Ads

Saturday, February 16, 2019

Jaka Lola Jilid 017

Ketua pengemis itu menggerakkan tongkatnya dan berkelebatlah sinar beraneka warna seperti pelangi menyilaukan mata. Yo Wan kaget dan bingung seketika karena gerakan tongkat itu hebat serta menyilaukan warnanya. Juga para tokoh Hoa-san-pai menahan napas. Kali ini mereka benar-benar khawatir karena tingkat kepandaian Sin-tung Lo-kai benar-benar tak boleh dipandang ringan. Anak muda remaja ini mana mampu mempertahankan diri?

“Tar-tar-tarrr…..!”

Lecutan cambuk bertubi-tubi terdengar nyaring disusul berkelebatnya sinar cambuk yang hitam, bergerak-gerak macam ular naga hitam bermain di angkasa. Yo Wan telah mainkan ilmu cambuknya Ngo-sin-hoan-kun dan ujung cambuk itu melecut-lecut, menyambar-nyambar setelah membentuk lingkaran-lingkaran aneh di udara.

Kagetlah semua orang dan Hui Kauw melihat betapa suaranya sambil mengerutkan kening mengepal tinjunya,

“Bhewakala….. siapa lagi….. tentu Bhewakala…..” terdengar suaminya bersungut-sungut.

Yang paling kaget adalah Sin-tung Lo-kai sendiri. Permainan cambuk lawannya amat hebat, bagaikan gelombang samudera sedang mengamuk. Lingkaran-lingkaran yang bergelombang lima kali itu benar-benar amat dahsyat, menyembunyikan ujung cambuk yang kadang-kadang mematuk dan melecut bagaikan petir menyambar.

Inilah ilmu cambuk yang amat aneh, yang belum pernah disaksikan Sin-tung Lo-kai selama hidupnya. la menggertak gigi, mengerahkan seluruh kepandaian dan mainkan ilmu tongkatnya untuk menahan gelombang dan petir itu.

Namun Yo Wan tidak mau memberi hati kepadanya. Pemuda ini memilih jurus-jurus serangan dari Ngo-sin-hoan-kun sehingga belum tiga puluh jurus, ketua pengemis itu sudah mundur-mundur dan hanya dapat menangkis dan mengelak kesana kemari, tak mampu membalas dan keadaannya repot sekali.



Tiba-tiba pengemis tua itu mengeluarkan bentakan keras dan sinar-sinar hijau menyambar kearah Yo Wan. Inilah sinar senjata rahasia berupa paku-paku hijau beracun yang disambitkan secara diam-diam, merupakan senjata gelap yang amat berbahaya.

“Curang…..!” seru Hui Kauw, namun dia tahu bahwa dia sendiri tidak mampu menolong karena senjata-senjata gelap itu dilempar dari jarak yang amat dekat, yaitu selagi kedua orang itu bertanding berhadapan.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang belum berpengalaman dalam hal bertempur, sungguhpun dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, namun dia tidak tahu akan adanya akal-akal busuk dari lawan macam Sin-tung Lo-kai. Namun dia seorang yang amat cerdik. Melihat berkelebatnya sinar-sinar hijau dan mendengar seruan subonya, dia cepat menggunakan langkah ajaib.

Terpaksa dia membuka rahasia dirinya dan mainkan langkah-langkah yang dia pelajari dari suhunya karena maklum bahwa benda-benda yang menyambarnya itu amat herbahaya.

Benar saja, dengan langkah-langkah ajaib yang dia mainkan, tujuh buah benda kecil kehijauan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, tak sebuahpun mengenai dirinya. Teringat akan bahaya ini, timbul kemarahan Yo Wan. la mencabut anak panah dengan tangah kiri, pecutnya kembali menerjang maju dan dia barengi dengan sambitan anak panah.

Sin-tung Lo-kai tadi terkejut bukan main melihat pemuda aneh itu dapat menghindarkan diri dengan gerakan kaki seperti orang mabuk. Selagi dia kecewa dan kaget, lawannya menerjang bagaikan hujan badai. Cepat dia mengangkat tongkat menangkis dan melompat mundur.

Tapi tiba-tiba dia berteriak keras dan roboh, anak panah itu menancap pada dadanya sebelah kanan! Baiknya anak panah itu tidak terlalu dalam menembus kulit dada, namun cukup membuat ketua Sin-tung-kai-pang itu mengerang kesakitan dan tidak mampu bangun kembali.





Anak buahnya cepat memberi pertolongan dan tanpa pamit lagi Sin-tung Lo-kai menyuruh anak buahnya memanggulnya turun gunung! Mereka itu bagaikan serombongan anjing yang disiram air panas, lari tersaruk-saruk sambil tunduk, tidak berani mengeluarkan sepatah katapun lagi.

Andaikata mereka memiliki buntut, tentu buntut itu mereka kempit diantara kaki. Kekalahan yang diderita kali ini benar-benar membuat mereka kuncup dan selamanya mereka takkan berani memusuhi Hoa-san-pai. Baru melawan seorang kacung kuda saja, ketua mereka dirobohkan dengan mudah!

Setelah musuh pergi, Yo Wan tak dapat menyembunyikan diri lagi. la menghampiri Kwa Kun Hong dan Kwee Hui Kauw, serta merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara gemetar penuh keharuan.

“Suhu…..! Subo…..!” la tinggal berlutut, meletakkan mukanya diatas tanah dan meramkan kedua matanya, mulutnya berkata lirih, ” …. teecu datang menyusul…..”

“Wan-ji (anak Wan)! Kenapa baru sekarang kau datang…..?”

Hui Kauw berkata, siap merangkul murid itu. Akan tetapi nyonya muda ini menahan kedua tangannya ketika melihat wajah suaminya. Jelas bahwa suaminya kelihatan marah.

“A Wan, apa maksudmu datang seperti ini?”

Yo Wan tak dapat menjawab dan pada saat itu para tokoh Hoa-san-pai sudah datang menghampiri. Dengan senyum lebar Kui-san-jin berkata,

“Ah, kiranya murid Kun Hong anak ini? Pantas begini lihai! Ha-ha-ha, benar-benar Sin-tung-kai-pang tidak tahu diri, dan senang sekali hati pinto mengetahui bahwa anak yang memberi hajaran kepada mereka kiranya adalah orang sendiri! Ha-ha-ha!”

Para tokoh Hoa-san-pai benar-benar merasa gembira dan bangga. Kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta tentu saja sudah mereka ketahui dengan baik, dan biarpun Pendekar Buta terhitung golongan muda di Hoa-san, namun dialah sebetulnya yang merupakan andalan untuk membikin besar nama Hoa-san-pai.

Kelihaian anak muda yang mengusir para tokoh Sin-tung-kai-pang ini merupakan bukti akan kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta. Tentu saja mereka tidak mengerti bahwa Pendekar Buta sendiri berpikir lain pada saat itu. Tidak tahu bahwa Kun Hong amat marah kepada Yo Wan, hanya menahan hatinya karena dia tidak ingin memarahi muridnya di depan banyak orang.

“A Wan kau ikut aku…..!” kata Kun Hong kepada anak muda itu.

Yo Wan mengerti bahwa suhunya marah, maka dengan kepala tunduk dia mengikuti gurunya masuk ke dalam, diikuti pula oleh Kwee Hui Kauw yang menggandeng tangan Swan Bu. Para tokoh Hoa-san-pai yang masih bergembira itu juga mengundurkan diri, membiarkan guru dan murid itu menikmati pertemuan tanpa diganggu.

“Nah, sekarang ceritakan tentang sikapmu yang aneh itu, A Wan. Aku ingin mendengar selengkapnya dan sejujurnya. Apa sebabnya kau datang menyusul kami secara sembunyi dan pura-pura menjadi kacung kuda?” tanya Kun Hong suaranya perlahan, akan tetapi Yo Wan maklum bahwa suhunya tak senang hati.

Menggigil dia dan cepat-cepat dia berlutut di depan suhunya yang duduk diatas sebuah kursi lain, sedangkan Swan Bu berdiri memandang dengan matanya yang lebar tajam.

Dengan suara lirih Yo Wan lalu menceritakan pengalamannya semenjak suhu dan subonya turun gunung meninggalkannya seorang diri. Tentang niatnya menyusul ke Hoa-san-pai tiga tahun yang lalu dan betapa dia bertemu dengan Sin-eng-cu dan Bhewakala yang sedang bertanding dan keduanya terluka, betapa kemudian dia menolong mereka dan selama tiga tahun menjadi perantara dalam adu ilmu sampai Sin-eng-cu meninggal dunia karena tua dan Bhewakala kembali ke dunia barat.

“Kemudian teecu menyusul ke Hoa-san, Suhu, dan sungguh tidak teecu kehendaki telah terjadi keributan disini, dan teecu yang menjadi biang keladinya. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman apapun juga dari Suhu dan Subo.”

“Mengapa kemarin kau tidak langsung naik menemui kami, tapi bersembunyi dan menyamar sebagai tukang kuda?” suara Kun Hong masih bengis karena hatinya belum puas.

“Teecu merasa ragu-ragu….. dan takut kalau-kalau Suhu tidak menghendaki kedatangan teecu….. kebetulan teecu bertemu dengan dua orang tosu dan putera Suhu ini….. teecu ditawari pekerjaan tukang kuda, teecu lalu menerimanya, ingin melihat gelagat dulu sebelum teecu berani menghadap Suhu. Celakanya, di tengah jalan seekor diantara tiga kuda yang harus teecu bawa ke puncak, dibunuh pengemis itu. Teecu tidak ingin berkelahi, hanya minta ganti seekor kuda yang hidup, kiranya mereka marah dan menyerang teecu. Akhirnya mereka lari dan meninggalkan dua ekor kuda mereka, terpaksa teecu bawa sekalian ke puncak, dan kuda yang mati teecu kubur di pinggir jalan.”

“Yang mati itu kudaku! Ayah, suruh murid Ayah ini mencarikan pengganti kudaku, dia yang bertanggung jawab karena dia yang membawanya.” Swan Bu berseru nyaring.

“Hushhh, diam kau'” Kun Hong membentak puteranya lalu bertanya, “A Wan. setelah kau tahu rombongan Sin-tung-kai-pang datang kenapa kau pura-pura tidak mengenal kami dan melayani mereka seorang diri mengandalkan ilmu silatmu? Apakah kau hendak pamerkan kepandaian di Hoa-san-pai?”

Yo Wan mengangguk-angguk mencium lantai.
“Ah tidak … suhu sama sekali tidak…..” katanya gagap dan takut. “Mana teecu berani begitu kurang ajar pamerkan kepandaian sedangkan teecu tidak bisa apa-apa? Hanya kebetulan saja teecu dapat menang, padahal teecu tidak bermaksud demikian. Setelah melihat bahwa peristiwa kemarin itu menimbulkan keributan hebat, teecu menjadi takut kalau-kalau Hoa-san-pai terbawa-bawa. Terutama sekali kalau Suhu dan Sute terbawa-bawa oleh gara-gara yang teecu lakukan kemarin. Maka dari itu, teecu sengaja pura-pura tidak ada hubungan dengan Suhu dan Subo, juga dengan Hoa-san-pai. Teecu ingin mempertanggung-jawabkan sendiri, kalau perlu teecu rela mati untuk menebus kesalahan, asal jangan sampai menyeret Hoa-san-pai dan terutama Suhu berdua. Akan tetapi, tentu saja teecu seberapa dapat hendak mempertahankan diri terhadap pengemis-pengemis yang jahat itu.”

Kun Hong mengangguk-angguk dan pada sepasang mata Hui Kauw tampak dua butir air mata. Nyonya muda itu menjadi terharu sekali melihat murid yang amat setia itu. Diam-diam dia memperhatikan dan menjadi kagum. Muridnya ini sekarang bukanlah seorang anak kecil lagi, melainkan seorang jejaka tanggung yang tampan dan sederhana, pandai merendahkan diri walaupun memiliki kepandaian yang amat tinggi.

“Yo Wan, apakah kehendakmu sekarang?” Kun Hong bertanya, suaranya halus kini.

“Suhu, tidak ada keinginan lain dalam hati teecu semenjak dahulu selain ikut Suhu dan Subo, bekerja untuk Suhu dan mengharapkan belas kasihan berupa pelajaran ilmu silat agar dapat teecu pakai kelak untuk membalas dendam terhadap The Sun.”

Kun Hong menggeleng kepala.
“Tidak mungkin, Yo Wan, tidak bisa kau ikut dengan kami disini…..”

“Suhu, biarlah teecu menjadi tukang kuda, menjadi kacung pelayan, teecu akan bekerja apa saja, biarkan teecu melayani Suhu berdua, dan adik….. adik Swan Bu, asal teecu boleh berdekatan dengan Suhu berdua…..” suara Yo Wan menggetar karena terharu dan khawatir kalau-kalau dia tidak akan diterima oleh suhunya.

“Yo Wan, kau bukan kanak-kanak lagi! Kau sudah dewasa, masa selama hidupmu hanya ingin menjadi kacung saja? Tidak, aku tidak mau menerimamu disini, sudah tiba waktunya kau hidup sendiri, mengejar ilmu dan pengalaman, mengisi hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang berguna bagi orang lain dan bagi dirimu sendiri, Kau tidak boleh tinggal disini.”

“Suhu, teecu ingin menerima pelajaran ilmu silat dari Suhu…..”






No comments:

Post a Comment