Ads

Friday, February 15, 2019

Jaka Lola Jilid 011

Ya, mengapakah? Mengapa Kun Hong dan Hui Kauw tidak kembali ke Liong-thouw-san sampai delapan tahun lamanya, membiarkan murid mereka itu seorang diri saja di puncak gunung yang sunyi. Apakah terjadi sesuatu yang hebat atas diri mereka?

Sebetulnya tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tak lama setelah Kun Hong dan Hui Kauw tiba di Hoa-san, Hui Kauw melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Tentu saja peristiwa ini mendatangkan kegembiraan luar biasa di Hoa-san. Oleh kakeknya, anak itu diberi nama Kwa Swan Bu.

Ketua Hoa-san-pai sekarang adalah Kui Lok yang berjuluk Kui-san-jin, seorang tokoh Hoa-san-pai yang paling lihai karena dia dan isterinya (Thio Bwee) adalah sepasang suami isteri yang mewarisi ilmu Silat Hoa-san-pai yang paling tinggi. Suami isteri ini memimpin Hoa-san-pai, dibantu oleh suhengnya bernama Thian Beng Tosu (Thio Ki) dan Lee Giok, dan diawasi oleh kakek Kwa Tin Siong dan isterinya. Kwa Tin Siong sudah amat tua dan sudah bosan mengurus Hoa-san-pai, maka dia dan isterinya menyerahkan tugas ini kepada Kui-san-Jin dan mereka sendiri tekun bertapa.

Kedatangan putera tunggal mereka, Kwa Kun Hong dan isterinya, tentu saja menggirangkan hati kedua orang tua ini, apalagi setelah isteri Kun Hong melahirkan seorang putera, kebahagiaan suami isteri tua ini menjadi sempurna.

Perlu diketahui bahwa tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang mempunyai keturunan laki-laki kecuali Kwa Kun Hong seorang. Thian Beng Tosu hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Thio Hui Cu yang sudah menikah dengan Tan Sin Lee putera Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai. Juga Kui-san-jin hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Kui Li Eng yang sudah menikah pula dengan Tan Kong Bu, putera lain lagi dari Raja Pedang Tan Beng San. Semua ini dapat dibaca dalam cerita Rajawali Emas dan dan Pendekar Buta.

Karena tidak ada keturunan laki-laki di Hoa-san, tentu saja lahirnya Kwa Swan Bu amat menggirangkan hati Kakek Kwa. Juga Thian Beng Tosu dan Kui san jin ketua Hoa-san-pai amat girang. Orang-orang tua inilah yang minta dengan sangat kepada Kun Hong dan istrinya agar suami isteri itu tidak kembali ke Liong-thouw-san, setidaknya menanti kalau Swan Bu sudah besar.

“Amat tidak baik membiarkan seorang anak laki-laki bersunyi d puncak bukit dengan kedua orang tuanya saja, kata Kwa Tin Siong kepada putera dan mantunya. Ia akan tumbuh besar dalam kesunnyian, kurang bergaul dengan sesama manusia. Di Hoa san pai ini adalah tempat tinggalmu sendiri sejak kau kecil Kun Hong, karena itu sebaiknya kau membiarkan puteramu tinggal disini pula. Disini merupakan keluarga Hoa san pai yang besar, dan puteramu tentu akan menerima kasih sayang dari semua orang. Juga aku dan ibumu sudah tua, biarkanlah kami menikmati hari-hari akhir kami dengan cucu kami Swan Bu.”

Inilah yang membuat Kun Hong dan isterinya tak dapat meninggalkan Hoa-san. Kun Hong berunding dengan isterinya tentang Yo Wan. Hui Kauw yang tentu saja menimpakan kasih sayang seluruhnya kepada puteranya, menyatakan bahwa Yo Wan tentu akan menyusul ke Hoa-san.

“Bukankah dahulu kau sudah meninggalkan pesan bahwa dia harus menyusul ke Hoa-san kalau dalam waktu dua tahun kita tidak pulang? Dia sudah besar, tentu dapat mencari jalan kesini. Pula, hal ini amat perlu bagi dia. Murid kita harus menjadi seorang yang tabah dan tidak gentar menghadapi kesukaran.”

Kun Hong setuju dengan pendapat isterinya ini. Akan tetapi hatinya gelisah juga setelah lewat dua tahun, bahkan sampai lima tahun, murid itu tidak datang menyusul ke Hoa-san.

“Jangan-jangan ada sesuatu terjadi disana?” Kun Hong menyatakan kekhawatirannya.

“Atau dia memang tidak ingin ikut dengan kita disini,”

Hui Kauw berkata, keningnya berkerut. Diam-diam la merasa tidak senang mengapa Yo Wan tidak mentaati perintah suaminya. Seorang murid harus mentaati perintah guru, kalau tidak dia bukanlah murid yang baik,

“Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan Yo Wan. Kalau dia datang menyusul, berarti dia suka menjadi murid kita, kalau tidak, terserah kepadanya. Lebih baik kita melatih anak kita sendiri.”

Demikianlah, setelah lewat delapan tahun, suami isteri ini sudah melupakan murid mereka yang mereka kira tentu sudah pergi dari Liong-thouw-san dan tidak mau ikut mereka di Hoa-san. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa murid mereka itu selama ini tak pernah meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan sama sekali mereka tidak pernah menduga bahwa pada pagi hari, orang muda tampan sederhana yang berdiri termenung di kaki Gunung Hoa-san, adalah Yo Wan.





Yo Wan amat kagum melihat keadaan Gunung Hoa-san. Alangkah jauh bedanya dengan Liong-thouw-san. Gunung ini benar-benar terawat. Tidak ada bagian yang liar. Hutan-hutan bersih dan penuh pohon buah dan kembang. Sawah ladang terpelihara, ditanami sayur-mayur dan pohon obat. Malah jalan yang cukup lebar dibangun, memudahkan orang naik mendaki gunung.

Derap kaki kuda dari sebelah kanan terdengar, diiringi suara ketawa yang nyaring, ketawa kanak-kanak. Yo Wan mengangkat kepala memandang ke sebelah kanan dan dia menjadi kagum sekali.

Ada tiga orang penunggang kuda. Kuda mereka adalah kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan nampak kuat. Akan tetapi bukan binatang-binatang itu yang mengagumkan hati Yo Wan, melainkan penunggangnya yang berada di tengah-tengah, diantara dua orang penunggang kuda.

Penunggang kuda ini adalah seorang anak laki-laki yang kelihatannya ada sepuluh tahun usianya. Seorang anak laki-laki yang amat tampan, yang pakaiannya serba indah, kepalanya ditutupi topi sutera yang bersulam kembang dan terhias burung hong dari mutiara.

Anak laki-laki itu pandai sekali menunggang kuda dan pada saat itu dia menunggang kuda tanpa memegang kendali, karena kedua tangannya memegangi sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Dua orang yang mengiringi anak ini adalah dua orang laki-laki berusia empat puluhan, dandanannya seperti tosu dan kelihatannya amat mencinta anak itu.

“Ji-wi Susiok (Dua Paman Guru), lihat, burung yang paling gesit akan kupanah jatuh!”

“Swan Bu…… jangan…..! Itu bukan burung walet…..”

Seorang diantara kedua tosu itu mencegah. Akan tetapi anak itu sudah mengeprak kudanya dengan kedua kakinya yang kecil. Kudanya lari congklang dengan cepat ke depan Dengan gerakan yang tenang namun cepat anak itu sudah memasang dua batang anak panah pada gendewanya dan menarik tali gendewa, terdengar suara menjepret dan Yo Wan melihat seekor burung kecil melayang jatuh di dekat kakinya.

Ia merasa kasihan sekali melihat burung itu, sebatang anak panah menembus dada. Burung kecil berbulu kuning amat cantik. Yo Wan menekuk lutut, membungkuk untuk mengambil bangkai burung itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu sebuah tangan yang kecil telah mendahuluinya, menyambar bangkai burung itu.

Yo Wan berdiri dan melihat anak kecil yang pandai main anak panah tadi telah berdiri di depannya, bangkai burung di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

“Eh, kau mau curi burungku? Burung ini aku yang panah jatuh, enak saja kau mau mengambilnya. Hemmm, kau orang dari mana? Mau apa berkeliaran disini?”

Yo Wan tertegun. Anak ini masih kecil, akan tetapi sikapnya amat gagah dan berwibawa, sepasang matanya tajam penuh curiga, akan tetapi juga membayangkan watak tinggi hati. la tahu bahwa dia berada di tempat orang, karena Gunung Hoa-san tentu saja menjadi wilayah orang-orang Hoa-san-pai. Dengan senyum sabar dia menjura dan berkata.

“Aku tidak bermaksud mencuri, hanya kasihan melihat burung ini…..”

Sementara itu, dua orang tosu juga sudah melompat turun dari kuda dan menghampiri.
“Swan Bu, kau terlalu. Ilmu memanah yang kau pelajari bukan untuk membunuh burung yang tidak berdosa. Kalau ayah bundamu tahu, kau tentu akan mendapat marah,” tegur seorang tosu.

“Susiok, apakah urusan begini saja Susiok hendak mengadu kepada ayah dan ibu Kalau tidak melatih memanah burung kecil terbang, mana bisa mahir? Anggap saja burung ini seorang penjahat. Susiok, orang ini mencurigakan, aku belum pernah melihatnya. Jangan-jangan dia pencuri.”

Dua orang tosu itu memandang Yo Wan. Tosu kedua segera menegur,
“Orang muda, kau siapakah ? Agaknya kau bukan orang sini …. eh, apakah kau pemuda yang hendak bekerja sebagai tukang mengurus kuda di Hoa-san? Kemarin kepala kampung Lung-ti-bun menawarkan tenaga seorang pemuda tukang kuda…..”

Yo Wan menggeleng kepala. Dia sejak kecil tinggal di gunung, tentu saja tidak tahu akan tata susila umum, dan gerak-geriknya agak kaku dan kasar.

“Aku bukan tukang kuda, akan tetapi kalau Lo-pek (Paman Tua) suka memberi pekerjaan, aku mau mengurus kuda, asal mendapat makan setiap hari.”

Entah bagaimana, melihat anak laki-laki yang sombong dan yang dia tahu tentu anak Hoa-san-pai ini, tiba-tiba hati Yo Wan menjadi tawar untuk bertemu dengan suhunya. Bukankah suhunya itu putera Hoa-san-pai dan sekarang mondok disitu? Bagaimana kalau orang-orang Hoa-san-pai memandang rendah kepadanya dan tidak suka mengangkatnya sebagai murid Pendekar Buta? Lebih baik dia menjadi tukang kuda dan tidak usah mengaku sebagai murid gurunya agar tidak merendahkan nama gurunya. Dengan pekerjaan ini, dia hendak melihat gelagat, melihat dulu suasana di Hoa san-pai sebelum mengambil keputusan untuk menghadap suhunya.

“Baik, kau boleh bekerja menjadi pengurus kuda. Setiap hari kau harus mencari rumput yang segar dan gemuk untuk dua belas ekor kuda, memberi makan dan menyikat bulu kuda. Tidak hanya makan, kau juga akan diberi pakaian dan upah. Eh, siapa namamu? Dimana rumahmu?”

“Namaku A Wan, Lopek, dan aku tidak mempunyai rumah. Terima kasih atas kebaikanmu, aku akan merawat kuda dengan baik-baik”.

“Bekerjalah dengan baik, ketua kami tentu akan menaruh kasihan kepadamu. Jangan sekali-kali suka mencuri, apalagi melarikan kuda,” kata tosu kedua.

“Susiok, kenapa takut dia mencuri dan lari? Kalau dia jahat, anak panahku akan merobohkannya!”

“Hush, Swan Bu, jangan bicara begitu ….”

“Aku paling benci penjahat, Susiok, tiap kali melihat penjahat, pasti akan kupanah mampus. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan basmi semua penjahat di permukaan bumi ini.”

Hemmm, bocah manja dan amat besar mulut, pikir Yo Wan. Heran sekali dia mendengar omongan seorang anak kecil seperti itu. Anak siapa gerangan bocah ini? Apakah anak ketua Hoa-san-pai? Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, karena nantipun dia akan tahu sendiri.

“Swan Bu kita pulang berlari sambll melatih ilmu lari cepat,” kata tosu pertama kepada anak itu. “Biar tiga ekor kuda ini dituntun naik oleh A Wan. A Wan, kau tuntun kuda tiga ekor kuda ini ke puncak, sampai disana bawa ke kandang, gosok badannya sampai kering dari keringat dan beri makan.”

Setelah berkata demikian, tosu itu memberikan kendali tiga ekor kuda itu kepada A Wan, kemudian dia mengajak tosu kedua dan Swan Bu untuk berlari cepat. Mereka berkelebat dan seperti terbang mereka lari mendaki gunung. Memang tosu itu sengaja tidak memberi penjelasan karena hendak menguji kecerdikan kacung kuda itu, apakah mampu dan dengan baik mengantar binatang-binatang itu ke kandang ataukah tidak. la masih ragu-ragu melihat pemuda yang bodoh itu.

Adapun Yo Wan sambil memegangi kendali tiga ekor kuda, melihat mereka berlari-lari cepat. Biasa saja kepandaian mereka itu, pikirnya, lalu dituntunnya tiga ekor kuda mendaki gunung. Sambil berjalan perlahan, dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan bocah yang bernama Swan Bu itu. Bocah tampan dan bersemangat, memiliki dasar watak yang gagah dan pembenci penjahat, akan tetapi rusak oleh kemanjaan dan kesombongan.

Pertemuannya dengan anak laki-laki tadi membuat Yo Wan makin tidak enak lagi hatinya. la merasa bahwa orang-orang Hoa-san-pai kurang bijaksana, terbukti dari watak bocah tadi yang agaknya terlalu manja. Heran dia mengapa suhunya yang jujur dan budiman, subonya yang berwatak halus dan penuh pribudi itu bisa tinggal disitu sampai bertahun-tahun.

Akan tetapi dia teringat lagi bahwa suhunya adalah putera ketua Hoa-san-pai, tentu saja harus berbakti kepada orang tua, dan orang dengan watak sehalus subonya, tentu dapat menghadapi segala macam watak dengan penuh kesabaran. la menarik napas. Dasar kau sendiri yang iri agaknya melihat bocah tadi demikian manja, pakaiannya demikian indah, dia mencela diri sendiri.

Betapapun juga, Yo Wan adalah seorang pemuda yang masih remaja dan kurang sekali pengalaman, kurang pula pendidikan, maka rasa iri itu adalah wajar. Iri karena dia tidak pernah merasa bagaimana dicinta orang tua, dimanja orang tua. la teringat akan keadaan sendlri, seorang jaka lola yang tidak punya apa-apa di dunia ini. Alangkah jauh bedanya dengan Swan Bu tadi, bagai bumi dan langit.






No comments:

Post a Comment