Ads

Thursday, February 14, 2019

Jaka Lola Jilid 010

“Susiok-couw, Locianpwe Bhewakata tidak dapat memecahkan Pek-hong-ci-tiam, akan tetapi menghadapi jurus itu dengan jurus penyerangan pula, seperti ini,” kata Yo Wan sambil mainkan cambuk yang memang sengaja dibawanya kedalam kamar itu.

Cambuknya melejit-lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu diatas meja ketika dia mainkan jurus itu.

Akan tetapi setelah dia berhenti mainkan jurus ini, Sin-eng-cu tidak memberi komentar apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal diatas pangkuan, telentang, dan tangan kiri diangkat ke depan dada jari-jari tengah terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.

“Susiok-couw, bagaimana sekarang…?” Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan berlutut.

“Susiok-couw…..!”

la berseru agak keras sambil berdongak memandang. Kakek itu masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak wajar ini, berubah air mukanya. Dirabanya kepalan tangan kanan diatas pangkuan itu dan dia menarik kembali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu seperti orang tidur tanpa bernapas.

“Susiok-couw…..!”

Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya,
“Dia sudah mati. Ah, Sin-eng-cu, kau benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku mengaku kalah!”

Yo Wan menoleh dengan heran. Bhewakala sudah berdiri disitu dan biarpun kelihatannya masih amat lemah, kiranya pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan sehingga dia tidak mendengar kedatangannya. Akan tetapi dia segera menghadapi Sin-eng-cu lagi, berlutut dan memberi hormat sebagaimana layaknya sambil berkata,

“Harap Susiok-couw sudi mengampuni teecu yang tidak mampu menolong Susiok-couw yang terluka sehingga hari ini Susiok-couw meninggal dunia.” la tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin menangis.

“Yo Wan, orang selihai dia mana bisa mati karena luka pukulanku? Seperti juga pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang akibatnya melenyapkan tenaga dalam karena pusat pengerahan sinkang di tubuh kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati juga, kematian wajar dari usia tua.”

Bhewakala maju menghampiri kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba pendeta Nepal ini memeluknya.

“Sin-eng-cu, tua bangka….. terima kasih. Belum pernah selama hidupku merasa begitu senang dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu ilmu ini. Kau hebat, sahabatku, kau hebat jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita bertemu kembali, dapat kumainkan di depanmu…..”

Pendeta ini lalu membaringkan tubuh Sin-eng-cu. Tangan dan kaki kakek itu sudah kaku, akan tetapi begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang membeku itu, menjadi lemas kembali dan dapat ditelentangkan. Kemudian pendeta hitam ini berpaling kepada Yo Wan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang seorang yang aneh dan luar biasa pendeta hitam ini, pikirnya.

“Yo Wan, kau adalah murid Pendekar Buta akan tetapi tak pernah menerima warisan ilmu silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tiada artinya dalam menghadapi lawan. Kau bukan murid kami namun kau telah mewarisi inti sari daripada ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam hatiku, aku menganggap kau murid tunggalku dan selalu aku menanti kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku.”

Setelah berkata demikian, Bhewakala berjalan keluar dari pondok itu, wajahnya muram seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-eng-cu.





Yo Wan tiba-tiba merasa dirinya amat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi telah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi. Ketika suhu dan subonya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun lebih. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya seperti dikatakan Sin-eng-cu beberapa hari yang lalu.

Tadinya dia sendiri tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-eng-cu yang menghitungnya. Seorang jejaka. Jaka Lola, tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada sanak kadang. Di dunia ini hanya ada suhu dan subonya, akan tetapi kedua orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita.

Dengan hati berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-eng-cu di belakang pondok. la tidak tahu bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu bahwa setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati beratnya!

“Aku harus menyusul suhu dan subo ke Hoa-san.”

Pikiran inilah yang pertama-tama memasuki kepalanya. Teringat akan niatnya pergi menyusul ke Hoa-san tiga tahun yang lalu, dia merasa menyesal sekali. Mengapa dia dahulu tidak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-san, tentu saat ini dia sudah berada bersama suhu dan subonya.

Akan tetapi, dia teringat lagi betapa dua orang kakek yang mengadu ilmu itu mennbuat dia betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada suhu dan subonya, juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena kedua orang itu melarangnya. Biarpun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhewakala menyuruh dia mengambil bermacam-macam daun di puncak yang ternyata dapat mengganti bumbu dapur.

Dengan pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang ditinggalkan oleh pendeta itu dia gulung melingkari pinggangnya, tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga pedang kayu buatan Sin-eng-cu yang dipakai untuk bermain jurus di depan Bhewakala, dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang.

Berangkatlah Yo Wan si Jaka Lola meninggalkan puncak Liong-thouw-san, berangkat dengan hati lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali dengan dua orang yang amat dikasihi, yaitu suhu dan subonya. la tidak sadar sama sekali, betapa dirinya kini telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Iweekang menurut ajaran Sin-eng-cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain memiliki tenaga sinkang yang hebat juga telah memiliki ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah didapat orang!

Ketika penduduk sekitar kaki gunung yang sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan penyesalan mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan.

Yo Wan, menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. la sendiri tidak ingin suhu dan subonya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel itu. Segera dia menukar pakaiannya dan kini biarpun pakaiannya sederhana dan terbuat daripada kain kasar, namun cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya.

Yo Wan melakukan perjalanan seperti seorang yang linglung. Dia seperti seekor anak burung yang baru saja belajar terbang meninggalkan sarangnya. Semenjak usia delapan tahun, dunianya hanya puncak Bukit Liong-thouw-san dan perkampungan sekitar kaki gunung.

Biarpun di waktu kecilnya dia pernah melihat kota dan tempat-tempat ramai, namun selama delapan tahun dia seakan mengasingkan diri di puncak gunung, dan sekarang, melakukan perjalanan melalui kota-kota dan dusun-dusun yang ramai, dia seperti seorang dusun yang amat bodoh.

Bangunan-bangunan besar mengagumkan hatinya. Melihat banyak orang membuat dia bingung. Apalagi ilmu membaca dan menulis. la seorang buta huruf yang melakukan perjalanan melalui tempat-tempat yang asing baginya, tanpa kawan tiada sanak kadang, tanpa bekal uang di saku!

Akan tetapi kekurangan-kekurangan ini sama sekali tidak membuat Yo Wan menjadi khawatir atau susah. Semenjak kecil dia sudah tergembleng oleh segala macam kesulitan hidup, biarpun masih muda, jiwanya sudah matang oleh asam garam dan pahit getir penghidupan, membuatnya tenang dan dapat menghadapi segala macam keadaan dengan tabah.

Tidak sukar baginya untuk mengatasi kekurangannya dalam perjalanan. Kadang-kadang dia hanya makan buah-buahan dan daun-daun muda di dalam hutan untuk berhari-hari. Ada kalanya dia makan dalam sebuah kelenteng bersama hwesio-hwesio yang baik hati dan yang tetap membagi hidangan sayur-mayur sekedarnya tanpa daging itu kepada Yo Wan.

Tentu saja Yo Wan belum mau pergi meninggalkan kelenteng sebelum dia melakukan sesuatu, mencari air, menyapu lantai, membersihkan meja sembahyang dan lain pekerjaan untuk membalas budi. Kadang-kadang orang dusun atau kota ada yang mau menerima bantuan tenaganya untuk ditukar dengan makan sehari itu.

Dengan cara demikian, Yo Wan melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya jalan menuju ke Hoa-san. la berlaku hati-hati sekali, selalu menjauhkan diri daripada keributan, dan tak pernah dia memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa dia memiliki tenaga luar biasa dan kepandaian yang tinggi.

Yo Wan sendiri sebetulnya belum mengerti betul bahwa dia telah mewarisi inti sari kepandaian dua orang kakek berilmu sungguhpun dia mengetahui bahwa dia memiliki tenaga dan keringanan tubuh yang melebihi orang lain. Oleh karena inilah maka dia sama sekali tidak mempunyai keinginan mencari dan mernbalas musuhnya, The Sun, sebelum dia bertemu dengan suhunya dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari gurunya itu.

Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, akhirnya pada suatu pagi sampai juga dia di kaki Gunung Hoa-san. Dengan hati berdebar tegang dia berdiri memandang kearah puncak gunung itu, sebuah gunung yang tinggi dan hijau, tidak liar seperti Gunung Liong-thouw-san. membayangkan pertemuan dengan suhu dan subonya setelah berpisah selama delapan tahun, mendatangkan rasa haru dan membuatnya termenung disitu dengan jantung berdebar-debar.

Betapapun juga, dalam kegembiraan ini, ada rasa tidak enak di dalam hatinya, rasa bahwa dia adalah seorang tamu di Hoa-san. Suhu dan subonya sendiri terhitung tamu disitu, bagaimana dia akan dapat merasa di rumah sendiri? Berpikir begitu timbul kegetiran. Mengapa suhunya membiarkan saja dia bersunyi sampai delapan tahun di Liong-thouw-san? Mengapa gurunya itu tidak kembali?

**** 010 ****





No comments:

Post a Comment