Ads

Saturday, February 16, 2019

Jaka Lola Jilid 016

Sebetulnya, robohnya Tiat-pan Sin-kai hanya dalam di jurus ini bukan semata-mata karena kelihaian Yo Wan, melainkan sebagian besar dikarenakan kesalahan pengemis itu sendiri. la terlalu memandang rendah bocah itu, dianggapnya sekali pukul dengan toya akan remuk kepalanya. Oleh karena memandang rendah inilah maka sekali balas saja Yo Wan berhasil merobohkannya. Andaikata pengemis itu lebih hati-hati, biarpun tak mungkin dia dapat mengalahkan Yo Wan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu sakti, namun kiranya tidak akan roboh hanya dalam satu dua jurus saja!

“Bocah setan! Berani kau menghina saudaraku?” Kakek pengemis di sebelah kiri ketua pengemis meloncat ke depan, menghadapi Yo Wan dengan mencabut pedang di pinggangnya. “Hayo keluarkan senjatamu dan kau lawan aku!”

Sikap pengemis ini jauh lebih gagah daripada Tiat-pang Sin-kai dan memang dia tidak memandang rendah kepada Yo Wan, karena dia menduga bahwa Yo Wan tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Memang dia seorang yang cukup berpengalaman dan tidak sembrono seperti temannya tadi. Pengemis ini menjadi pembantu Sin-tung Lo-kai karena ilmu pedangnya membuat dia jarang menemukan tanding. Dia bernama Souw Kiu, seorang ahli pedang dan ahli tenaga Iweekang.

Hati Yo Wan tergetar. la tidak pernah mengalami pertandingan-pertandingan, yaitu pertandingan yang sungguh-sungguh, karena pertandingan yang dia saksikan selama tiga tahun di puncak Liong-thouw-san adalah pertandingan “teori”. Ketika dia merobohkan dua orang pengemis kemarin dan pengemis bertoya tadi, dia sama sekali tidak mengira bahwa demikian mudah dia mencapai kemenangan.

Disangkanya bahwa memang tiga orang pengemis itu hanya orang-orang sombong yang tidak ada gunanya. Sekarang, menghadapi Souw Kiu yang tenang, bermata tajam dan memegang pedang dengan sikap yang kokoh kuat, mau tak mau dia menjadi gentar pula untuk menghadapinya dengan tangan kosong.

‘”Tukang kuda, kau pakailah pedangku ini!” Tiba-tiba Swan Bu berseru sambil mencabut pedangnya yang amat indah.

Yo Wan tersenyum. Lenyap sudah rasa sakit di pundaknya oleh anak panah yang masih menancap itu. Sikap Swan Bu ini sekaligus telah menjatuhkan hatinya dan meluapkan maafnya terhadap putera dari suhunya itu. la tersenyum lebar sambil menoleh kearah Swan Bu.

“Tuan Muda, terima kasih. Tidak berani aku merusakkan pedangmu,” jawabnya dengan sungguh-sungguh dan jujur, sama sekall dia tidak tahu bahwa jawabannya ini membuat wajah Hui Kauw dan Kun Hong menjadi merah karena ayah dan ibu ini merasa terpukul oleh jawaban muridnya kepada puteranya yang tadi memperlakukan Yo Wan dengan sewenang-wenang.

Yo Wan maklum bahwa untuk menghadapi pedang lawan, dia harus menggunakan senjata pula dan dia anggap bahwa senjata terbaik adalah melawan dengan pedang pula. Lupa bahwa pedangnya hanya sebatang pedang kayu saja, dia segera membuka jubah mengeluarkan pedang kayunya yang panjangnya hanya tiga puluh sentimeter, terbuat daripada kayu cendana yang harum itu.

Meledak suara ketawa dari anak buah Hoa-san-pai dan anak buah pengemis, akan tetapi tokoh-tokohnya sama sekali tidak tertawa, bahkan memandang dengan tercengang. Gilakah anak ini? Ataukah memang dia begitu sakti sehingga cukup menghadapi lawan dengan pedang kayu saja?

“Itukah senjatamu?” bentak Souw Kiu dengan suara kecewa. “Apakah kau hendak main-main?”

Dia seorang tokoh ilmu silat, mana enak hatinya kalau dihadapi seorang lawan begini muda yang mempergunakan pedang kayu?

“Memang inilah senjataku dan aku tidak main-main, pengemis tua.”

“Jangan menyesal nanti dan bilang aku berlaku sewenang-wenang!” kata pula Souw Kiu, masih meragu.

Pertandingan ini disaksikan banyak tokoh Hoa-san-pai, dia harus memperlihatkan kegagahannya.

“Aku tidak akan menyesal. Kalian memang sudah bertekad untuk membunuhku, tentu saja akupun bertekad untuk mempertahankan nyawaku sedapat mungkin. Aku tidak biasa memegang pedang tulen, biasa main-main dengan pedangku ini. Kalau kau memang berkukuh hendak membunuhku, silakan.”

“Awas pedang!”

Dengan cepat setelah mengeluarkan bentakan ini, Souw Kiu menerjang dengan pedangnya. Gerakan pedangnya amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun bagi Yo Wan, gerakan pengemis itu tidaklah terlalu hebat, apalagi cepat. Kalau dibandingkan dengan jurus-jurus yang dikeluarkan Sin-eng-cu dan Bhewakala, gerakan itu seperti anak kecil main-main belaka!





Dengan tenang, dia lalu mainkan jurus-jurus yang sesuai dengan pedang yang dipegangnya, yaitu Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang diturunkan oleh Sin-eng-cu kepadanya. Memang pedang kayu itu adalah senjata buatan Sin-eng-cu yang dahulu dia pakai untuk menghadapi cambuk dari Bhewakala, maka ketika dia bersilat pedang dengan jurus-jurus dari Sin-eng-cu, seketika pedang kayu di tangannya itu berubah menjadi puluhan batang banyaknya dalam pandang mata lawannya! Angin yang diterbitkan pedang kayu ini berbunyi “whir-whir-whirrr…..” dibarengi kilatan sinar pedang kayu yang membingungkan hati Souw Kiu.

Karena maklum bahwa bocah ini benar-benar pandai, Souw Kiu mengerahkan seluruh tenaga dalam dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk mencapai kemenangan. la sengaja hendak mengadu senjata, karena dia merasa yakin bahwa sekali pedang kayu itu bertemu dengan pedangnya, tentu akan patah dan dia akan mudah merobohkan lawan.

Hui Kauw memandang kagum sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Yo Wan itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang selain indah, juga amat luar biasa. Dia sendiri belum tentu dapat mainkan pedang kayu seperti itu!”

Ketika dia melirik kearah suaminya, wajah Kun Hong tegang sekali dan bibir Pendekar Buta ini menggumam lirih,

” Ah….. mana mungkin…..?”

Memang, dapat dibayangkan keheranan hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan ilmu silat Yo Wan yang kali ini cara bersilatnya sama sekali berlawanan dengan dua gerakan ketika merobohkan lawan pertama tadi, tidak demikian saja, malah ilmu pedang yang dimainkan ini mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, yaitu ilmu silatnya sendiri! Padahal dia sama sekali belum pernah mengajarkan ilmu itu meskipun hanya sejurus kepada muridnya.

Para tokoh Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Apalagi ketuanya, Kui-san-jin terkenal sebagai seorang ahli pedang Hoa-san-kiam-sut, di samping isterinya yang juga hadir disitu.

Mereka semua kini berdiri bengong, kagum bukan main. Siapa orangnya yang tidak kagum kalau melihat betapa kacung kuda itu dengan hanya sebatang pedang kayu dapat menghadapi seorang ahli pedang seperti Souw Kiu? Dan kadang-kadang pedang di tangan pengemis itu dengan hebatnya menggempur pedang kayu, akan tetapi jangan kata pedang kayu menjadi patah karenanya, malah tampak jelas betapa lengan dan tangan Souw Kiu yang memegang pedang tergetar hebat.

Ini hanya menjadi bukti bahwa bocah itu memiliki tenaga sinkang yang ampuh sekali, tenaga yang bukan sewajarnya dimiliki seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun. Diam-diam mereka menduga-duga murid siapakah gerangan pemuda ini dan apa maksud orang muda yang memiliki kesaktian itu naik ke Hoa-san-pai? dengan berpura-pura menjadi tukang kuda, mengandung maksud tersembunyi yang bagaimanakah? Mereka juga merasa gelisah, menduga bahwa tentu pemuda itu mengandung suatu maksud tertentu.

Yang paling bingung dan kaget setengah mati adalah Souw Kiu sendiri. Pedang kayu di tangan bocah itu bukan main hebatnya, gerakannya aneh, daya tahannya amat kokoh kuat dan setiap kali beradu dengan pedangnya sendiri, tangannya tergetar hebat. la menjadi penasaran sekali. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang kacung kuda? Kalau dia dikalahkan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai, masih tidak apa, akan tetapi oleh seorang kacung kuda masih bocah lagi?

Dua puluh jurus telah lewat dan dalam penasarannya, Souw Kiu tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan pedangnya melakukan terjangan kilat. Hui Kauw menutup mulutnya dan seluruh urat tubuhnya menegang. Sebagai seorang ahli pedang, ia maklum bahwa pengemis itu melakukan serangan nekat, mengajak adu nyawa. la sudah siap untuk menyambar dan menolong muridnya, akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa karena kalau keadaan Yo Wan tidak berbahaya lalu ia menolongnya, hal itu akan merendahkan diri sendiri.

Yo Wan sudah mempelajari banyak sekali jurus-jurus ampuh dan ada kalanya Sin-eng-cu maupun Bhewakala dalam keadaan terdesakpun mengeluarkan jurus-jurus yang nekat. Karena itu, menghadapi serangan ini, dia tidak menjadi gugup. Dari pada dia terluka atau terpaksa membunuh orang, lebih baik mengorbankan pedang kayunya, pikirnya cepat. Melihat pedang lawan menyambar dengan babatan kilat, dia cepat menangkis dengan pedang kayunya, tapi dia sengaja tidak mengalirkan tenaga kepada pedahg kayu ini.

“Krakkk!” pedang kayu patah menjadi dua, tubuh Souw Kiu terdorong ke depan dan dilain saat dia sudah roboh terguling oleh pukulan tangan kiri Yo Wan yang tepat mengenai pundak kanannya sedangkan pedangnya entah bagaimana sudah berpindah ke tangan pemuda itu!

Souw Kiu bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntahkan darah merah. Ternyata satu kali pukulan Yo Wan itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini tidak mengherankan karena Yo Wan menggunakan pukulan Iweekang dari Sin-eng-cu sebagai timpalan permainan pedangnya tadi.

Tak dapat ditahan lagi, para tosu Hoa-san-pai bertepuk tangan memuji. Setelah ketua mereka berpaling dan memandang tajam, baru mereka berhenti. Biarpun tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang terang-terangan memuji dan berfihak, namun wajah mereka yang berseri menjadi tanda bahwa mereka merasa puas melihat rombongan Sin-tung-kai-pang yang sombong itu diberi hajaran oleh seorang luar yang mengaku sebagai kacung kuda Hoa-san-pai!

Baru seorang pelamar kacung kuda saja sudah begini hebat, apalagi orang-orang Hoa-san-pai-nya sendiri! Biarpun tidak secara langsung, pemuda yang luar biasa itu telah mengangkat tinggi derajat dan nama Hoa-san-pai dengan sepak terjangnya menghadapi Sin-tung-kai-pang ini.

Yo Wan sendiri sarna sekali tidak mempunyai pikiran untuk memusuhi Sin-tung-kai-pang. la tahu telah membuat onar kemarin dan hanya untuk menjaga agar nama suhu dan subonya jangan terbawa-bawa, maka dia mempertanggung-jawabkannya sendiri.

Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh tanpa melawan. Giranglah hatinya ketika dia berhasil mengalahkan dua orang lawan. Semangatnya timbul dan dia mulai mengerti, mulai terbuka mata hatinya bahwa kalau dia mau melawan, belum tentu orang-orang kasar ini mampu membunuhnya!

Sementara itu, Sin-tung Lo-kai sampai menjadi pucat mukanya saking marah. la merasa terhina sekali. Dua orang pembantunya yang paling dia andalkan, roboh berturut-turut secara mudah oleh seorang kacung kuda’

“Orang-orang Hoa-san-pai!” bentaknya sambil mengangkat tongkatnya ke depan dada. “Apakah kalian diamkan saja bocah setan ini menghina kami?”

“Urusanmu dengan anak ini tiada sangkut-pautnya dengan kami, Pangcu,” kata Kui-san-jin dengan suara tenang.

Kakek ketua Hoa-san-pai ini sekarang timbul kepercayaannya terhadap Yo Wan. Pantas saja bocah ini hendak membereskan sendiri, kiranya memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat. la tidak mengerti mengapa bocah ini suka menutupi dan melindungi Hoa-san-pai, akan tetapi jalan satu-satunya bagi ketua Hoa-san-pai ini untuk membalas budi hanya membiarkan bocah itu melanjutkan maksud hatinya. Inilah sebabnya maka dia sengaja menjawab seperti itu.

“Hemmm, biarlah kubikin mampus dulu bocah ini, baru kami akan bicara lagi dengan Hoa-san-pal!” Sin-tung Lo-kai berseru marah. “Bocah setan, lekas kau memilih senjata. Aku tidak sudi menyerang lawan tanpa senjata. Kalau kau butuh pedang, orang-orangku bisa memberi pinjam untukmu.”

Yo Wan maklum bahwa lawannya ini tentulah seorang yang pandai. Kemantapan gerakan tongkat itu saja sudah membayangkan tenaga Iweekang yang hebat. la tidak berani memandang ringan, maka dilolosnya cambuk peninggalan pertapa Bhewakala. Cambuk ini hitam warnanya, panjang dan berat, tapi di tangan Yo Wan terasa ringan dan enak. Maklum, selama tiga tahun dia main-main dengan cambuk ini.

“Ketua Sin-tung-kai-pang, sesungguhnya aku tidak suka berkelahi dengan siapapun juga aku tidak ingin mencari perkara dengan siapapun juga. Akan tetapi kalau kau nekat hendak membunuhku, tentu saja aku akan berusaha menyelamatkan diri,” jawabnya sambil memegang gagang cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya membelai-belai ujung cambuk.

“Tak usah cerewet, lihat tongkatku!”






No comments:

Post a Comment