Ads

Thursday, February 14, 2019

Jaka Lola Jilid 006

“Heh, kenapa menangis? Cengeng! Sejak dahulu kau sudah yatim piatu, kau si jaka lola (anak laki-laki yatim piatu), hidup di dunia seorang diri, mengapa bersedih hati ditinggal suhu dan subo? Ihhh, kalau subo melihatmu, kau tentu akan ditampar!”

A Wan tertawa kepada diri sendiri, tertawa bahagia karena teringat dia betapa selama dia berada disini, belum pernah dia dibentak Kun Hong atau ditampar Hui Kauw. Kedua orang itu amat baik kepadanya.

Mereka orang-orang mulia, aku tidak boleh mengganggu mereka. Harus kupelihara baik-baik tempat ini, kelak kalau mereka kembali, tempat ini telah bersih dan terjaga! Setelah berpikir demikian, anak ini bangkit dan lari berloncatan ke ladangnya, mukanya sudah jernih kembali dan dia tertawa-tawa melihat burung-burung kaget beterbangan oleh loncatannya itu.

Yo Wan selalu teringat akan nasihat suhunya. la tekun berlatih ilmu silat. Karena gurunya lebih mementingkan dasar ilmu silat, maka selama ini dia tidak banyak diajar ilmu pukulan, lebih diutamakan pelajaran pernapasan, samadhi dan mengatur jalan darah untuk menghimpun kemurnian hawa dalam tubuhnya.

Juga ilmu meringankan tubuh diajarkan lebih dulu oleh subonya, karena hal ini amat perlu baginya untuk naik turun puncak. Sebelum turun gunung suhunya mengajarkan ilmu langkah yang terdiri daripada empat puluh satu langkah. Langkah-langkah ini merupakan perubahan-perubahan dalam kuda-kuda dan jika dilatih terus-menerus, selain dapat mempertinggi kegesitan dan memperkokoh kedudukan, juga dapat memperkuat tubuh, terutama kedua kaki.

Suhunya hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini dapat dilatih terus-menerus sampai belasan tahun, makin terlatih makin baik dan kelak akan hebat kegunaannya. Kun Hong hanya memberi tahu bahwa langkah-langkah ini diberi nama Si-cap-it Sin-po (Empat puluh satu Langkah Sakti).

Tentu saja Yo Wan sama sekali tidak pernah mimpi bahwa langkah-langkah ini adalah langkah-langkah ajaib yang gerakan-gerakannya mencakup seluruh inti sari daripada gerakan ilmu silat, karena biarpun jurusnya hanya empat puluh satu, akan tetapi kalau dijalankan dan susunan jurusnya diubah-ubah, merupakan gerak jurus yang tak terhitung banyaknya!

Dua tahun sudah Yo Wan hidup seorang diri di puncak Liong-thouw-san. Tekun bekerja dan berlatih. Setiap hari dia mengharap-harapkan kedatangan suhu dan subonya, namun pengharapannya sia-sia belaka. Setelah lewat tiga tahun, belum juga kedua orang yang dikasihinya itu pulang. Ingin dia menyusul ke Hoa-san karena sudah amat kangen, akan tetapi dia takut kalau-kalau kedua orang itu akan menganggapnya kurang setia menanti.

la menanti terus, empat tahun, lima tahun! Waktu berjalan amat pesatnya, tanpa dia rasakan, lima tahun sudah dia hidup menyendiri di tempat sunyi itu. Dan kedua orang yang dinanti-nantinya belum juga pulang!

“Sudah amat lama aku menunggu, kenapa mereka belum juga pulang?”

Yo Wan termenung duduk diatas bangku depan pondok. Bukan bangku lima tahun yang lalu. Sudah ada lima kali dia mengganti bangku itu dengan bangku baru buatannya sendiri. Sudah penuh tiang pondok itu dengan guratan-guratannya. Setiap bulan purnama dia tentu menggurat di tiang. Tadi dihitungnya guratan-guratannya itu, sudah lebih dari enam puluh gurat!

“Besok aku menyusul ke Hoa-san,” demikian dia mengambil keputusan karena sudah tidak kuat menanggung rindunya lagi.

Malam itu sibuk dia menambal pakaianya yang robek-robek. Selama lima tahun ini, dia dapat mencari ganti pakaian ke dalam dusun di bawah gunung dengan jalan menukarkan hasil ladangnya yang berupa sayur-sayuran segar yang tak mungkin tumbuh di bawah puncak.

Dasar watak Yo Wan polos, jujur dan tidak murka, dia hanya memilih pakaian sekedarnya saja, bersahaja asal kuat. Yang membuat dia kesal menanti lebih lama lagi, sesungguhnya adalah kalau dia teringat akan pelajaran ilmu silatnya.

Enam puluh bulan lebih dia ditinggal gurunya, hanya ditinggali ilmu langkah yang sudah dia latih setiap hari sampai dia menjadi bosan. Padahal dia bercita-cita untuk mempelajari ilmu silat tinggi dari suhunya, karena dia masih ingat betul akan musuh besarnya, musuh besar yang menyebabkan kematian ibunya yang tercinta, The Sun!

Muka orang ini masih selalu terbayang di depan matanya, dan dia mendengar dari gurunya bahwa The Sun memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sekarang dia hanya diberi pelajaran langkah-langkah yang aneh, bagaimana mungkin dia dapat membalas kematian ibunya pada musuh besar yang lihai itu kalau dia hanya pandai melangkah?





la ingin menyusul untuk mohon diberi pelajaran ilmu silat selanjutnya, untuk bekal mencari musuh besar yang telah menyebabkan kematian ibunya yang mengerikan itu. Masih terbayang di depan matanya betapa ketika dia masih kecil, dia melihat ibunya menggantung diri, dengan susah payah dia tolong, akan tetapi ibunya tak tertolong lagi.

Masih bergema di telinganya akan pesan ibunya, agar supaya dia memenuhi dua buah permintaan ibunya, dua buah tugas yang selama hidupnya harus dia usahakan pelaksanaannya, yaitu pertama membalas budi kebaikan Kwa Kun Hong Pendekar Buta, kedua membalas dendam kepada The Sun (baca cerita Pendekar Buta)!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yo Wan sudah menutup pintu depan pondok dan berjalan keluar halaman. Di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan dia melangkah lebar menuju ke jurang dimana terdapat tangga tali itu.

Sebelum melangkahkan kaki ke tangga, dia memandang sekeliling seakan-akan merasa kasihan kepada puncak yang akan ditinggalkan. Tiga batang pohon cemara didepan pondok itu kini sudah besar, dia yang menanam semenjak suhu dan subonya pergi. Tadinya dia ingin sekali melihat suhu dan subonya memuji dan girang melihat tiga batang pohon yang indah itu, bahkan dia sudah memberi “nama” pada tiga batang pohon itu, nama suhunya, nama subonya dan namanya sendiri!

Setelah menarik napas partjang, Yo Wan lalu melangkah dan menuruni tangga tali dengan kecepatan yang amat luar biasa, seakan-akan dia melorot saja tanpa melangkah turun.

Setibanya di bawah, dia berlari-lari menuju ke jembatan pertama yang melintasi jurang lebar. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh sekali, suara mendesis-desis keras bercampur aduk dengan suara melengking tinggi. Suara itu datangnya dari seberang jurang pertama.

Cepat dia lalu meloncat keatas tambang dan berlari-lari menyeberang. Melihat bocah tiga belas tahun ini menyeberang dan jalan diatas tambang, benar-benar membuat orang terheran-heran dan ngeri, jurang itu dalamnya tak dapat diukur lagi. Tambang itu sama sekali tak bergerak ketika dia berlari di atasnya, dan hebatnya, anak ini berlari seenaknya saja, sama sekali tidak melihat kebawah lagi seakan-akan kedua kakinya sudah terlalu hafal dan dapat menginjak dengan tepat.

Setelah meloncat diatas tanah di seberang. Yo Wan dapat melihat apa yang menimbulkan suara aneh itu. Kiranya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh. Seorang diantaranya, yang berdesis-desis, adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus dan kulitnya hitam, rambutnya yang keriting itu terbungkus sorban kuning, telinganya pakai anting-anting hitam, juga kedua pergelangan tangan ketika bergerak dan keluar dari lengan baju yang lebar, tampak memakai sepasang gelang hitam.

Orang asing yang aneh sekali. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tangannya memegang cambuk kecil panjang dan agakpya cambuk inilah yang menerbitkan suara mendesis-desis aneh itu ketika digerakkan berputar-putar di udara.

Di depan orang bersorban ini tampak seorang kakek tua sekali, kakek yang agak bongkok, yang kadang-kadang terkekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking tinggi rendah menggetarkan lembah dan jurang. Kakek inipun bergerak-gerak, tapi tidak bersenjata, melainkan tubuhnya yang bergerak-gerak dengan tangan menuding dan menampar ke depan.

Yo Wan berdiri bengong. Biarpun dia murid seorang sakti seperti Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan orang bertanding. Apalagi kalau yang bertempur itu dua orang tingkat tinggi yang mempergunakan cara bertempur yang begini aneh, seperti dua orang badut sedang berlagak di panggung saja.

la masih menduga-duga, apakah yang dilakukan oleh dua orang itu, karena biarpun dia menduga mereka sedang bertempur, namun dia maslh ragu-ragu. Tiba-tiba pandang matanya kabur dan cepat dia menutup telinganya yang terasa perih ketika lengking itu makin meninggi dan desis makin nyaring.

Matanya dibuka lebar, namun tetap saja dia tidak dapat mengikuti gerakan mereka yang kini menjadi makin cepat. Beberapa menit kemudian, gerakan kedua orang aneh itu begitu cepatnya sehingga tubuh mereka lenyap dari pandangan mata Yo Wan yang hanya dapat melihat gulungan sinar yang berkelebatan.

Tiba-tiba sinar itu seperti pecah, gulungan sinar lenyap dan dia melihat dua orang itu rebah telentang, terpisah antara sepuluh meter keduanya terengah-engah dan terdengar mereka merintih perlahan.

“Bhewakala, kau hebat…..” Kakek tua itu berseru sambil terkekeh ketawa diantara rintihannya.

“Sin-eng-cu (Garuda Sakti), kau tua-tua merica, makin tua makin kuat…..” terdengar orang asing bersorban itupun memuji dengan suara terengah-engah dan nada suaranya kaku dan lucu.

Melihat kedua orang itu tak dapat bangun kembali, Yo Wan mengerti bahwa keduanya terluka. la cepat berlari menghampiri, keluar dari tempat persembunyiannya karena tadi dia mengintai dari balik batu gunung yang besar.

Tentu saja dia mengenal kakek itu. Sin-eng-cu Lui Bok, paman guru dari suhunya, yang dulu membawanya ke puncak Liong-thouw-san (baca Pendekar Buta) dan yang kemudian pergi merantau membawa kim-tiauw (rajawali emas) bersamanya.

“Susiok-couw….. (Kikek Paman Guru)!” serunya sambil meloncat mendekati.

Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok sudah tak bergerak-gerak lagi, malah napasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh kakek itu, namun tetap tak dapat menyadarkannya. Alangkah kagetnya ketika dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya.

Selagi dia dalam bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh. Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itupun mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu menghampirinya, dan berlutut di dekatnya.

Orang itu mukanya hitam, matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, akan tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang menyenangkan. Tanpa diminta, Yo Wan lalu membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepaskan segera akan terguling kembali, begitu lemas dia. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik kearah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.

“Dia susiok-couwmu? Jadi kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?”

Suaranya amat lemah, napasnya terengah-engah, agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti.

Yo Wan mengangguk, dan menjawab lantang,
“Betul Locianpwe (Orang Tua Gagah). Mengapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Dia terluka hebat, apakah Locianpwe terluka?”

Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras,

“Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couwmu yang pingsan itu?”

Diberondongi pertanyaan-pertahyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud sesuatu kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab,

“Sudah saya lihat keadaan susiok-couw, dia terluka dari leher ke perut, dia tidak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya, untuk menolong susiok-couw.”

Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis.
“Kau tadi melihat kami bertempur?”

Yo Wan mengangguk, tangannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.

“Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couwmu, musuh gurumu?”

Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.






No comments:

Post a Comment