Ads

Wednesday, February 13, 2019

Jaka Lola Jilid 005

Kita tinggalkan dulu keluarga di puncak Go-bi-san yang sedang dicekam kedukaan itu dan marilah klta menengok Pendekar Buta, orang yang menjadi sebab timbulnya peristiwa menyedihkan di puncak Go-bi-san.

Para pembaca cerita “Pendekar Buta” tentu tahu siapakah pendekar yang cacat ini, seorang tuna netra (buta) yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat sehingga orang sakti seperti Hek Lojin dapat dibuntungi lengan kirinya.

Pendekar Buta adalah putera dari ketua Hoa-san-pai yang sekarang sudah sangat tua dan disebut Kwa Lojin. Adapun Pendekar Buta sendiri bernama Kwa Kun Hong. Seperti telah diceritakan dalam cerita “Pendekar Buta” yang ramai, setelah selesai pertempuran dan perang saudara antara Pangeran Kian Bun Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo dimana Pendekar Buta membela Raja Muda Yung Lo sehingga mencapai kemenangan, Pendekar Buta lalu menikah dengan Kwee Hui Kauw, seorang gadis perkasa puteri Kwee-taijin yang semenjak kecil diculik oleh Ching-toanio dan dididik ilmu silat di Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau).

Setelah menikah, Kun Hong bersama isterinya mendiami puncak Liong-thouw-san, puncak gunung dimana dahulu dia menerima warisan ilmu dari seorang sakti bernama Bu Beng Cu, ditemani oleh seekor burung rajawali berbulu emas. Yang ikut ke Liong-thouw-san bersama suami isteri ini adalah seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang menjadi muridnya. Siapakah anak laki-laki ini?

Dalam cerita “Pendekar Buta” sudah dituturkan dengan jelas bahwa anak laki-laki yang menjadi murid Kun Hong ini adalah Yo Wan atau biasa dipanggil A Wan. Dia anak keluarga petani sederhana, ayahnya tewas disiksa kaki tangan tuan tanah di dusunnya, sedangkan ibunya mati membunuh diri setelah membiarkan dirinya diperkosa oleh The Sun dalam usahanya menolong keselamatan Kun Hong yang ketika itu terluka di dalam rumahnya. Karena pertolongan yang mengorbankan kehormatan dan nyawa inilah maka Kun Hong merasa berhutang budi kepada ibu Yo Wan dan dia lalu membawa anak yatim piatu ini sebagai muridnya.

Yo Wan seorang anak yang amat cerdik. Dengan tekun dia mempelajari semua ilmu yang diturunkan oleh Kun Hong kepadanya dan setiap hari anak ini tidak mau bersikap malas. Ia rajin sekali melayani segala keperluan gurunya dan ibu gurunya. Mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai, membersihkan pondok, malah kelebihan waktu dia pergunakan untuk menanam sayur-mayur dan memeliharanya, juga segala keperluan Kun Hong dan isterinya jika membutuhkan sesuatu ke bawah gunung, dialah yang turun dari puncak dan pergi ke dusun-dusun. Pendeknya, Yo Wan amat rajin dan patuh sehingga tidaklah mengherankan apabila Kun Hong dan isterinya Hui Kauw, amat mencinta anak itu.

Dua tahun setelah menikah, Hui Kauw mengandung. Kun Hong yang amat mencinta isterinya, merasa khawatir. Dia sendiri seorang buta, sungguhpun dia ahli dalam hal pengobatan, namun belum pernah dia menolong wanita melahirkan dan tidak pernah pula dia mempelajari dalam kitab pengobatan. Tempat tinggal mereka di puncak Liong-thouw-san yang tersembunyi dan jauh dari tetangga. Bagaimana kalau sudah tiba saatnya isterinya melahirkan?

“Sebaiknya kita pindah saja ke Hoa-san, isteriku,” kata Kun Hong setelah isterinya mengandung tiga bulan lamanya.

Hui Kauw mengerutkan alisnya yang kecil melengkung panjang dan hitam. Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju. Ia cukup maklum bahayanya hidup berdekatan dan tinggal bersama sanak keluarga. Mudah sekali terjadi bentrokan. Gedung besar orang lain kadang-kadang merupakan neraka, sebaliknya gubuk kecil milik sendiri adalah sorga, apalagi di dekatnya ada suami yang tercinta. Namun, ia maklum pula bahwa suaminya mengusulkan hal ini karena mengingat akan kepentingan dan keselamatannya.

“Suamiku, perlukah kita pindah sejauh itu? Kurasa, kalau sudah sampai saatnya kita bisa minta bantuan seorang nenek dari dusun di bawah.” la mencoba untuk membantah.

Kun Hong memegang tangannya, mesra.
“Hui Kauw, alangkah akan gelisah hati kita kalau saat itu tiba dan disini tidak ada orang lain kecuali kau, aku A Wan dan seorang nenek pembantu. Sebaliknya, hati kita akan besar dan tenang, apalagi kau melahirkan di tengah-tengah keluargaku, keluarga besar Hoa-san-pai, dimana terdapat banyak paman dan bibi yang berpengalaman, juga dekat dengan orang tua. Selain itu, kita harus memikirkan juga pertumbuhan anak kita kelak. Tentu kau tidak ingin anak kita tumbuh besar di tempat sunyi seperti ini. Aku ingin anak kita hidup bahagia, gembira setiap hari dan disayang banyak orang.”

Hui Kauw amat nnencinta suaminya, juga amat taat. Oleh karena itu ia tidak mau membantah. Akan tetapi ketika teringat akan A Wan ia bertanya,

“Bagaimana dengan A Wan?”

“Tentu saja dia ikut! Mana bisa tinggalkan dia disini seorang diri?”





Di dalam hatinya, Hui Kauw mengkhawatirkan keadaan murid itu. la cukup mengenal watak A Wan setelah anak itu tinggai disitu selama dua tahun. Anak itu pendiam dan taat, akan tetapi mempunyai watak yang amat halus. Belum tentu anak itu akan merasai kebahagiaan di Hoa-san-pai, karena merasa bahwa dia menumpang pada gurunya, sekarang gurunya sendiri akan menumpang di tempat orang lain.

“Apakah dia suka?” tanyanya ragu-ragu.

“Ha-ha-ha, isteriku, kenapa tidak akan suka? Coba panggil dia kesini.”

A Wan segera datang berlari ketika ia mendengar suara guru dan ibu gurunya memanggil. Anak ini biarpun usianya baru delapan tahun lebih, namun tubuhnya tegap dan kuat, berkat kerja setiap hari di sawah ladang. la cekatan sekali, wajahnya lebar dan terang, matanya memiliki sinar mata yang sayu tapi kadang-kadang mengeluarkan sinar yang tajam. Dengan amat hormat anak ini menghadap suhunya.

“A Wan, kau bersiaplah. Kita akan pindah ke Hoa-san-pai, ke rumah kakek gurumu, ayahku yang menjadi ketua Hoa-san-pai,” kata Kun Hong singkat.

Berubah wajah A Wan dan hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Hui Kauw.
“Bagaimana, A Wan? Kenapa kau diam saja?”

Sedih hati A Wan. la merasa bahagia hidup di Liong-thouw-san. la merasa bahwa tempat itu adalah tempat tinggalnya dan dia amat sayang kepada tempat yang sunyi itu. la merasa bahagia dapat melayani kedua orang itu yang dia anggap sebagai pengganti orang tuanya, bahagia dapat belajar ilmu silat dari orang yang sejak dahulu dia anggap sebagai bintang penolongnya. Tapi sekarang, gurunya mengajak dia pindah dan gurunya akan mondok di rumah orang lain!

“Suhu….. tempat ini….. siapa yang akan mengurusnya? Kalau kita semua pergi….. tempat ini tentu akan rusak…..” Suaranya agak gemetar.

Kun Hong menarik napas panjang. lapun tahu bahwa biarpun usianya masih kecil, namun A Wan sudah mempunyai pandangan yang jauh dan penuh pengertian, maka tak boleh dia diperlakukan sebagai anak kecil.

“A Wan, kau harus tahu bahwa ibu gurumu membutuhkan bantuan sanak keluarga kalau adikmu lahir. Untuk sementara tempat ini kita tinggalkan, kelak kita tentu dapat datang menengok.”

Wajah A Wan berubah gembira.
“Suhu, kalau begitu, biarlah teecu (murid) tinggal disini merawat tempat ini. Kelak kalau Suhu dan Subo (Ibu Guru) kembali kesini, tempat ini masih dalam keadaan baik. Pula, tanpa adanya teecu yang mengganggu perjalanan, Suhu dan Subo akan dapat melakukan perjalanan yang lebih cepat.”

Anak yang berpemandangan jauh, pikir Kun Hong kagum. Memang dengan adanya A Wan, mereka berdua takkan dapat mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menggendong anak itu.

“Tapi, mungkin kami akan lama disana, entah kapan dapat kembali kesini.” katanya meragu.

“Setahun dua tahun bukan apa-apa, Suhu. Teecu dapat menjaga diri sendiri dan merawat tempat ini. Sayur-mayur cukup, sebagian dapat teecu tukar gandum dan beras dengan penduduk di bawah. Kelak kalau Suhu dan Subo kembali membawa….. adik yang sudah berusia setahun lebih, wah, alangkah akan senangnya…..!”

Kun Hong adalah seorang yang suka mendengar kegagahan dan keberanian. Sikap muridnya ini benar-benar mengagumkan hatinya bukan sikap seorang anak kecil yang cengeng merengek-rengek. Biarlah dia digembleng oleh alam, merasakan hidup sendiri tanpa sandaran. Biarlah dia belajar hidup sendiri, karena hal ini akan memupuk rasa percaya kepada diri sendiri. Malah sebaliknya dia ingin melihat ketekunan muridnya itu, bagaimana nanti hasil latihan-latihannya selama dua tahun tanpa pengawasan.

Bagaimana, isteriku, apakah kau setuju dengan permintaan A Wan untuk tinggal disini?”

la mengerti betapa isterinya amat sayang pula kepada A Wan maka tak mau dia melewati isterinya.

“Kalau dia menghendaki demikian, kurasa baik kita setuju. Pula, memang sayang kalau tempat kita ini menjadi rusak. Kelak kita kembali kesini dan tempat ini dalam keadaan baik. Aku setuju.”

Di dalam hatinya, Hui Kauw amat kasihan kepada A Wan, akan tetapi nyonya muda ini beranggapan bahwa kalau A Wan masih ditinggal disitu, sudah pasti suaminya kelak akan kembali ke Liong-thouw-san. Dan inilah yang ia inginkan!

Kun Hong tertawa.
“Baiklah, A Wan. Kau tinggal disini dan kau harus melatih diri dengan jurus-jurus yang sudah kuajarkan kepadamu. Latihan samadhi juga harus kau latih dengan tekun. Aku ingin mendengar tentang kemajuanmu beberapa tahun kemudian. Andaikata sudah lewat dua tahun aku tidak datang kesini, dan kau merasa kangen, kau boleh sewaktu-waktu melakukan perjalanan ke Hoa-san-pai seorang diri menyusul kami.”

“Anak sekecil ini…..?” Hui Kauw mencela, kaget.

Kun Hong tertawa,
“Beberapa tahun lagi dia sudah berusia belasan tahun, dan biarpun masih kecil, apa artinya melakukan perjalanan dari sini ke Hoa-san bagi seorang murid kita? Ha-ha-ha, kau tentu akan berani bukan?”

“Tentu saja, Suhu! Subo, harap jangan khawatir. Teecu dapat menjaga diri dan kalau teecu kangen dan Suhu berdua belum pulang, teecu akan menyusul ke Hoa-san!”

Dernikianlah, setelah memilih hari baik, Kun Hong dan Hui Kauw meninggalkan Liong-thouw-san menuju ke Hoa-san, meninggalkan Yo Wan yang mengantar guru dan ibu gurunya sampai ke kaki gunung.

Beberapa kali Hui Kauw menoleh dan sepasang mata nyonya muda yang cantik ini berlinang air mata ketika dia melihat dari jauh tubuh Yo Wan masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dengan kedua tangan di belakang, sesosok bayangan bocah yang biarpun masih kecil sudah membayangkan keteguhan hati yang luar biasa dan nyali yang besar.

Sefelah suhu dan subonya lenyap dari pandang matanya, barulah A Wan merasa sunyi dan kosong rongga dadanya. Namun dia menekan perasaannya dan mendaki puncak Liong-thouw-san. Dahulu, puncak ini tak mungkin dapat dinaiki orang, apalagi orang biasa atau seorang anak kecil seperti A Wan. Akan tetapl, semenjak Kun Hong dan isterinya bertempat tinggal disitu, suami isteri pendekar yang memiliki kesaktian ini telah membuat jalan menuju ke puncak. Bukan jalan biasa melainkan jalan yang juga amat sukar karena harus melalui dua buah jurang lebar dan amat dalam yang mereka pasangi jembatan berupa dua buah tali besar dan kuat.

Untuk menyeberangi jembatan-jembatan istimewa diatas dua buah jurang lebar ini orang harus berjalan diatas dua utas tali ini tanpa pegangan! Hanya orang-orang yang memiliki ginkang dan nyali besar saja berani menyeberangi jembatan istimewa ini. Kemudian, setelah mendekati puncak, untuk mencapai dataran puncak itu jalan satu-satunya hanya memanjat sebuah tangga terbuat daripada tali pula, tingginya seratus kaki dan amat terjal.

Tentu saja memanjat tangga ini lebih mudah karena kedua tangan dapat berpegangan, akan tetapi juga membutuhkan nyali yang cukup besar di samping syaraf membaja. Namun, bagi Yo Wan semua ini bukan apa-apa lagi, sudah terbiasa dia oleh jembatan-jembatan dan tangga ini. Semenjak berusia enam tahun dia sudah dapat mempergunakan alat-alat penyeberangan itu.

Biarpun baru berlatih silat dua tahun lamanya, namun berkat bimbingan dua orang yang memiliki kepandaian tinggi, Yo Wan sudah memperoleh kemajuan lumayan. Gerak-geriknya gesit, napasnya panjang, daya tahan tubuhnya luar biasa dan dia sudah kuat bersamadhi sampai setengah malam lamanya. Hebat dan luar biasa bagi seorang anak laki-liaki yang belum sembilan tahun usianya!

Yo Wan memang seorang anak yang berhati teguh dan memiliki ketekadan hati yang besar. Memang tadinya dia merasa kesunyian, begitu dia tiba di pondok suhunya dan melihat betapa tempat itu kosong, sekosong hatinya, dia terduduk diatas bangku depan pondok dan termenung.

Ketika matanya terasa panas oleh desakan air mata, dia menggigit bibirnya dan menggeleng-gelengkan kepala, melawan perasaannya sendiri. Oleh gerakan kepala ini, dua titik air mata yang tadinya menempel di bulu matanya, meluncur turun melalui pipi, terus ke ujung kanan kiri bibir. la menyecapnya. Rasa asin air matanya membuat dia sadar.






No comments:

Post a Comment