Ads

Monday, January 28, 2019

Pendekar Buta Jilid 067

Sekali lagi terpaksa Loan Ki meramkan mata. Kali ini ia tidak menbuang muka karena sedang asyik menggerogoti paha harimau, akan tetapi ia meramkan mata rapat-rapat ketika melihat betapa laki-laki itu meloncat keluar dari dalam air sambil mengeluarkan suara yang tak dimengertinya, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentu memaki-maki.

Geli juga hatinya dan sejenak kemudian ia mengintai dari balik bulu matanya yang panjang. Belum berani ia membuka matanya dan mata kiri yang dibuka sedikit saja itu siap ditutup kembali cepat-cepat kalau orang aneh itu masih juga belum berpakaian.

Akan tetapi setelah mengintai dari balik bulu mata, ia menjadi lega dan dibukanya sepasang mata yang lebar dan jelita itu terbelalak. Ia melihat betapa laki-laki aneh itu sudah berpakaian, malah bajunya sedang dipakai. Dia marah-marah memaki-maki dengan bahasa asing itu, menuding-nuding kearah rombongan Lauw Teng dan kearah api unggun yang sudah mulai padam dimana tadi paha harimau dipanggangnya.

Lauw Teng dan rombongannya agaknya juga bingung menghadapi orang yang tidak dimengerti bahasanya itu. Tiba-tiba seorang anak buah perampok itu berseru,

“Wah, dia orang Jepangl Dia tentu bajak laut Jepang, entah bagaimana bisa kesasar kesini!”

Ramai mereka bicara dan semua orang sudah mencabut senjata untuk mengeroyok bajak laut Jepang yang selalu dimusuhi oleh semua orang itu.

Mendadak orang aneh itu bicara dalam bahasa daerah yang kaku, akan tetapi cukup jelas dan lancar,

“Tutup mulut! Enak saja kalian menyangka orang. Aku memang orang Jepang, akan tetapi sama sekali bukan bajak laut!”

Tiba-tiba matanya memandang kearah belakang rombongan dimana terdapat beberapa orang wanita yang dibelenggu kedua tangannya dan ujung rantai panjang dipegang oleh beberapa orang pula seperti orang-orang menuntun domba saja. Orang itu memaki-maki lagi dalam bahasa Jepang, lalu menudingkan telunjuknya kearah orang-orang perempuan itu dan bertanya,

“Siapa mereka itu? Kalian ini mau apa menangkapi mereka? Heh, kalian menyebut aku bajak laut, agaknya kalian inilah bangsa penjahat yang menculik gadis-gadis orang!”

Lauw Teng melangkah maju, suaranya keren,
“Hei, orang asing, jangan kau berlancang mulut! Ketahuilah, kau berhadapan dengan Hui-houw-pang, dan akulah Hui-houw-pangcu Lauw Teng. Hayo menyerah menjadi tawanan kami, agar sekalian kami bawa kekota raja, daripada kau menjadi makanan golokku yang takkan mengenal ampun lagi.”

Laki-laki Jepang itu tertawa pendek, lalu menepuk dada dengan tangan kiri dan menepuk gagang pedangnya dengan tangan kanan

“HuH, kiranya kalian ini hanya ular-ular tanah biasa. Wah, memang nasibku, jauh-jauh datang dari negeriku untuk mencari guru yang pandai disini, kiranya yang kujumpai sama sekali bukan guru-guru pandai, melainkan penjahat-penjahat biadab. Eh, Lauw Teng, tentang menangkap aku menjadi tawanan mudah saja, akan tetapi katakan dulu siapakah wanita-wanita itu dan mengapa kau menculiknya? Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya.”

Lauw Teng tertawa bergelak. Agaknya ucapan ini menggelikan hatinya. Dia mengangkat dada dan berkata,

“Orang gila… dengarlah baik-baik. Memang pekerjaan kami adalah penjaga gunung dan hutan, akan tetapi bukanlah tukang-tukang menculik gadis-gadis cantik. Ketahuilah, gadis-gadis ini akan kami bawa kekota raja, karena kaisar baru sedang mengadakan pemilihan gadis-gadis cantik untuk menambah jumlah selir-selir barunya. Yang dengan suka rela hendak memasuki pemilihan itu tentu diangkut dengan tandu, akan tetapi gadis-gadis kepala batu yang menolak ini terpaksa kami belenggu dan kami bawa dengan paksa.”

Laki-laki itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa Jepang, membanting kaki kanannya, lalu berkata,

“Keparat………. Kiranya dimana-mana sama saja. Orang-orang besar hanya memuaskan nafsu jahatnya, tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan. Aha, penjahat-penjahat rendah. Untuk perbuatan kalian mencuri daging panggangku, aku mau memberi ampun. Akan tetapi untuk perbuatan menculik gadis itu, jangan harap aku dapat mengampuni kalau kalian tidak segera membebaskan mereka!”

“Aduh………..!”





Loan Ki baiknya dapat menahan jeritnya sambil menutup mulut dengan tangan. Ia tadi makan daging sambil seluruh perhatiannya tertuju ke bawah, amat kagum mendengar ucapan orang asing yang ternyata seorang Jepang itu. Begitu asyik ia mendengarkan sampai-sampai beberapa kali ia kena menggigit tulang paha, malah baru saja ia salah menggigit bibir sehingga tanpa terasa ia mengeluarkan keluhan mengaduh!

“Huh, dasar daging curian, dimakanpun mendatangkan celaka!” gerutunya sambil melempar paha yang tinggal tulang-tulangnya saja itu.

Bibirnya agak menyendol oleh gigitan tadi. Ia kini nongkrong diatas cabang dan mengintai terus, hatinya tertarik sekali dan kegembiraan memenuhi hatinya karena ia merasa yakin akan menyaksikan pertandingan yang menarik.

Sementara itu, ketua Hui-houw-pang sebetulnya kagum melihat pemuda Jepang yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap gagah itu. Diam-diam dia merasa sayang dan alangkah baiknya kalau dia dapat menarik orang ini menjadi anak buahnya, karena selain dia dapat menggunakan tenaganya, juga orang ini tentu akan dapat dijadikan perantara untuk berhubungan dengan para bajak Jepang yang terkenal itu untuk menambah kekuatan Hui-houw-pang. Maka dia lalu berkata,

“Orang muda Jepang, kau benar-benar sombong. Kalau kau hendak mencari guru, tak usah jauh-jauh, sekarang juga kau sudah berhadapan dengan seorang guru. Siapakah namamu dan kalau kau mau, aku suka menerima kau sebagai muridku.”

Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal panjang berbentuk golok, memandang tajam.

“Kau………..? Kepala tukang culik gadis menjadi guruku? Hemm, aku Nagai Ici di negeriku terkenal dengan julukan Samurai Merah! Orang yang patut menjadi guruku harus dapat mengalahkan pedang samuraiku lebih dulu!”

“Buaya Jepang, jangan menjual lagak disini!” bentak seorang anak buah Hui-houw-pang yang menjadi kaki tangan Lauw Teng.

Perampok itu bertubuh tinggi besar dan terkenal akan tenaganya yang seperti gajah. Melihat betapa seorang pemuda Jepang yang tubuhnya hanya sedang saja besarnya berani menghina dan menantang kepalanya, dia tak dapat menahan sabar lagi.

“Pangcu (ketua), biarlah saya menghajarnya!”

Lauw Teng menganggukkan kepala. Memang dia ingin menguji kepandaian orang Jepang ini agar dia dapat menilai sampai dimana kemampuannya. Pembantunya itu sambil berseru keras lalu menyerbu dengan tangan kosong, melakukan penyerangan dengan kedua lengannya yang besar dan kuat. Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar, bertubi-tubi menghantam kearah leher dan dada Nagai Ici.

Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah itu seperti semua pendekar dinegerinya, sama pula dengan para pendekar di Tiongkok, tidak mau sembarangan menggunakan pedang kalau tidak terpaksa. Melihat datangnya penyerangan yang biarpun amat kuat namun lamban ini, dia bersikap tenang-tenang saja.

Begitu kepalan tangan itu menyambarnya, dia tidak mengelak mundur, malah melangkah maju sambil miringkan tubuhnya, lalu secepat kilat dari pinggir ia mencengkeram, sekaligus dia berhasil mencengkeram belakang siku kanan lawan dan belakang leher. Kakinya digeser memasuki selangkangan lawan, tubuhnya direndahkan dan………..sekali gentak tubuh yang tinggi besar dari lawannya itu terbang keatas sampai tiga meter tingginya lalu terbanting roboh seperti pohon tumbang. Orang itu terbanting keras dan tidak mampu bangun kembali!

Nagai Ici tersenyum mengejek.
“Begini saja kemampuan orangmu? Hemmm, pantas pekerjaannya menculik gadis-gadis lemah!”

Dari tempat yang tinggi diatas pohon Loan Ki menonton dengan penuh perhatian. Ia kagum karena ilmu gulat yang dipergunakan orang Jepang itu benar-benar cepat dan tangkas. Itulah ilmu yang mengandung tenaga Iweekang dengan cara meminjam tenaga lawan, sekali gentak dapat membikin lawan terlempar dan terbanting. Benar-benar cerdik sekali gerakan tadi dan ia dapat menduga bahwa menghadapi orang Jepang ini amatlah tidak baik kalau lawan sampai kena terpegang.

Lauw Teng juga kagum dan gembira. Ternyata dugaannya tidak keliru. Orang muda Jepang ini kuat dan tangkas, cukup berharga untuk dijadikan pembantunya. Akan tetapi dia belum yakin betul, maka dia memberi tanda kepada tiga orang pembantunya untuk maju mengeroyok.

Tiga orang pembantu ini meloncat ke depan dan menghunus golok mereka. Mereka ini adalah tiga orang yang boleh diandalkan karena termasuk murid-murid pilihan dari Lauw Teng yang sudah menerima pelajaran ilmu golok ketua Hui-houw-pang itu,

“Eh-eh, beginikah kegagahan Hui-houw-pang? Ha-ha, macan terbang macam apa ini, beraninya melakukan pengeroyokan?”

Nagai Ici mengejek. Hui-houw-pang berarti Perkumpulan Macan Terbang, maka ejekan ini benar-benar memanaskan hati orang-orang Hui-houw-pang. Akan tetapi Lauw Teng, yang mempunyai maksud menarik pemuda Jepang itu untuk memperkuat kedudukan perkumpulannya tidak marah melainkan menjawab,

“Kau kalahkan dulu tiga orang pembantuku ini, kalau bisa mengalahkan mereka baru kau cukup berharga untuk melawanku.”

Dengan ucapan ini, sekaligus Lauw Teng menangkis ejekan itu dan malah mengangkat kedudukan dirinya sendiri.

“Bagus! Majulah!”

Nagai Ici menantang tiga orang perampok itu tanpa mencabut pedangnya, akan tetapi kuda-kudanya yang kokoh kuat membayangkan bahwa setiap saat ia siap mencabut senjata itu karena tangan kirinya dengan jari-jari terbuka berdiri lurus di depan dada sedangkan tangan kanannya melintang di pinggang mendekati gagang pedang.

“Jepang sombong, cabut pedangmu!” bentak seorang diantara tiga pembantu Lauw Teng itu.

Mereka ini terkenal sebagai tukang-tukang pukul ketua Hui-houw-pang, ditakuti orang ilmu golok mereka, masa sekarang sekaligus maju bertiga menghadapi seorang Jepang yang bertangan kosong?

“Heh, tidak biasa Samurai Merah diperintah orang untuk mencabut samurai atau tidak. Samurai dicabut untuk dipergunakan, bukan untuk pameran seperti golok kalian. Kalau saatnya tiba, tak usah kalian minta, samurai tentu akan kucabut dan kalau sudah begitu, menyesalpun kalian sudah terlambat!”

Ucapan ini gagah dan tabah, akan tetapi juga memanaskan hati. Tiga orang itu menjadi marah sekali. Sambil berteriak memaki lalu menggerakkan golok masing-masing. Sinar golok berkilauan menyambar dan mengurung diri Samurai Merah.

Pendekar muda dari Jepang itu berusaha untuk mempergunakan kegesitannya menghindar dan mencari kesempatan untuk menangkap lengan lawan. Akan tetapi diam-diam dia terkejut. Pendekar ini belum lama datang dari Jepang, belum banyak dia bertanding melawan jago-jago silat di Tiongkok sehingga dia tidak begitu mengerti akan sifat ilmu silat yang asing baginya ini.

Ilmu silat mengutamakan kecepatan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Apalagi ilmu golok adalah ilmu permainan senjata yang paling cepat gerakannya, yang mengutamakan bacokan, guratan dan tusukan sehingga mata golok yang amat tajam serta ujungnya yang runcing itu tiada hentinya menyambar mencari kulit dan daging lawan.

Melihat betapa tiga batang golok itu rnengurungnya dari semua penjuru, sibuk jugalah Nagai Ici, Baiknya dia memang memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga biarpun dia harus montang-manting, melejit dan berjumpalitan kesana kemari, dapat juga dia menyelamatkan dirinya. Dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat lima meter jauhnya keluar dari kalangan pertempuran.

Tiga orang pengeroyoknya mendapat hati, mengira bahwa jago Jepang itu terdesak dan ketakutan hingga melarikan diri. Sambil memaki dan tertawa mengejek ketiganya menyerbu sekaligus dan menghujani serangan kepada Nagai Ici Si Samurai Merah.

Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari mulut jago Jepang itu, pekik berbunyi “yaaaaat!” tiga kali disusul menyambarnya sinar kemerahan tiga kali pula. Terdengar pekik kesakitan, golok jatuh berdencing dan pertempuran kacau-balau.

Ketika keadaan hening kembali, si jago muda dari Jepang itu sudah berdiri dengan kuda-kudanya yang gagah, yaitu kedua kaki dipentang lebar, tubuh merendah, tangan kiri diangkat tinggi diatas kepala dengan jari-jari terbuka lurus keatas, tangan kanan diatas gagang pedang samurai yang ternyata kini telah bersarang kembali ke dalam sarung pedang di pinggangnya. Sepasang matanya yang tajam berkilau itu menyapu kanan kiri. Sikapnya garang dan gagah seperti seekor harimau menghadapi bahaya!






No comments:

Post a Comment