Ads

Friday, February 15, 2019

Jaka Lola Jilid 014

Yo Wan kaget bukan main. Cepat dia menggunakan rumput basah untuk memadamkan api. Dengan marah dia menggerakkan tubuh melompat keatas kandang. Akan tetapi sunyi disitu, tidak ada bayangan orang. la menduga bahwa orang yang menyambitnya tadi tentu sudah melarikan diri. Kembali dia memasuki kandang kosong, akan tetapi kali ini dia tidak dapat tidur pulas.

Agaknya yang datang itu adalah dua orang Sin-tung-kai-pang tadi, atau boleh jadi teman temannya. Mereka itu datang menyerangnya dengan benda yang dapat membakar tiang dan rumput, ataukah memang sengaja hendak membakar kandang? Tapi mendengar ucapan lirih tadi, agaknya mereka ingin pula melihat apakah benar-benar seorang tukang kuda. Benar-benar aneh. Apa artinya ini semua?

Pada keesokannya, pagi-pagi sekali serombongan orang yang semua berpakaian tambalan mendaki puncak Hoa-san. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja tanpa daging sedikitpun, namun tubuh itu masih tegak berdiri kaku seperti perajurit bersikap di depan komandannya. la memegang sebatang tongkat yang aneh.

Tongkat ini entah terbuat daripada bahan apa, tidak dapat dikenal begitu saja, tapi warnanya aneka macam, belang-bonteng ada warna hijau, merah, kuning, hitam dan putih. Lebih hebat lagi sepatunya, karena sepatu inipun terbuat daripada kulit mengkilap yang warnanya juga ma-cam-macam.

Dilihat begitu saja dia lebih pantas menjadi seorang pemain lawak diatas panggung wayang. Akan tetapl, jangan dikira bahwa dia itu orang gila atau seorang biasa saja, karena kakek ini adalah Sin-tung-kai-pangcu (Ketua Per-kumpulan Pengemis Tongkat Sakti) yang amat terkenal sebagai raja pengemis. Permainan tongkatnya hebat dan ditakuti orang.

Memang ketua pengemis ini pandai sekali main tongkat dan dia menerima kepandaian ini dari dua orang hwesio pelarian dari Siauw-lim-si yang terkenal dengan nama julukan Hek-tung Hwesio dan Pek-tung Hwesio, Si Hwesio Tongkat Hitam dan Hwesio Tongkat Putih.

Dikanan kirinya berjalan dua orang pengemis tua, lima puluh lebih usianya, yang seorang membawa sebatang pedang tergantung di pinggang, yang kedua memegang sebatang toya panjang. Kedua orang pengemis ini memakai sepatu yang berwarna, akan tetapi warnanya tidak sebanyak pada sepatu pangcu itu. Ini menjadi tanda bahwa mereka itu setingkat lebih rendah daripada pangcu mereka. Mereka adalah kedua orang pembantu ketua itu, dan merupakan orang kedua dan ketiga dalam Sin-tung-kai-pang.

Di belakang tiga orang tokoh Sin-tung-kai-pang ini, berbarislah murid-murid mereka bertiga yang jumlahnya lima belas orang, diantara mereka ini tampak dua orang yang kemarin ribut-ribut dengan Yo Wan.

Melihat cara mereka mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi! Memang sesungguhnya, delapan belas orang pengemis yang dengan muka marah mendaki puncak Hoa-san ini merupakan orang-orang terpenting dalam Sin-tung-kai-pang!

Para tosu yang bekerja diluar dan menjaga pintu, segera mengenal mereka dan tergesa-gesa para tosu yang melihat datangnya rombongan ini menyampaikan laporan kedalam. Kaget dan heran juga Kui-san-jin, ketua Hoa-san-pai ketika mendengar laporan ini. Cepat dia keluar menyambut dan berturut-turut keluar pula isterinya, suhengnya yaitu Thian Beng Tosu, malah Kwa Kun Hong bersama isterinya, Kwi Hui Kauw dan puteranya, Kwa Swan Bu, juga keluar untuk melihat apa kehendak rombongan pengemis itu.

Ketua Hoa-san-pai, Kui-san-jin, diam-diam merasa tidak enak hatinya. Memang ada sesuatu antara Hoa-san-pai dan Sin-tung-kai-pang yang menjadi ganjalan hati. Dimulai dengan bentrokan kecil antara seorang anak murid Hoa-san-pai yang pergi ke kota dengan seorang anggauta Sin-tung-kai-pang.

Seorang pengemis yang sombong dan memandang rendah Hoa-san-pai telah bentrok dengan seorang angauta Hoa-san-pai yang berwatak keras. Si pengemis dipukul roboh, datang banyak pengemis yang mengeroyok sehingga anak murid Hoa-san-pai itu terluka dan lari.

Akan tetapi urusan ini sudah diselesaikan oleh suhengnya, Thian Beng Tosu sehingga tidak menjalar lagi menjadi permusuhan antara kedua fihak. Betapapun juga, diam-diam kedua fihak menaruh ganjalan hati. Kini ketua Sin-tung-kai-pang beserta rombongan, pagi-pagi mendaki puncak Hoa-san, ada keperluan apakah?

Karena mendengar bahwa yang memimpin rombongan adaian ketuanya sendiri, maka Kui-san-jin sendiri menyambut keluar, khawatir kalau anak murid yang menyambut, akan terjadi bentrokan yang lebih besar. Sengaja dia menyambut diluar tembok, sesuai dengan keadaan tamu yang bukan merupakan sahabat.





Ketika melihat rombongan tuan rumah keluar dari pintu gerbang. Sin-tung-kai-pangcu memberi tanda kepada rombongannya untuk berhenti. la melihat dua orang kakek yang berpakaian pendeta, seorang wanita tua yang masih cantik, seorang laki-laki muda yang buta di samping seorang wanita jelita, dan seorang anak laki-laki yang tampan dan membawa gendewa. Di belakang rombongan ini tampak beberapa orang tosu yang mengikuti dari jauh, agaknya bukan anggauta-anggauta rombongan penyambut.

Ketua pengemis yang sebutannya Sin-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Sakti) berdiri memandang dengan sikap galak dan angkuh. la sama sekali tidak gentar biarpun dengan sudut matanya dia lihat betapa puluhan orang tosu kelihatan keluar pula seperti rayap. Malah dia berdiri tegak saja, sama sekali tidak menghormat tuan rumah sebagai layaknya tamu.

Melihat sikap seperti ini, Kui-san-jin hanya tersenyum-senyum sabar dan begitu sampai di depan rombongan tamu, dia mengangkat tangan ke depan dada sebagai penghormatan juga suhengnya, Thian Beng Tosu, mengangkat kedua tangan memberi hormat. Namun Sin-tung Lo-kai sama sekali tidak membalas penghormatan ini, malah langsung bertanya, suaranya kaku,

“Yang manakah ketua Hoa-san-pai?”

Para tosu anak buah Hoa-san-pai marah sekali mendengar pertanyaan yang memandang rendah ini, namun rombongan pemimpin Hoa-san-pai itu tersenyum sabar. Hoa-san-pai adalah sebuah partai besar, patut mempunyai pimpinan yang bijaksana dan memiliki kesabaran tinggi, sikap orang-orang besar. Kui-san-jin melangkah maju dan menjawab,

“Sayalah yang mendapat kehormatan menjadi ketua Hoa-san-pai. Kalau saya tidak keliru sangka, sahabat ini tentu ketua dari Sin-tung-kai-pang, bukan?”

Sin-tung Lo-kai tidak segera menjawab, melainkan menatap tuan rumah penuh selidik. Seorang kakek kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya sederhana seperti pertapa, sikapnya lemah-lembut dan tidak kelihatan sesuatu yang aneh pada dirinya. Biarpun demikian Sin-tung Lo-kai tidak berani memandang rendah karena dia sudah mendengar akan kebesaran Hoa-san-pai.

“Bagus! Ketua Hoa-san-pai, kami sengaja datang mengunjungimu dengan maksud hendak minta penjelasan mengapa Hoa-san-pai amat menghina Sin-tung-kai-pang? Apakah Hoa-san-pai merasa sebagai perkumpulan yang paling besar sehingga boleh malang-melintang dan melakukan penghinaan sesuka hatinya kepada perkumpulan lain?”

Kui-san-jin mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan Thian Beng Tosu, lalu menjawab,

“Sin-tung-kai-pangcu, saya harap kau suka bicara yang jelas, karena sesungguhnya kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu. Memang harus kami akui bahwa telah terjadi bentrokan karena salah faham antara beberapa anak muridmu dengan anak murid kami, akan tetapi hal itu sudah diselesaikan dan didamaikan, malah oleh Suhengku ini, Thian Beng Tosu sendiri. Kami anggap urusan kecil antara anak murid yang masih berdarah panas itu sudah selesai. Mengapa kau sekarang datang menyatakan bahwa kami melakukan penghinaan? Penghinaan yang mana harap kau jelaskan.”

“Hemmm, bagus sekali! Hoa-san-pai kabarnya adalah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, kiranya ketuanya tidak tahu apa yang terjadi di depan matanya sendiri! Paicu (Ketua) karena ingin memperbaiki hubungan antara perkumpulan kita yang pernah retak oleh perbuatan anak-anak murid kita, aku sengaja mengutus dua orang anak muridku kemarin pagi untuk naik ke Hoa-san-pai dan menyampaikan undangan penghormatan dari Sin-tung-kai-pang kepadamu.”

“Akan tetapi, kami tidak pernah menerimanya, Pangcu,” jawab Kui-san-jin.

“Hemmm, tentu saja tidak pernah menerimanya!”.

Sin-tung-kai-pangcu berkata sambil membanting ujung tongkatnya sampai menancap keatas tanah berbatu di depan kakinya.

“Di tengah jalan, dua orang utusanku itu diserang oieh tukang kuda Hoa-san-pai, malah dua ekor kuda tunggangan merekapun dirampas!”

Semua orang menjadi kaget sekali mendengar ini.
“Ah, mana bisa terjadi hal itu?”

Kui-san-jin berseru, tidak percaya. Tak mungkin anak muridnya ada yang berani melakukan perbuatan seperti itu. Merampas kuda? Tidak bisa jadi!

“Hemrnm, tentu saja tidak percaya!” Sin-tung Lo-kai mendengus, lalu melambaikan tangan kepada dua orang anak buahnya. “Ceritakan kepada mereka!”, perintahnya.

Dua orang pengemis melangkah maju dan berdiri membungkuk. Seorang diantara mereka yang berkumis panjang lalu bercerita, sedangkan temannya yang berambut putih hanya menundukkan muka.

“Kami berdua sedang menunggang kuda mendaki kaki gunung ketika tiba-tiba seorang pemuda melepaskan kuda yang hampir menubruk kami. Karena kaget dan untuk menyelamatkan diri daripada tubrukan, terpaksa saya menggerakkan kaki menendang kuda yang menubruk kami itu. Kuda itu mati. Tukang kuda Hoa-san-pai itu marah-marah, biarpun kami sudah berjanji hendak membicarakan hal itu dengan ketua Hoa-san-pai, karena kami adalah utusan dari Sin-tung-kai-pang untuk menyampaikan undangan. Akan tetapi orang muda itu tetap tidak mau melepaskan kami, malah segera menyerang kami dan merampas dua ekor kuda tunggangan kami. Terpaksa kami kembali turun gunung dan melapor kepada ketua kami.”

Setelah berkata demikian, dua orang pengemis ini cepat-cepat mengundurkan diri lagi ke belakang ketua mereka, karena mereka merasa malu sekali harus bercerita bahwa mereka kalah oleh seorang kacung kuda Hoa-san-pai.

Kui-san-jin tertegun. Cerita ini benar-benar tidak masuk akal. Dua orang pengemis tadi dia lihat memiliki gerakan? gerakan yang tangkas dan kuat, dan sudah dapat menendang seekor kuda sekali saja mati cukup membuktikan kepandaiannya. Masa mereka berdua kalah oleh tukang kuda Hoa-san-pai? Padahal tukang kuda Hoa-san-pai yang sudah tua telah meninggal dunia dan selama ini belum mendapatkan tukang kuda baru, pekerjaan merawat kuda dilakukan oleh seorang tosu, kalau tidak salah Can Tosu yang gendut dan yang dia tahu kepandaiannya rendah sekali.

Kui-san-jin menoleh ke belakang, mencari-cari dengan pandang matanya, mencari Can-tojin, sedangkan mulutnya berkata,

“Kami tidak mempunyai kacung kuda yang masih muda…..”

Ketua Sin-tung-kai-pang mengeluarkan suara ketawa mengejek. Pada saat Itu dua orang tosu maju dan berlutut di depan Kui-san-jin. Itulah dua orang tosu yang kemarin bersama Kwa Swan Bu menyerahkan kuda mereka kepada Yo Wan.

“Mohon ampun sebesarnya kepada Suhu,” kata seorang diantara mereka, “sesungguhnya teecu berdua yang telah menerima kacung itu. Kemarin pagi ketika teecu berdua mengantar Swan Bu berlatih panah dan sampai di kaki gunung, teecu melihat seorang pemuda yang keadaannya miskin dan seperti kelaparan. Tadinya teecu kira dia itu tukang kuda baru yang dijanjikan oleh lurah dusun, akan tetapi ternyata bukan dan dia menyatakan suka bekerja membantu kita. Karena teecu kasihan kepadanya, maka teecu lalu menerimanya sebagai tukang kuda, dan teecu baru akan melaporkan hari ini kepada Suhu. Siapa duga bocah itu menimbulkan onar. Mohon ampun sebesarnya, Suhu.”

Kui-san-jin kaget mendengar ini. Akan tetapi sebelum dia bicara, Swan Bu sudah melangkah maju dan dengan suara lantang berkata kepadanya,

“Supek, benar kata kedua muridmu ini. Memang tadinya sudah kucurigai dia.” la lalu menoleh kearah kakek pengemis dan berkata, suaranya tetap lantang, “Hai, Pangcu dari Sin-tung-kai-pang! Kau dengar sendiri, tukang kuda itu bukanlah anak murid Hoa-san-pai dan ketua kami tidak tahu-menahu tentang keributan itu. Namun, kami dapat memberi hajaran kepada pengacau itu, jangan kau merembet-rembet nama Hoa-san-pai’.”

“Swan Bu, diam kau…...”

Kwa Kun Hong membentak dan seketika Swan Bu diam. Akan tetapi tiba-tiba bocah ini meloncat ke depan, tangan kiri meraih anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan menjepretlah tali gendewa dan anak panahnya meluncur ke kiri.

Yo Wan sejak tadi sudah mendengarkan semua pembicaraan itu. Pagi-pagi tadi dia sudah pergi mencari rumput dan ketika dia melihat rombongan pengemis yang tampak marah mendaki naik puncak, hatinya berdebar tidak enak. Tentu ada hubungannya dengan urusan kemarin, pikirnya.






No comments:

Post a Comment