Ads

Thursday, February 14, 2019

Jaka Lola Jilid 007

“Kalau kami saling serang, tentu berarti kami saling bermusuhan. Kenapa kau tidak membantu susiok-couwmu, malah menolong aku? Hayo jawab, apa maksudmu? Aku musuh susiok-couwmu, aku datang untuk memusuhi gurumu. Nah, kau mau apa?”

Yo Wan mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi mungkin kekasarannya itu karena bahasanya yang kaku.

“Locianpwe, saya tidak tahu urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya saya menjauhkan diri daripada permusuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk mendapat jasa. Saya lihat susiok-couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana harus menolongnya, maka saya segera membantu Locianpwe.”

Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis diatas bibir itu bergerak-gerak.

“Wah, suhumu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia suhumu? Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?”

“Suhu tidak berada disini, Locianpwe. Sudah lima tahun suhu pergi dari sini, ke Hoa-san. Yang berada disini hanya saya seorang diri.”

Mata yang kebiruan itu melotot, wajah itu berubah agak pucat.
“Celaka benar…..! Heee, Sin-eng-cu, celakai Kwa Kun Hong tidak berada disini!!”

Yo Wan menoleh dan melihat susiok-couwnya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh panjang.

“Maaf, Locianpwe, saya harus menolongnya.”

Orang asing itu mengangguk dan sekarang dia sudah bersila, kuat duduk sendiri. Yo Wan melepaskan rangkulannya dan tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok, cepat merangkul dan membangunkannya. Napas kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan.

“Wah, kau kan bocah yang dulu itu? Kau masih disini? Siapa namamu, aku lupa lagi.”

“Teecu (murid) Yo Wan , Susiok-couw…..”

“Ha-ha-ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini?”

“Sin-eng-cu, kita akan mampus disini. Pendekar Buta ternyata tidak berada disini lagi.”

Sin-eng-cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih.
“Apa??” la memandang Yo Wan. “Mana gurumu?”

“Susiok-couw, suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, pergi ke Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri disini. Tadi teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi.”

“Lima tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau menjadi muridnya hanya untuk dua tahun saja? Ha-ha-ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahun belum becus apa-apa. Ha-ha-ha, bukar main” Orang asing itu mencela dan mengejek.

Namun Sin-eng-cu tidak mempedulikannya.
“Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu Selama dua tahun itu?”

Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluarkan suara mengejek,

“Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tak usah takut, ada aku yang akan mehemanimu ke alam halus”

Akan tetapi Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersamadhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh, mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka iapun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani mengganggungnya. Ketika dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itupun sudah meramkan mata bersamadhi.





Yo Wan pernah mendengar keterangan Suhunya bahwa dengan hawa murni dalam tubuh yang sudah terlatih dengan samadhi, orang tidak hanya dapat memperkuat tubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam, maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, maka diapun lalu duduk bersila, menanti dengan sabar.

Para pembaca cerita “Pendekar Buta” ! tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang aneh yang suka merantau, dia adalah sute (adik seperguruan) dari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa Kun Hong. Tujuh tahun yang lalu dia meninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek aneh ini merantau ke bagian paling utara dari dunia, menjelajah daerah-daerah salju dan di tempat itulah burung rajawali emas yang sudah amat tua itu menemui kematiannya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali.

Ketika kakek ini kembali ke Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini adalah seorang pendeta yang sakti pula, tokoh dari barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Himalaya. Dia adalah seorang pendeta berbangsa Nepal yang banyak rneiakukan perantauan di Tiongkok.

Tujuh tahun yang lalu pernah dia bertanding dengan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak membunuhnya dan Bhewakala yang amat kagum terhadap Kun Hong ini, ia harus belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu.

Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu disitu. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribadi yang baik. Tentu saja mereka tidak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatangkan luka hebat.

“Takut apa dengan luka hebat?” kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak. “Bukankah Pendekar Buta berada disini? Kalau seorang diantara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan.”

Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga amat terkenal akan kepandaiannya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu menerima tantangan Bhewakala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun sedangkan Sin-eng-cu mempergukan pukulan-pukulan maut.

Dan seperti telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, namun tidak putus asa karena mereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat mengobati mereka. Dan mereka merasa lega di samping penasaran, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang!

Siapa sangka, Kun Hong tidak berada disitu! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklum bahwa luka yang diakibatkan oleh pukulan masing-masing itu tak mungkin dapat diobati kalau tidak oleh Kun Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan.

Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menjaga agar luka itu tidak menjalar lebih hebat, setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam.

Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tubuh dua orang aneh itu.

Namun, Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila seperti patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orang itu sudah menjadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi.

Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun sudah terusir habis, dua orang itu membuka mata dan menarik napas panjang. Malah keduanya saling pandang.

“Bagaimana, Sin-eng-cu?” Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.

“Hebat pukulan cambukmu, Bhewakala. Racun dapat kuhalau atau setidaknya kucegah untuk menjalar, akan tetapi pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada disini, tamatlah sudah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Tiap kali aku mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku terpukul dan kalau kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?”

Bhewakala menggeleng kepala.
“Kaupun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, akan tetapi menggetarkan pusat pengendalikan tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan dapat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?”

Kini keduanya merasa menyesal, namun sudah terlambat. Ketika mereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan masih bersila tak jauh dari situ, mereka tercengang.

“Kau masih berada disini?” Sin-eng-cu bertanya kaget.

Yo Wan mengangguk dan menghampiri kakek itu.

“Ha-ha-ha, Sin-eng-cu, bocah ini hebat. Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha-ha-ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau menjadi saksi, selama hidup aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ini aku ingin sekali meninggalkan kepandaianku kepada anak ini sebelum aku mampus.”

Sin-eng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhewakala Locianpwe, untungmu baik sekali.”

Yo Wan cepat berlutut di depan Bhewakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap,
“Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mulia dan kasih sayang Locianpwe kepada saya, akan tetapi saya tidak berani menerima menjadi murid Locianpwe, karena saya adalah murid suhu. Bagaimana saya berani mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?”

“Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, ada aku disini yang menjadi saksi!” kata Sin-eng-cu Lui Bok.

“Ha-ha-ha, anak baik, anak baik. ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murka dan tamak! Eh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?”

Yo Wan menggigit bibir, matanya dimeramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba dan merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak menjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata perlahan,

“Saya yatim piatu, Locianpwe….”

Kedua orang tua itu saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu bergulang-gulung dengan mega, tak berayah ibu pula, benar-benar mereka merasa kasihan

“Yo Wan, akupun tidak bermaksud mengambil murid kepadamu, hanya ingin meninggalkan atau mewariskan kepandaianku saja. Gurumu tentu takkan marah.”

“Mohon maaf sebesarnya, Locianpwe, Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum…..” suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu.

Tiba-tiba Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata,

“He! Bhewakala pendeta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana bisa dibandingkan dengan kau yang biarpun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikitpun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!”

“Huh, tua bangka tak tahu diri. Kau kira akupun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk mencari penentuan!”






No comments:

Post a Comment