Ads

Thursday, February 14, 2019

Jaka Lola Jilid 008

Bhewakala bangkit berdiri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba menjadi bongkok dan dia pringisan, menahan sakit. Juga Sin-eng-cu tertatih-tatih bangkit berdiri, namun dia juga tidak bisa berdiri tegak, kedua kakinya menggigil seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya.

Yo Wan bingung dan gugup sekali.
“Susiok-couw…… Locianpwe…… ji-wi (Kalian) sudah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap sudahi pertempuran ini…..!” Yo Wan berdiri diantara mereka berdua dengan sikap melerai.

“Ha-ha-ha, cucuku. Orang-orang macam kami berdua ini hanya nafsunya saja besar tapi tenaganya kurang, malah sudah habis tenaganya! Jangan khawatir, kami tak mungkin dapat bertempur lagi, akan tetapi kami belum dapat menentukan siapa lebih unggul. He, Bhewakala, apa kau siap melanjutkan adu ilmu?”

“Boleh!” jawab Bhewakala dengan suara digagah-gagahkan. “Kalau belum ada yang kalah menang, tentu penasaran dan kelak kalau sama-sama ke alam baka, tak mungkin dapat melanjutkan pertandingan.”

“Bagus, kau laki-laki sejati, seperti juga aku! Sekarang kita lanjutkan!”

“Majulah kalau kau masih kuat melangkah!” tantang Bhewakala.

“Ho-ho-ho, sombongnya si pendeta koplok! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa kaupun tidak sanggup maju selangkahpun? Ha-ha-ha, tertiup anginpun kau akan roboh. Kita melanjutkan ilmu, bukan kepalan. Ada Yo Wan disini, apa gunanya?”

Bhewakala tersenyum lebar, matanya yang besar itu berkedip-kedlp.
“Ha-ha-ha, kau benar, tua bangkotan. Ada Yo Wan, biarlah anak ini yang menjadi alat pengukur tingginya ilmu.”

“Yo Wan, cucuku! Kau benar sekali, jangan sudi menjadi murid pendeta koplok ini! Kalau kau tadi mau menerimanya, aku yang tidak sudi, tidak memperbolehkan. Tapi kau tentu mau menjadi alat kami untuk mengukur kepandaian, bukan? Kau harus menolong kami, kalau tidak, kami berdua takkan dapat mati meram.”

Yo Wan cepat berlutut di depan kakek itu.
“Susiok-couw, tak usah diperintah, teecu tentu bersedia menolong ji-wi. Katakanlah, apa yang harus teecu lakukan?”

Selagi Yo Wan berlutut itu, Sin-eng-cu bertukar pandang dengan Bhewakala dan saling memberi isyarat dengan kedipan mata.

“Yo Wan, lebih dulu bawa kami ke puncak. Sanggupkah kau?”

“Akan teecu coba.” Ia menghampiri Sin-eng-cu dan berkata, “Maaf, teecu akan menggendong Susiok-couw.”

Anak ini membungkuk di depan Sin-eng-cu, membelakanginya. Sin-eng-cu tidak sungkan-sungkan pula lalu menggemblok di punggung Yo Wan yang menggendongnya dan anak ini sendiri merasa heran, padahal tadinya dia meragu apakah dia akan kuat menggendong kakek itu.

Yo Wan terkejut dan diam-diam merasa girang sekali serta memuji kehebatan Susiok-couw ini, karena dia merasa yakin bahwa kakeknya ini tentu mempergunakan ginkang tingkat tinggi sehingga dapat membuat tubuhnya menjadi demikian ringannya! Dengan langkah lebar dan gerakan cepat dia lalu menyeberangi jurang melalui dua tambang, kemudian dia memanjat tangga tali itu keatas puncak.

“Harap Susiok-couw beristirahat disini lebih dulu, teecu akan menggendong Bhewakala Locianpwe kesini.”

“Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas) kepadamu?” tiba-tiba kakek itu bertanya kepada anak yang sudah akan lari keluar kembali dari dalam pondok itu.

Yo Wan berhenti, membalikkan tubuh dan menjawab dengan sinar mata tidak mengerti dan kepala digelengkan. Pertanyaan itu tak ada artinya bagi dirinya, akan tetapi mengingatkan dia akan burung rajawali emas yang dahulu pergi bersama kakek ini, maka dia cepat bertanya,

“Susiok-couw, mengapakah kim-tiauw (rajawali emas) tidak ikut pulang bersama Susiok-couw?”





“la sudah terlalu tua dan tidak kuat menghadapi hujan salju di utara, dia telah mati dan kukubur dalam tumpukan salju.”

Yo Wan merasa menyesal sekali sehingga untuk semenit dia diam saja termenung. Kemudian dla teringat akan tugasnya.

“Teecu pergi dulu, hendak menjemput Bhewakala Locianpwe.”

“Pergilah, tetapi kau harus waspada, siapa tahu pendeta Nepal itu di tengah jalan mencekik dan membunuhmu, ha-ha-ha!”

Yo Wah terkejut, akan tetapi hanya sejenak saja dia terpaku dan ragu-ragu, kemudian kakinya melangkah lebar dan dia sudah berlari keluar, terus menuruni puncak itu dan menyeberangi jurang pertama. Bhewakala masih berada disitu, duduk bersila. Pendeta hitam ini tersenyum lebar ketika dia melihat Yo Wan.

“Kau sudah kembali?”

Yo Wan mengangguk, lalu membelakangi pendeta itu sambil berjongkok.
“Harap Locianpwe suka membonceng di punggung, tapi saya harap Locianpwe sudi mempergunakan kepandaian ginkang seperti Susiok-couw tadi, kalau tidak, saya khawatir tidak akan kuat menggendong Locianpwe.”

Pendeta asing itu hanya mendengus, lalu merangkul pundak bocah ini dan menggemblok di punggungnya. Yo Wan bangkit berdiri dan diam-diam dia menjadi girang dan kagum. Kiranya pendeta inipun amat sakti, ginkangnya hebat sehingga tubuhnya yang jauh lebih besar dan tinggi daripada susiok-couwnya juga terasa ringan, hanya sedikit lebih berat daripada tubuh kakek tadi. Ia mulai melangkah maju setengah berlari ke depan.

“Yo Wan, kenapa kau mau menolong aku, seorang asing yang tidak kau kenal?” tiba-tiba pendeta Nepal itu bertanya.

“Suhu berpesan kepada saya bahwa menolong orang tak boleh melihat siapa dia, hanya harus dilihat apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan dan apakah kita dapat menolongnya. Locianpwe terluka, perlu beristirahat, dan saya dapat membawa Locianpwe ke puncak untuk beristirahat di pondok kediaman suhu, kenapa saya tidak mau menolong Locianpwe?”

Diam-diam Bhewakala kagum, bukan saja oleh jawaban ini, juga melihat betapa bocah ini dapat menggendongnya sambil berjalan cepat dan ketika menjawab pertanyaannya, napasnya tidak memburu, kelihatan enak saja. Ketika ia memandang kearah kedua kaki bocah itu, dia terkejut. Bocah itu menggunakan langkah-langkah yang luar biasa, kadang-kadang berlari diatas tumit, kadang-kadang dengan kaki miring!

“He, kau menggunakan langkah apa ini?” tak tertahan lagi Bhewakala bertanya nyaring.

Yo Wan menjadi merah mukanya. Karena selama lima tahun itu siang malam ,dia berlatih langkah-langkah Si-cap-it Sin-po, maka kalau dia berlari, tanpa dia sengaja kedua kakinya melakukan gerak langkah-langkah itu secara otomatis!

“Bukan apa-apa, Locianpwe, saya lari biasa,” jawabnya dan kedua kakinya kini berlari biasa.

Seperti juga dengan susiok-couwnya tadi, dia hendak membawa Bhewakala ke dalam pondok, akan tetapi pendeta Nepal ini tidak mau.

“Turunkan saja aku diluar sini, aku lebih senang duduk diluar menikmati pemandangan alam yang amat hebat dan indah ini.”

Yo Wan menurunkan pendeta itu diatas bangku di depan rumah dan Bhewakala duduk bersila disitu dengan wajah berseri gembira.

“Yo Wan! Pendeta koplok itu sudah datang? Hayo, bawa aku keluar!” terdengar teriakan Sin-eng-cu dari dalam pondok.

Yo Wan berlari masuk dan tak lama kemudian kakek tua itu sudah digendongnya keluar. Sin-eng-cu minta diturunkan diatas sebuah batu halus yang memang dahulu menjadi tempat duduknya. lapun bersila diatas batu ini, kurang lebih lima meter jauhnya dari bangku yang diduduki Bhewakala.

“Sin-eng-cu, cucu muridmu ini benar-benar membuat aku gembira sekali!” kata Bhewakala.

“Betapa tidak? Kalau tidak hebat ia bukan cucu muridku!” jawab Sin-eng-cu dengan nada suara bangga.

Yo Wan menjadi heran dan merasa malu. Yang hebat adalah mereka, pikirnya, biarpun sudah terluka hebat masih mampu mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka demikian ringannya ketika dia membawa mereka mendaki tangga tali tadi. Kalau tidak demikian, mana mungkin dia akan kuat?

Anak ini sarna sekali tidak tahu bahwa dua orang itu sama sekali tidak menggunakan ilmu untuk membuat tubuh mereka ringan. Hal ini tidak mungkin, apalagi mereka terluka hebat sehingga tak mampu mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang berhubungan dengan kekuatan di dalam tubuh.

Yang membuat dia merasa ringan ketika menggendong mereka bukan lain adalah karena kekuatan yang terkandung dalam tubuhnya sendiri. la telah melatih diri tujuh tahun dengan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kegesitan, di samping ini diapun dengan amat tekun berlatih samadhi dan pernapasan. Hawa murni di dalam tubuhnya sudah terkumpul, maka dia dapat mengerahkan tenaga besar luar blasa yang membuat dia dapat menggendong kakek-kakek itu secara mudah!

“Yo Wan, kau tadi berjanji hendak menolong kami dua orang-orang tua. Apakah kau betul-betul suka menolong?” tanya Bhewakala dengan pandang mata penuh gairah.

“Betul, Yo Wan, kau harus menolong kami melanjutkan adu ilmu sampai terdapat keputusan siapa yang lebih unggul.”

Yo Wan membungkuk,
“Susiok-couw, teecu siap menolong dan membantu, akan tetapi teecu seorang anak yang bodoh, mana bisa menjadi perantara dalam adu ilmu? Bagaimana caranya?”

“Mudah saja asal kau mau menolong. He, Bhewakala pendeta hitam! Di dalam pondok ini terdapat empat buah kamar cukup untuk kita seorang sekamar. Kita lanjutkan adu ilmu. Kau tinggallah di kamar kiri, aku di kamar kanan, biar Yo Wan di kamar lain. Kau kuberi kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Beritahukan jurus penyeranganmu kepada Yo Wan, dan kalau dia sudah memperlihatkan jurus itu, aku akan menghadapi dengan jurus pertahananku, lalu balas menyerang dengan jurus istimewa. Dua jurus itu kuberitahukan kepada Yo Wan yang akan menyampaikannya kepadamu. Kau harus dapat memecahkannya dan boleh balas menyerang. Siapa yang tidak dapat memecahkan sebuah jurus serangan, dia itu harus mengakui keunggulan lawan. Bagaimana?”

“Setuju! Itulah yang kukehendaki. Hayo mulai sekarang juga!”

“Yo Wan, kau mendengar perjanjian kami untuk mengadu ilmu? Maukah kau menolong, hanya menjadi perantara begitu?”

Yo Wan adalah seorang anak yang baru berusia tiga belas tahun. Apalagi dia kurang pengalaman, semenjak kecil berada di tempat sunyi mengejar ilmu dan bekerja, mana dia mampu menandingi kelihaian otak dua orang sakti ini?

Secara tidak langsung, selain dua orang itu dapat memuaskan hati mencari keunggulan dalam ilmu silat, juga mereka ingin sekali menurunkan kepandaian masing-masing kepada bocah yang sudah menalukkan hati dan cinta kasih mereka itu, Yo Wan menganggap mereka berdua ini kakek-kakek yang lucu dan aneh. Masa ada orang melanjutkan adu ilmu seperti itu? Seperti main-main saja. Keduanya sudah terluka masjh tidak mau terima, masih ingin melanjutkan terus, benar-benar gila, pikirnya.

“Kalau kau keberatan pun tidak apa,” sambung Sin-eng-cu, “kami bisa merangkak turun saling menghampiri, kemudian saling cekik sampai mampus disini!” sambil berkata demikian, Sin-eng-cu mengedipkan mata kepada Bhewakala.

“Jangan kira kau akan dapat mencekik leherku, Sin-eng-cu tua bangka bangkotan. Lebih dulu jari-jariku akan menusuk dadamu sampai bolong-bolong?” Bhewakala mengancam, juga tersenyum dan mengedipkan mata pula.

“Jangan…..! Harap ji-wi jangan berkelahi terus. Baiklah, saya akan mentaati permintaan ji-wi, menjadi perantara. Akan tetapi saya harap ji-wi betul-betul menghentikan adu ilmu ini kalau seorang diantara ji-wi ada yang tidak sanggup memecahkan sebuah jurus. Sekarang harap ji-wi sudi menanti sebentar, saya hendak menyediakan makanan.”

Tanpa menanti jawaban, Yo Wan lalu menuju ke ladang, memetik sayur-mayur, membawanya ke dapur dan memasak sayur-mayur dan ubi kentang. Pandai dia memasak setelah berlatih lima tahun selama ini dan disitu tersedia lengkap pula bumbu-bumbu yang dia tukar dari penduduk dusun dengan hasil ladangnya.

Di luar tahu Yo Wan, dua orang kakek itu berunding. Karena mereka amat suka kepada Yo Wan, dan maklum pula bahwa keadaan tubuh mereka sudah cacad akibat pertandingan semalam, agaknya tak mungkin dapat tertolong lagi karena Kwa Kun Hong tidak berada disitu, maka mereka mengambil keputusan untuk menurunkan ilmu-ilmu mereka yang paling iihai kepada Yo Wan.






No comments:

Post a Comment