Ads

Friday, February 15, 2019

Jaka Lola Jilid 012

Selagi dia melamun sambil menuntun kudanya di jalan yang cukup lebar tapi menanjak itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang dan disusul bentakan nyaring,

“Minggir…..! Minggir…..!!” Lalu terdengar bunyi cambuk di udara.

Kalau saja A Wan tidak sedang melamun, agaknya dia tidak begitu kaget dan dapat menuntun tiga ekor kuda itu ke pinggir. Akan tetapi bentakan nyanng ini seakan-akan menyeretnya tiba-tiba dari dunia lamunan, membuat dia kaget dan tak sempat menguasai seekor diantara kudanya yang kaget dan melonjak ke tengah jalan.

Karena dua ekor kuda yang lain juga melonjak-lonjak ketakutan, terpaksa Yo Wan hanya menenangkan dua ekor yang masih dia pegang kendalinya, sedangkan yang seekor telah terlepas kendalinya dan kini berloncatan di tengah jalan.

Pada saat itu, dua orang penunggang kuda sudah datang membalap dekat sekali. Yo Wan berteriak kaget, karena kudanya yang mengamuk itu tidak menghindar, malah meloncat dan menubruk kearah seorang diantara penunggang-penunggang kuda itu.

“Setan…..!”

Penunggang kuda yang di tubruk itu memaki, dia seorang laki-laki yang berkumis panjang, berusia kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi sepatunya baru dan mengkilap. Sambil memaki, dia menggerakkah kakinya, menendang ke arah perut kuda yang menubruknya.

“Krakkk!”

Tendangan itu keras sekali dan mendengar bunyinya, agaknya tulang-tulang rusuk kuda yang menubruknya itu telah ditendang patah. Kuda itu meringkik, terjengkang ke belakang lalu roboh dan berkelojotan, tak mampu bangun lagi.

“Wah-wah-wah, Sute (Adik seperguruan), kau telah membunuh seekor kuda Hoa-san-pai!” tegur orang kedua, usianya hampir lima puluh, rambutnya putih semua digelung keatas, mukanya licin tanpa kumis, pakaiannya juga penuh tambalan seperti orang pertama.

“Habis, apakah aku harus membiarkan kuda itu menubrukku, Suheng? Salahnya bocah ini, menuntun kuda kurang hati-hati!” Mereka berdua melompat turun dari kuda dan memandang kepada Yo Wan.

Bukan main kagetnya hati Yo Wan melihat betapa seekor diantara tiga kuda yang dia tuntun itu kini telah berkelojotan hampir mati di tengah jalan. Baru saja dia diterima menjadi kacung kuda, sudah terjadi hal ini. Karena kaget dan bingung, dia segera berkata,

“Kau membunuh kudaku. Hayo ganti kudaku!”

Si kumis tersenyum.
“Bocah, ketahuilah. Aku dan suhengku ini adalah dua orang utusan dari Sin-tung-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti). Urusan kuda adalah urusan kecil, tak perlu kau ribut-ribut.”

“Urusan kecil bagaimana?” Yo Wan berteriak. “Mungkin kecil untuk kau, akan tetapi amat besar bagiku. Kau harus mengganti kuda ini!”

Muka si kumis menjadi merah. la heran sekali. Biasanya, orang-orang Hoa-san-pai tentu akan bersikap hormat kalau mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Sin-tung-kai-pang. Akan tetapi bocah ini, tentu hanya seorang anak murid yang masih rendah, sama sekali tidak menghormat, malah agak kasar sikap dan bicaranya.

“Kau siapa? Apakah kuda ini bukan milik Hoa-san-pai?” tanya si kumis.

“Memang kuda Hoa-san-pai, dan aku adalah kacung kuda yang baru. Bagaimana aku harus pulang kalau kuda yang kutuntun berkurang seekor? Lopek, kau harus menggantinya!”

Sambil berkata demikian, Yo Wan menuntun dua ekor kudanya di tengah jalan, menghadang perjalanan karena dia khawatir kalau dua orang itu akan melarikan diri.

Si kumis menjadi makin merah mukanya karena marah ketika mendengar bahwa bocah ini hanya seorang kacung kuda saja. Seorang kacung kuda bagaimana berani bersikap sekasar itu terhadap dia, anak murid Sin-tung-kai-pang yang sudah bersepatu baru? Di perkumpulan pengemis ini terdapat peraturan yang aneh. Tingkat seseorang ditandai dengan sepatu. Yang terendah tidak memakai sepatu, yang lebih tinggi memakai alas kaki, makin tinggi makin baik, dan sandal kayu sampai sepatu kulit yang mengkilap seperti yang dipakai oleh kedua orang penunggang kuda ini. Maklumlah, mereka berdua adalah murid-mund dari ketua Sin-tung-kai-pang, maka kepandaiannya sudah amat tinggi dan “pangkatnya” sudah pemakai sepatu baru.





“Hemmm, bujang rendah! Kau hanya tukang kuda, banyak cerewet. Urusan seekor kuda saja kau ribut-ribut! Minggir! Biar nanti kubicarakan dengan orang-orang Hoa-san-pai tentang kuda ini, kau boleh pulang ke kandangmu!”

“Betul kata-kata, Suteku, bocah tukang kuda, jangan kau takut. Biar nanti kami bicarakan urusan kuda ini dengan majikanmu,” sambung orang kedua yang rambut putih.

“Tidak!”

Yo Wan membantah karena dla takut kedua orang ini akan mengadu kepada ketua Hoa-san-pai dan membalikkan duduknya perkara sehingga dia yang akan dipersalahkan.

“Kau harus ganti sekarang juga!”

“Bujang rendah, kau buka matamu baik-baik dan lihat dengan siapa kau bicara!” bentak si kumis, marah sekali.

“Aku sudah melihat, kalian adalah dua orang pengemis aneh.”

Dua orang itu tertawa. Memang aneh orang-orang dari Sin-tung-kai-pang. Kalau orang lain menyebut mereka pengemis, hal itu berarti suatu penghormatan bagi mereka! Inilah sebabnya mereka menjadi senang mendengar Yo Wan menyebut mereka pengemis aneh dan hal ini mereka anggap bahwa Yo Wan takut.

“Bocah! Kau lihat sepatu kami!”

Yo Wan mendongkol juga. Orang ini terlalu menghinanya, akan tetapi dia memandang juga kearah sepatu mereka.

“Ada apa dengan sepatu kalian? Sepatu baru, akan tetapi penuh debu!” jawabnya.

“Ha-ha-ha, anak baik, kau mengenal sepatu baru kami!” Si kumis tertawa senang. “Hayo kau bersihkan debu sepatu kami, dan nanti kami akan minta kepada majikanmu agar kau jangan dihukum karena kelalaianmu menuntun kuda.”

Yo Wan menegakkan kepalanya, memandang tajam.
“Harap kalian tidak main-main. Akupun tidak ingin main-main dengan kalian. Lebih baik sekarang kau tinggalkan seekor diantara kudamu untuk mengganti kudaku yang mati, baru kalian melanjutkan perjalanan.”

“Apa…..??” Dua orang itu berteriak kaget, heran dan juga marah. “Kau ini kacung kuda berani bicara begitu kepada kami? Kami adalah dua orang utusan terhormat dari Sin-tung-kai-pang, tahu? Minggir dan jangan banyak cerewet kalau kau tidak ingin mampus seperti kuda itu!”

Yo Wan adalah seorang yang memiliki watak suka merendah, hal ini terbentuk oleh keadaan hidupnya semenjak kecil. la suka mengalah dan mempunyai rasa diri rendah dan bodoh, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang muda yang berdarah panas. Melihat sikap dan mendengar ucapan menghina itu, kesabarannya patah.

“Biarpun kalian utusan dari Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sekalipun, karena kau membunuh kudaku, kau harus menggantinya!”

Dua orang itu mencak-mencak saking marahnya. Kalau saja mereka tidak ingat bahwa kacung itu adalah seorang bujang Hoa-san-pai dan bahwa mereka berada di wilayah Hoa-san-pai, tentu sekali pukul mereka membikin mampus bocah ini.

“Sute, jangan layani dia, Dorong minggir!”

Si kumis tertawa dan melangkah maju mendekati Yo Wan, tangan kirinya mendorong pundak pemuda itu sambil membentak,

“Tidurlah dekat bangkai kudamu!”

la menggunakan tenaga setengahnya karena tidak ingin membunuh Yo Wan, hanya ingin membuat kacung itu terjengkang dekat bangkai kuda tadi.

Akan tetapi dia salah besar kalau mengira bahwa dengan hanya sebuah dorongan seperti itu saja dia akan mampu merobohkan Yo Wan. Tangannya mendorong pundak Yo Wan yang sengaja tidak mau mengelak, akan tetapi tenaga dorongannya bertemu dengan pundak yang kokoh kuat seperti batu karang. Jangankan membuat kacung itu roboh, membuat pundak itu bergoyang saja tidak mampu!

“Kau ganti kudaku yang mati !” kata Yo Wan tanpa bergerak.

Si kumis terheran, penasaran lalu timbul kemarahannya.
“Kau kepala batu”, bentaknya dan kini dia menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong dada Yo Wan.

Yo Wan tidak mau mengalah sampai dua kali, apalagi sekarang yang didorong adalah dadanya. Tak mungkin dia mau membiarkan dadanya didorong orang karena hal ini berbahaya.

Selama tiga tahun terus-menerus siang malam dia bermain silat menurut petunjuk Sin-eng-cu dan Bhewakala, ilmu silat tingkat tinggi yang membuat ilmu itu mendarah daging di tubuhnya dan di pikirannya, seluruh panca inderanya sudah matang sehingga segalanya bergerak secara otomatis, karena memang demikianlah kehendak dua orang sakti itu.

Sekarang, menghadapi dorongan kedua tangan si kumis kearah dadanya, secara otomatis kaki Yo Wan melangkah dengan gerak tipu Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po, yang dia warisi dari Pendekar Buta. Ketika tubuh si kumis yang mendorongnya itu lewat dekat tubuhnya, otomatis pula tangannya bergerak ke punggung dan pantat. Seperti sehelai layang-layang putus talinya, tubuh si kumis itu “melayang” ke depan dan memeluk bangkai kuda yang tadi ditendangnya!

“Bukkk! Uh-uhhh…..”

Si kumis terbanting pada bangkai kuda, karena dia tadi mencium hidung kuda yang mancung dan keras, hidungnya mengeluarkan darah dan kepalanya menjadi pening.

Temannya yang berambut putih, sejenak berdiri melongo. Hampir saja dia tak dapat percaya bahwa sutenya begitu mudah dirobohkan. Oleh seorang kacung kuda! Padahal dia maklum bahwa ilmu kepandaian sutenya itu sudah tinggi, patutnya kalau dikeroyok oleh dua puluh orang kacung seperti ini saja tak mungkin kalah. Tapi mengapa sampai hidungnya mengeluarkan kecap?

“Kau berani melawan kami?” bentaknya marah setelah dia sadar kembali dari keheranannya.

Sambil membentak begitu pengemis rambut putih inipun menerjang maju. la memukul kearah muka Yo Wan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya diam-diam melakukan gerakan susulan, yaitu serangan yang sesungguhnya dan tersembunyi di belakang serangan pertama yang merupakan pancingan. Maksudnya hanya ingin membanting roboh Yo Wan sebagai pembalasan atas kekalahan temannya, karena dia masih belum berani membunuh seorang bujang Hoa-san-pai.

Yo Wan tersenyum. Setelah melatih diri dengan tipu-tipu yang luar biasa hebatnya secara berganti-ganti dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, dimana dua orang sakti itu menggunakan gerakan-gerakan yang penuh tipu muslihat, penuh pancingan dan amat tinggi tingkatnya, jurus yang dipergunakan oleh si rambut putih ini baginya merupakan gerakan main-main yang tidak ada artinya sama sekali.

Agaknya boleh dikatakan bahwa Yo Wan telah mengetahui lebih dulu sebelum pengemis itu bergerak! Dengan tenang dia miringkan kepala dan tangannya mendahului digerakkan ke depan menyambut tangan kanan kakek pengemis yang hendak membantingnya, dipegangnya pergelangan tangan itu dan sekali tekan tangan itu seakan-akan menjadi lumpuh.

Dilain saat, tubuh pengemis rambut putih inipun sudah melayang ke depan dan….. menimpa tubuh pengemis berkumis yang baru krengkang-krengkang hendak merangkak bangun. Tentu saja dia roboh lagi dan keduanya bergulingan dekat bangkai kuda!

“Lebih baik kalian pergi dan tinggalkan seekor kuda untuk mengganti yang mati,” kata Yo Wan menyesal dia sama sekali tidak ingin berkelahi, takut kalau-kalau hal ini akan membikin marah suhunya. “Kalau kau merasa rugi boleh kau bawa bangkai kuda itu. Aku tidak mau mencari perkara.”

Akan tetapi dua orang pengemis itu sudah memuncak kemarahannya. Mereka adalah murid-murid yang terkenal dari ketua Sin-tung-kai-pang, maka apa yang terjadi tadi merupakan penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa! Seorang kacung kuda membuat mereka jatuh bangun macam itu. Mana mereka ada muka untuk memakai sepatu baru lagi?






No comments:

Post a Comment