Ads

Wednesday, February 13, 2019

Jaka Lola Jilid 004

“Sekarang kau sudah memiliki dua ilmu itu, kenapa tidak mencari dia dan balas membuntungi lengannya?”

Karena semenjak kecil berada di puncak Go-bi dan tidak pernah menyaksikan sepak terjang Hek Lojin terhadap orang lain, hanya sehari-hari menyaksikan sikap kakek itu terhadapnya amat baik dan mencinta, tentu saja Siu Bi juga menganggap kakek ini orang yang amat mulia dan baik hatinya.

Kembali Hek Lojin menarik napas panjang, tampak berduka. “Aku sudah makin tua, usiaku sudah delapan puluh lebih, sudah lemah, tenaga sudah hampir habis, mana mampu membalas dendam? Musuhku itu sekarang paling banyak setua ayahmu, malah lebih muda lagi, masih sedang kuat-kuatnya. Selain itu, dengan hanya sebuah lengan, mana aku dapat menang? Untuk melawan ilmu pedangnya, dengan pedang yang bersem-bunyi dalam tongkat, dan menghadapi ilmu pukulannya yang mengeluarkan uap putih, harus mainkan Cui-beng-kiam-hoat dan sekaligus tangan kiri mainkan Hek-in-kang. Bagiku tiada harapan lagl, harus kutelan kekalahan dan penghinaan ini dan aku akan mati dengan mata terbelalak kalau tidak ada orang yang dapat membalaskan dendamku.”

“Hemmm, kalau begitu, kau mau menurunkan kedua ilmu itu kepadaku dengan syarat bahwa aku harus membalaskan dendammu terhadap Pendekar Buta itu, Kek?”

Dengan lengan kanannya, Hek Lojin memeluk pundak cucunya.
“Siu Bi, kau benar-benar menggembirakan hatiku. Kau cerdik, kau pintar, kau tahu akan isi hatiku. Benar, cucuku, kau bersumpahlah bahwa kelak kau akan membalaskan hinaan atas diriku ini kepada Pendekar Buta dan sekarang juga aku akan wariskan kedua ilmu itu kepadamu.”

“Kong-kong, tanpa hadiah apapun juga, sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan sakit hatimu. Terlalu sekali Pendekar Buta. Sudah buta matanya, buta pula hatinya, menghina orang sesukanya. Lengan orang dibuntungi, hemmm, padahal kau seorang tua yang baik dan tidak berdosa, apa dikiranya dia seorang saja yang paling pandai di dunia ini? Jangan khawatir Kek, aku bersumpah, kelak kalau ada kesempatan tentu aku akan membuntungi lengan kirinya, persis seperti yang telah dia lakukan kepadamu.”

“Orang hutang harus ada bunganya, Siu Bi. Keenakan dia kalau hanya dibuntungi lengan kirinya seperti aku, harus ada tebusan bagi penderitaanku belasan tahun ini. Tidak hanya dia, juga kalau dia mempunyai anak, anak-anaknya harus kau buntungi pula lengan kirinya.”

“Bapaknya jahat anaknya pun tentu jahat. Baik, Kek, akan kutaati permintaanmu itu.”

Bukan main girangnya hati Hek Lojin dan semenjak hari itu dia menurunkan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang kalau dimainkan dengan sempurna, dari tangan si pemain akan keluar uap kehitaman yang mengandung racun

Tanpa ia sadari, gadis yang bersih itu dikotori oleh ilmu silat yang mengandung ilmu hitam, tidak ini saja, malah di hatinya telah ditanamkan bibit permusuhan yang hanya dapat dipuaskan dengan aliran darah dan buntungnya lengan entah berapa orang banyaknya!

Tidak mudah mewarisi dua macam ilmu itu. Biarpun Siu Bi sudah mempunyai dasar yang kuat, namun untuk memahami dua buah ilmu itu ia harus berlatih sampai setahun lebih lamanya!

Bukan main cepatnya kemajuan gadis Itu setelah ia mewarisi dua macam ilmu silat ini dari kakeknya. The Sun sama sekali tidak tahu akan hal ini, karena kakek dan gadis itu tidak memberi tahu kepadanya. Memang keduanya merahasiakan hal ini dan The Sun sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu telah menciptakan ilmu silat yang demikian hebat dan dahsyat.

Pada suatu senja, secara iseng-iseng ayah ini mengintai kamar anaknya, karena dia merasa heran mengapa sekarang sore-sore gadis itu sudah masuk ke kamar sehabis makan sore. Alangkah heran-nya ketika dia melihat gadis itu berjungkir balik diatas tempat tidurnya, kepala diatas kasur dan kedua kaki lurus keatas, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak aneh.

Yang amat mengagetkan hatinya adalah cara gadis itu berlatih pernapasan, mengapa secara berjungkir seperti itu? Diam-diam dia merasa heran, akan tetapi dia tidak mau mengganggu, hanya mengintai terus sampai jauh malam. Ketika menjelang tengah malam anaknya itu melompat keluar jendela secara diam-diam dan pergi ke pekarangan belakang. The Sun mengikutinya dengan hati tidak enak.

la melihat anaknya itu mencabut pedang dan bersilat di bawah sinar bulan purnama. Bukan main hebatnya. The Sun melongo ketika menyaksikan betapa pedang itu bergulung-gulung mengeluarkan hawa dingin dengan sinar menghitam, kemudian dia makin kaget ketika tangan kiri anaknya itu diputar-putar dan digerakkan sedermkian rupa sehingga mengeluarkan uap berwarna hitam pula!

Tiba-tiba muncul bayangan hitam yang dikenal oleh The Sun biarpun keadaan remang-remang, karena orang ini bukan lain adalah Hek Lojin. Kakek itu keluar sambil tertawa bergelak,

“Bagus, bagus! Kau malah lebih hebat daripada aku sepuluh tahun yang lalu. Cucuku yang pintar, cucuku yang manis, kaulah yang akan membikin aku dapat mati meram. Sekarang tinggal aku menagih janji, kau harus memermhi janji dan sumpahmu.”





“Dimana adanya Pendekar Buta itu, Kek?”

“Ha-ha-ha, dia manusia sombong itu berdiam di puncak Liong-thouw-san. Dia sebetulnya putera ketua Hoa-san-pai. Kau cari dia di Liong-thouw-san, kalau tidak ada susul ke Hoa-san-pai, buntungi lengannya dan lengan isterinya, juga lengan anak-anaknya. Ha-ha-ha, aku akan mati meram.”

Tiba-tiba The Sun melompat keluar, bulu tengkuknya berdiri.
“Suhu (guru)! Siu Bi! Apa artinya ini semua? Dari mana kau mendapatkan ilmu setan itu?”

“Ayah, ilmu warisan Kong-kong bagaimana kau berani menyebutnya ilmu setan?”

The Sun makin tercengang, lalu memandang kakek itu yang diam saja.
“Suhu, benarkah Suhu yang mewariskan kedua ilmu itu?”

“Hemmm, betul, Ilmu Pedang Cui-beng-kiam-hoat adalah perubahan dari ilmu tongkat hitamku dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang itu adalah inti sari Iweekang yang kupelajari. Kedua ilmu ini perlu untuk menghadapi kepandaian Kun Hong si manusia buta.”

“Suhu!!”

The Sun berseru keras, kemudian dia berpaling kepada Siu Bi sambil membentak keras.

“Hayo kau kembali ke kamarmu!”

Bentakan ini ketus dan marah. Siu Bi selama hidupnya belum pernah dibentak seperti ini oleh ayahnya, maka dia terisak menangis sambil berlari masuk ke kamarnya! Akan tetapi, gadis yang amat cerdik ini tentu saja tidak merasa puas kalau harus menangis begitu saja.

Siu Bi amat penasaran dan diam-diam ia mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk keluar lagi dari dalam kamarnya, berindap-indap mengintai dan mendengarkan percakapan antara kakeknya dan ayahnya. Dan apa yang ia dengar malam itu baginya merupakan tusukan-tusukan pedang beracun yang berkesan hebat dan menggores dalam-dalam di kalbunya.

“Suhu,” la mendengar ayahnya mencela, “bagaimanakah Suhu mempunyai niat yang begitu berbahaya? Mengapa Siu Bi Suhu bawa-bawa, Suhu seret kedalam gelombang permusuhan pribadi? Saya nnenyesal sekali, karena menurut pendapat teecu (murid), permusuhan dengan Pendekar Buta bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan permusuhan karena negara. Teecu tidak suka dia diseret ke dalam permusuhan Suhu itu, malah teecu mempunyai keinginan untuk menjodohkan dia dengan seorang diantara para ksatria dari Hoa-san-pai atau Thai-san-pai, agar keturunan teecu kelak menjadi orang-orang gagah perkasa yang terhormat dan membuat nama besar di dunia.”

“Huh, The Sun. Kau sekarang mau pura-pura menjadi orang alim? Apa kau tidak melihat lenganku yang buntung ini? Apakah sakit hati ini harus didiamkan saja’? Bukankah ini berarti merendahkan nama besar Go-bi-san? The Sun, mana kegagahanmu? Mana baktimu terhadap guru? Ah, dia lebih gagah dari padamu, lebih setla dan berbakti!”

“Suhu, terang bahwa Pendekar Buta bukan musuh teecu. Andaikata teecu tidak akan yakin betul bahwa teecu takkan mampu menandinginya, tentu teecu sudah lama mencarinya untuk diajak bertanding. Kalau memang Suhu begitu menaruh dendam kepadanya, mengapa tidak Suhu sendiri turun gunung, mencarinya dan menantangnya? Masa gadis remaja seperti dia disuruh turun gunung? Teecu tidak setuju dan tidak boleh!” Suara The Sun mengeras.

“Hemmm, kau murid durhaka Aku sudah begini tua, bagaimana dapat membalas dendam sendiri? Apa artinya punya murid? Apa artinya menurunkan kepandaian? Kau sendiri dulu kalau tidak lekas-lekas kubawa lari, apakah juga tidak akan mampus di tangan Pendekar Buta? Sekarang, Siu Bi suka membalaskan dendam, mengapa kau ribut-ribut? Kalau kau tidak becus membalas budi guru, biarlah dia yang pergi. Kau tidak mau ya sudah, tapi dia mau, perlu apa kau ribut lagi?”

“Tapi dia puteriku, Suhu. Dia anak tunggal…… seorang gadis lagi…..”

“Siapa bilang dia puterimu? Ha-ha-ha, dia bukan anakmu!”

“Suhu…..!!!”

“Ha-ha-ho-ho-ho, kau kira Hek Lojin sudah pikun dan bermata buta? Ha-ha-ha, The Sun, tentu saja aku tahu. Tapi aku tidak akan membuka mulut kepada siapapun juga, asal kau membiarkan dia membalaskan dendam terhadap Pendekar Buta.”

“Tidak! Tidak boleh…..! Suhu, jangan suruh dia!”

“Ha-ha-ha, dia sudah bersumpah, tak mungkin menjilat ludah sendiri, tak mungkin keturunan jago Go-bi mengingkari Janji.”

“Teecu akan melarangnya!” teriak The Sun, kemarahannya memuncak.

“Aku akan memaksanya, mengingatkan dia akan sumpahnya!” Hek Lojin bersikeras.

“Kau….. kau jahat…..!”

The Sun lupa diri dan menerjang kakek itu. Hek Lojin cepat menangkis, akan tetapi karena dia sudah amat tua, sudah hampir sembilan puluh tahun usianya, tangkisannya kurang kuat dan gerakannya kurang cepat.

“Bukkk….. bukkk!” Dua kali dadanva terpukul oleh The Sun dan dia terguling roboh.

“Ayahhh…..!’!”

Siu Bi meloncat dan berlari menghampiri. Sebutan ayah tadi tercekik di tenggorokannya karena la teringat akan kata-kata Hek Lojin bahwa dia bukan anak The Sun! Akan tetapi pada saat itu ia tidak peduli dan menubruk Hek Lojin yang rebah terlentang. Kakek itu terengah-engah, memandang kepada Siu Bi dengan mata mendelik, lalu….. nyawanya melayang napasnya putus. la tewas dalam pelukan Siu Bi, akan tetapi matanya tetap mendelik memandang gadis itu.

“Kong-kong…..!”

Siu Bi menangis dan memeluki kakek itu yang mencintanya semenjak ia masih kecil. Didekat telinga kakek yang sudah mati itu la berbisik perlahan,

“Aku akan balaskan dendammu, Kek…..”

Bisikan campur isak ini tidak terdengar oleh The Sun yang berdiri seperti patung dengan muka pucat. Akan tetapi anehnya, kedua mata yang mendelik dari kakek itu tiba-tiba kini tertutup rapat setelah Siu Bi berbisik. Hal ini terlihat oleh Siu Bi, dibawah sinar bulan. la terharu dan menangis lagi, menggerung-gerung.

The Sun menyesal bukan main, namun penyesalan yang sudah terlambat. Betapapun juga, hatinya lega karena rahasia tentang Siu Bi yang entah bagaimana telah diketahui oleh Hek Lojin itu, sekarang tertutup rapat-rapat. Sama sekali tidak menduga bahwa Siu Bi telah mendengarkan percakapan tadi!

Baru The Sun tahu akan hal ini ketika pada malam hari setelah jenazah Hek Lojin dikubur, secara diam-diam Siu Bi telah minggat tanpa pamit, meninggalkan puncak Go-bi-san!

Tentu saja hal ini membuat The Sun hancur hatinya dan lebih-lebih ibu Siu Bi amat berduka sehingga berkali-kali ia jatuh pingsan. The Sun menghibur isterinya dengan janji bahwa mereka juga akan turun gunung setelah masa berkabung habis, untuk mencari anak mereka yang tercinta itu.

Suasana bahagia di puncak ini seketika berubah menjadi penuh kedukaan. Siapa kira, kehidupan yang serba bahagia itu sekaligus hancur berantakan. Memang begitulah keadaan hidup di dunia ini!

**** 004 ****





No comments:

Post a Comment