Ads

Thursday, February 14, 2019

Jaka Lola Jilid 009

“Jangan kau terlalu bernafsu merobohkan aku,” kata Sin-eng-cu, “Kita turunkan dahulu jurus-jurus yang pernah kita mainkan malam tadi sehingga masing-masing tentu sudah mengenalnya dan dapat memecahkannya. Setelah itu, barulah kita bertanding betul-betul, mengeluarkan jurus-jurus baru yang harus dapat dipecahkan.”

Bhewakala menyetujui usul kakek bekas lawannya ini. Setelah masakan sayur-mayur sudah matang dan dihidangkan oleh Yo Wan, mereka bertiga makan dengan tenang dan lahap. Kemudian dua orang sakti itu minta diantar ke kamar masing-masing dan mulai hari itu juga, Yo Wan menjadi perantara pertandingan yang aneh ini.

Mula-mula dia harus menghafal dan menggerakkan sebuah jurus yang diturunkan oleh Bhewakala dan oleh karena jurus ini harus dipergunakan untuk menyerang, tentu saja Yo Wan diharuskan dapat memainkannya dengan baik.

Pada hari-hari pertama, amatlah sukar bagi anak ini untuk menghafal dan mainkan jurus-jurus itu, karena jurus yang diturunkan itu adalah jurus ilmu silat tingkat tinggi yang sukarnya bukan main. Andaikata dia belum dlberi dasar Ilmu Si-cap-it Sin-po, yaitu langkah-langkah ajaib yang sudah mengandung inti sari daripada semua jenis gerak langkah dalam persilatan, agaknya dia tidak mungkin mampu melakukan gerakan jurus yang diturunkan oleh dua orang sakti ini.

Jurus pertama yang diturunkan Bhewakala, baru dapat dia lakukan setelah dia latih selama dua minggu! Memang mengherankan bagi yang tidak tahu, akan tetapi kalau diingat syarat-syaratnya, memang berat. Dalam setiap gerak dalam jurus ini, imbangan tubuh harus tepat bahkan keluar masuknya napas juga harus disesuaikan dengan setiap gerak!

Biarpun Yo Wan belum dapat menikmati dan membuktikan sendiri kegunaan ilmu silat karena selama belajar disitu belum pernah dia menggunakan ilmu silat untuk bertempur, namun mengingat sukarnya jurus ini, dia mengira bahwa Sin-eng-cu tentu akan menjadi bingung dan tidak mudah memecahkannya.

Jari tengah dan telunjuk kanan menusuk mata diteruskan dengan siku kanan menghantam jalan darah dibawah telinga, dibarengi pukulan tangan kiri pada pusar yang disusul lutut kaki kanan menyodok anggauta kelamin kemudian dilanjutkan tendangan kaki kanan sebagai gerak terakhir.

Sebuah jurus yang “berisi” lima buah gerak serangan berbahaya! Bhewakala menamakan jurus ini Ngo-houw-lauw-yo (Lima Harimau Mencari Kambing), sebuah jurus daripada ilmu silat ciptaannya yang paling lihai ketika dia bertapa di Gunung Himalaya, yaitu ilmu silat yang dinamainya Ngo-sin-hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti).

Akan tetapl alangkah herannya ketika Sin-eng-cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan kakek ini dengan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan dl depanku? Wah, terlalu gampang untuk memecahkannya!”

Yo Wan hanya memandang dengan kagum dan diam-diam diapun girang karena ternyata susiok-couwnya ini tidak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam adu ilmu yang luar biasa ini sedikit banyak dia berfihak kepada Sin-eng-cu dan mengharapkan kemenangan bagi kakek ini, karena betapapun juga kakek ini adalah paman guru daripada suhunya.

“Awas, dengarkan dan lihat baik-baik gerak tanganku. Sekaligus aku akan patahkan daya serang jurus cakar bebek ini.”

Dengan gerak tangan dan keterangan yang lambat dan jelas Sin-eng-cu rnengajarkan jurusnya.

“Menghadapi serangan seorang berilmu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat tinggi selalu menggunakan pancingan dan makin tersernbunyi gerak pancingan ini lebih baik. Gerak pertama menyerang anggauta tubuh bagian atas jangan dihadapi dengan perhatian sepenuhnya, melainkan harus dielakkan sambil menanti munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan kanan kearah mata dan leher, kita hadapi dengan merendahkan tubuh sehingga tusukan mata dan serangan siku kanan lewat diatas kepala. Serangan pukulan tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apabila dia berani menggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai tangkisan kearah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-han-pai-hud (Kakek Menyembah Buddha).”

Jurus ini dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apalagi karena segera disusul jurus kedua yang merupakan serangan balasan dari Sin-eng-cu, yaitu jurus yang disebut Llong-thouw-coan-po (Kepala Naga Terjang Ombak). Dua buah jurus ini adalah jurus-jurus dari ilmu silat ciptaan kakek ini yang dia beri nama Liong-thouw-kun (Ilmu Silat Kepala Naga) atau ilmu silat darl Lione-thouw-san tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruan-nya, Bu Beng Cu.





Untuk dua buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari. Ia bangga sekali terhadap kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi Liong-thouw-coan-po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh. memandang rendah sekali jurus serangan balasan Sin-eng-cu ini.

“Uwah-hah-hah tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan rahasianya dan sekali ini dengan jurus seranganku kedua, dia pasti akan mati kutu!”

Kakek pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain yang lebih sulit dan aneh lagi.

Demikianlah, setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua ganti tanpa henti. Mula-mula memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal baru dapat dia mainkan setelah tekun mempelajarinya sampai beberapa hari, apalagi makin lama jurus-jurus yang dikeluarkan dua orang sakti itu makin sukar. Akan tetapi setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat menyelesaikan setiap jurus dalam waktu sehari saja!

Yo Wan tidak hanya harus menghafal dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di depan kedua orang sakti itu, akan tetapi karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa dia harus menerima latihan siulian (samadhi), pernapasan dan cara menghimpun tenaga dalam tubuh.

“Tanpa mempelajari Iweekang dariku, tak mungkin kau mainkan jurus ini,” demikian kata Bhewakala dan karena dia sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu, terpaksa Yo Wan tidak dapat membantah dan mempelajari Iweekang yang aneh dari kakek Nepal ini.

Demikian pula, dengan alasan yang sama, Sin-eng-cu menurunkan latihan Iweekang yang lain dan untuk latihan ini Yo Wan mengalami kelancaran karena Iweekang dari kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari suhunya.

Tanpa terasa lagi, tiga tahun telah lewat! Ngo-sin-hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah lima puluh jurus itu telah dia mainkan semua. Demikian pula Liong-thouw-kun dari Sin-eng-cu Lui Bok yang berjumlah empat puluh delapan jurus.

Bukan ini saja, dengan alasan bahwa ilmu pukulan tangan kosong tak dapat menentukan kemenangan. Bhewakala menurunkan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan pedang telah dia ajarkan pula. Karena ilmu pedang inipun berdasar pada Ngo-sin-hoan-kun, maka tidak sukar bagi Yo Wan untuk menghafal dan memainkannya. Sebagai imbangannya, Sin-eng-cu juga menurunkan ilmu pedangnya.

Pada bulan kedua dari tahun ketiga, Sin-eng-cu yang keadaannya sudah amat payah saking tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.

“Yo Wan….. Bhewakala hebat memang. Tapi coba kau perlihatkan jurus ini dan dia pasti akan kalah. Jurus itu disebut Pek-hong-ci-tiam (Bianglala Putih Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang tak pernah kupergunakan dalam pertandingan karena amat ganas. Coba….. bantu aku berdiri, jurus ini harus kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Kesinikan pedangmu…..”

Yo Wan yang tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, pedang dari kayu cendana yang sengaja dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu kakek yang sudah tua renta itu bangkit berdiri. Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa kakek yang tua ini begini gemar mengadu ilmu. Sudah sering kali selama tiga tahun itu dia membujuk-bujuk mereka untuk menghentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka, dan selain itu, dia mulai merasa senang sekali dengan pelajaran jurus-jurus itu.

“Nah, kau lihat baik-baik…...”

Kakek itu menggerakkan pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram dari atas. Memang gerakan yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan kakek yang sudah kehabisan tenaga itu ketika mainkan jurus itu, kelihatan menyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari pedang kayu dan tangan kirinya kemudian….. kakek itu roboh terguling.

“Susiok-couw…..!”

Yo Wan cepat menyambar tubuh kakek itu dan membantunya duduk sambil menempelkan telapak tangannya pada punggung kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai dengan ajaran Sin-eng-cu.

“Sudah….. eh, baik sudah….. uh-uh-uh….. tua bangka tak becus aku ini….. Yo Wan, sudahkah kau dapat mengerti jurus tadi?”

Yo Wan mengangguk, dan maklum akan watak kakek ini, seperti biasa setelah kakek itu duduk bersila, dia mengambil pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara bercuitan lebih nyaring terdengar, dan kakek itu berseru gembira, tapi napasnya terengah-engah.

“Bagus, bagus! Nah, kalau sekali ini pendeta koplok itu dapat memecahkan jurusku Pek-hong-ci-kiam, dia benar-benar patut kau puja sebagai gurumu!”

Dengan napas terengah-engah kakek itu lalu melambaikan tangan, mengusir Yo Wan keluar dari kamarnya untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya.
Dengan hati sedih karena ketika meraba punggung tadi dia tahu bahwa kakek itu keadaannya amat payah,

Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala. Keadaan pendeta Nepal ini tidak lebih baik daripada Sin-eng-cu Lui Bok. lapun amat payah karena selain kekuatan tubuhnya makin mundur akibat luka dalam, juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo Wan. Ketika Yo Wan memasuki kamarnya dan mainkan jurus Pek-hong-ci-tiam, dia terkejut sekali dan sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian mengeluh.

“Hebat….. Sin-eng-cu Lui Bok hendak mengadu nyawa….”

Akan tetapi selanjutnya dia termenung, kedua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus itu, bicara perlahan seorang diri, mengerutkan kening dan akhirnya menggeleng kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat dengan tangan supaya Yo Wan keluar dari kamarnya, pemuda ini lalu mengundurkan diri dan masuk ke kamar sendiri karena waku itu malam sudah agak larut.

Menjelang fajar Yo Wan kaget mendengar suara Bhewakala memanggil namanya. la bangun dan cepat menuju ke kamar pendeta itu. Pintu kamarnya terbuka dan pendeta itu duduk diatas pembaringan. Cepat dia maju menghampiri.

“Yo Wan, jurus Sin-eng-cu ini hebat! Tak dapat aku menangkis atau mengelaknya…..” katanya dengan suara lesu.

Diam-diam Yo Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-eng-cu yang menang, seperti yang dia harapkan.

“Kalau begitu, Locianpwe menyerah…..” katanya perlahan.

Mata yang lebar itu melotot.
“Siapa menyerah? Karena Sin-eng-cu hendak mengadu nyawa, apa kau kira aku tidak berani? jurus itu memang tidak dapat kutangkis atau kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang istimewa pula. Mungkin aku mati oleh jurusnya, akan tetapi diapun pasti mampus kalau melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!”

Bhewakala lalu mengajarkan sebuah jurus sebagai imbangan daripada Pek-hong-ci-tiam. Kemudian pendeta itu menyuruh Yo Wan mainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat bukan main jurus ini. Cambuk melingkar-lingkar diatas udara kemudian melejit ke empat penjuru dengan suara nyaring sekali.

“Tar-tar-tar-tar-tar!”

Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga dalam kearah pusar lawan.

“Cukup! Lekas kau perlihatkan kepada Sin-eng-cu,” kata Bhewakala setelah dia merasa puas dengan gerakan Yo Wan.

Pemuda ini keluar dari kamar Bhewakala memasuki kamar Sin-eng-cu. Waktu itu matahari telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar kakek ini masih menyala.






No comments:

Post a Comment