin mau mengecewakan orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya, sungguhpun masa depan di dunia ramai tidak menarik hatinya, bahkan menggelisahkan.

Pada malam harinya, Bhewakala menghembuskan napas terakhir di depan Yo Wan. Pemuda yang sekarang sudah berusia dua puluh lima tahun lebih itu menyambut kematian ini dengan wajar, tidak menangis, biarpun ada juga penyesalan akibat daripada perpisahan dengan orang yang disegani dan dihormati.

la melaksanakan pesan gurunya itu dengan baik-baik, membakar jenazah berikut pondok dan segala benda yang berada di situ.

Tiga hari tiga malam dia berkabung di tempat yang sudah menjadi gundul dan kosong itu, kemudian mulailah dia turun gunung, pagi-pagi berangkat kearah munculnya matahari yang kemerah-merahan.

Bergidik dia melihat keindahan ini, karena dia merasa seakan-akan dia sedang berjalan menuju ke api neraka yang merah, dahsyat dan akan menelannya!

**** 019 ****





No comments:

Post a Comment