Ads

Friday, February 15, 2019

Jaka Lola Jilid 013

“Keparat, lihat golok kami merenggut nyawamu!” bentak si kumis.

Sinar golok berkelebat kearah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih kearah pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-tung-kai-pang adalah permainan golok. Ketuanya terkenal dengan tongkatnya, maka perkumpulan pengemis itu dinamakan Sin-tung (Tongkat Sakti), namun agaknya si ketua ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggautanya. Sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggauta Sin-tung-kai-pang.

Yo Wan menggerakkan kedua kakinya, mainkan langkah ajaib dan….. dua orang pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang. Kalau mereka membalik dan menerjang lagi, pemuda itu menggerakkan kedua kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka terkena sentilan jari tangan Yo Wan. Seketika kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahankan lagi. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, untuk kedua kalinya tubuh mereka melayang karena kaki Yo Wan otomatis telah mengirim dua buah tendangan.

“Aku tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti kudaku dan perkara ini habis sampai disini saja,” kembali Yo Wan berkata.

Akan tetapi kedua orang pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakutan sehingga tanpa berkata apa-apa iagi mereka berdua lalu merangkak bangun dan….. lari turun gunung!

Yo Wan berdiri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia mengangkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada empat ekor kuda di tangannya.

Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi. Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.

Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju ke puncak itu berliku-liku mengelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku seperti itu sehingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui.

Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat mendaki dengan melalui jalan yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan ini, apalagi menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja barulah Yo Wan tiba dipintu gerbang tembok yang mengelilingi Hoa-san-pai yang merupakan kelompok bangunan besar di puncak.

Seorang tosu yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan,
“Apakah kau tukang kuda baru?”

Yo Wan mengangguk.
“Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau menunjukkan dimana adanya kandang kuda?”

Tosu itu kelihatan tidak senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa penghormatan sama sekali itu. Benar-benar seorang anak muda dusun yang bodoh, pikirnya.

“Kandang kuda berada diluar tembok sebelah barat. Kau kelilingi saja tembok ini ke barat, nanti akan sampai disana,” jawabnya lalu duduk kembali, sama sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang berpeluh dan amat lapar itu.

Yo Wan memandang ke barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan kandang kuda, terbuat daripada papan sederhana. Tanpa mengucap terima kasih karena dianggapnya tanya jawab itu sudah semestinya, dia pergi dari situ, menuntun empat ekor kudanya.

Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya bundar dan matanya seperti dua buah kelereng.

“Ha-ha-ha, ada tukang kuda baru!” serunya. “Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, eh, bagaimana ini, Bong-suheng tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat ekor? Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?”

“Lopek, kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana,” kata Yo Wan sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju.

la merasa lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Sejak kemarin dia tidak makan, dan tadi dia tidak berani berhenti untuk mencari buah atau air. Sekarang dia masih menghadapi urusan kuda dan tentu akan mendapat marah lagi.





Tosu gendut itu melongo, sepasang matanya makin bundar, memandangnya dengan bingung dan heran.

“Kau kubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kau pendam kuda itu?”

Yo Wan mengangguk,
“Benar, karena dia mati.” la berhenti sebentar lalu berkata, “Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?”

Tosu itu mengangguk-angguk, masih bingung.
“Ah, tentu….. tentu….. tunggu sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh…..” tapi dia berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, keluar lagi membawa bungkusan makanan dan sekaleng air minum.

Tanpa banyak sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu memandangnya penuh kasihan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan. Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat dan tenang. Melihat tosu itu memandangnya, Yo Wan bercerita sambil makan.

“Kuda hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari meninggalkan dua ekor kuda mereka ini, lalu kubawa kesini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di pinggir jalan.”

Tosu itu mendengarkan dengan melongo.
“Kuda dibunuh orang? Siapa mereka yang begitu berani main gila di Hoa san?”

“Mereka mengaku utusan-utusan dan Sin-tung-kai-pang. Tadinya mereka tidak mau ganti, aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi, meninggalkan dua ekor kuda ini.”

Tosu itu melebarkan matanya.
“Sin-tung-kai-pang? Mereka mengalah? Hem, kau masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang kebesaran Hoa-san-pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat ini kau takkan dapat makan minum lagi.”

Yo Wan diam saja, pikirannya melayang kearah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara-gara dengan pembunuh kuda.

“Lopek, tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai main panah. Siapakah dia? Apakah putera Hoa-san-pai?”

Tosu itu menggeleng kepala.
“Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-san. Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ah, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah kalau mendengar kudanya dibunuh orang….. hemmm, aku tidak akan tega menyampaikan berita ini kepadanya. Anak malang…..”

Hemmm, benar-benar orang Hoa-san-pai amat memanjakan anak itu.
“Lopek, kalau dia bukan putera Hoa-san-pai, apakah dia itu anak raja yang sedang bermain-main disini?”

Tosu itu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Putera raja? Ha-ha-ha, sama sekali bukan, tapi memang dia patut menjadi putera raja! Dia itu cucu tunggal dari Kwa-lo-sukong, jadi masih terhitung keponakan dari ketua kami yang sekarang”.

Berdebar jantung Yo Wan. Cucu guru besar she Kwa? Suhunya juga she Kwa!
“Lopek, dia itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang disini, keteranganmu tadi sama sekali tidak jelas”.

Tosu itu kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya keatas.
“Dia keturunan orang-orang gagah, karena itu, dia harus menjadi seorang calon tokoh Hoa-san-pai yang nomor satu. Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta, ibunya juga memiliki kepandaian setinggi langit. Kakeknya adalah Hoa-san It-kiam. Kwa Tin Siong bekas ketua Hoa-san-pai, pamannya adalah Kui-san-jin (Orang Gunung she Kui) yang sekarang menjadi ketua kami. Paman-paman gurunya adalah orang-orang sakti di samping tokoh-tokoh sakti yang bersama-sama menggemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan?”

Tosu gendut itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya kalau dia lari, adalah putera suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan. Ah, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak suhu, dan diam-diam dia merasa bangga Juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah terbunuh.

“Malam sudah tiba….. eh, siapa namamu tadi?”

“A Wan, Lopek.”

“A Wan, kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang sana, kau beri makan mereka, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa malam ini pinto (aku) juga tidur disana, lebih enak daripada tidur di ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok saja pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Malam ini kau mengaso saja.”

“Baik, terima kasih, Lopek.”

Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang dia membutuhkan istirahat untuk memutar otak. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi suhunya sudah mempunyai putera yang demikian tampan dan gagah. Putera itu dididik di Hoa-san-pai. Mungkin saking senangnya mendapatkan putera ini, suhu dan subonya sampai lupa kepadanya. Besok dia harus menghadap suhu dan subonya. Tentu saja dia dapat bekerja disitu, menjadi tukang kuda atau apa saja.

Tapi….. dia ragu-ragu apakah dia akan suka tinggal disini selamanya. Apakah suhunya mau menurunkan ilmu silat setelah mempunyai putera yang amat disayang? Bukankah tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu menjadi jago nomor satu di dunia? Mungkin suhu dan subonya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan tetapi apakah para orang tua di Hoa-san-pai akan suka menerimanya?

Pusing pikiran Yo Wan. Betapapun juga, besok aku akan menghadap suhu dan lihat saja bagaimana perkembangannya. Kalau tak mungkin tinggal disitu, pikirnya, dia akan tanya kepada suhunya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan dilawan dengan apa yang dia miliki sekarang.

Berpikir sampai disini dia teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang. Tadinya dia menganggap bahwa dua orang itu hanya dua manusia sombong yang tidak becus apa-apa, orang-orang lemah yang hanya mengandalkan aksi dan mungkin kedudukan, yang sama sekali tidak memiliki kepandaian silat yang berarti. Apakah tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan? Tidak mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan.

Orang dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang lain? Sampai dia tertidur pulas diatas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu.

Memang, pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah, melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang tadi. la sama sekali tidak menyadari bahwa dalam dirinya telah terkandung ilrnu silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging dengan dirinya.

la menganggap dirinya belum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya adalah mengandung inti sari ilmu silat tinggi yang diwariskan oleh Sin-eng-cu dan Bhewakala! Tentu saja Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai ilmu silat karena ketika selama tiga tahun dia mainkan jurus-jurus sakti, sama sekali bukanlah “belajar”, melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu ilmu.

Tiba-tiba Yo Wan bangkit dari rumput kering. Dia mendengar kuda meringkik dan menyepak-nyepak. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia menjadi tukang kuda dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia tidur lagi. la terlalu lelah. Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan kuda-kuda itu masih berada di kandang.

“Ah, kiranya benar hanya tukang kuda…..” terdengar suara lirih, dari atas.

Yo Wan terkejut. Kiranya ada orang diatas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan “tak!” sebuah benda kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Dilain saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah terbakar.






No comments:

Post a Comment