Ads

Monday, January 28, 2019

Pendekar Buta Jilid 066

Loan Ki adalah seorang gadis yang berdarah perantau. Tak dapat ia bertahan untuk terlalu lama tinggal di rumah. Semenjak kecil sudah biasa ia melakukan perjalanan jauh, merantau bersama ayahnya. Bahkan semenjak ia berusia lima belas tahun, ketika ayahnya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi, dara lincah ini sudah melakukan perantauan seorang diri!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Pek-tiok-lim, tempat tinggal Tan Beng Kui di tepi laut Po-hai, didatangi Song-bun-kwi sehingga menimbulkan kekacauan, malah beberapa orang anak buah Pek-tiok-lim tewas dan akhirnya oleh kecerdikan dan kepandaian bicara Loan Ki, Song-bun-kwi suka pergi dari tempat itu.

Tan Beng Kui adalah seorang yang memiliki ambisi (cita-cita) besar. Didalam cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas dapat kita baca betapa beberapa kali tokoh ini berusaha untuk mencari kedudukan tinggi, akan tetapi selalu usahanya gagal. Sekarang, biarpun usianya sudah agak tua, ketika dia mendengar tentang perebutan kekuasaan dan tentang kekacauan di kota raja, timbul lagi penyakit lama ini.

“Loan Ki,” katanya, sehari setelah keributan terjadi karena kedatangan Song-bun-kwi, “sekarang kau harus tinggal dan berjaga di rumah. Kedatangan Song-bun-kwi yang dibawa oleh seorang kaki tangan kota raja, tentu ada sebabnya dan aku ingin sekali kekota raja untuk menyelidiki dan melihat, apakah yang terjadi disana.”

Maka pergilah Tan Beng Kui dari Pek-tiok-lim, meninggalkan anak gadisnya seorang diri, tentu saja bersama para anak buah Pek-tiok-lim yang puluhan orang banyaknya. Biarpun tidak berhasil menduduki pangkat di kota raja, Tan Beng Kui telah berhasil menjadi seorang yang kaya raya dan hidup sebagai raja kecil di Pek-tiok-lim itu, dengan rumah-rumah gedung mewah dan besar di tengah hutan dan mempunyai anak buah yang kuat-kuat.

Didalam rumah gedung, Loan Ki dilayani oleh para pelayan yang banyak pula jumlahnya, hidup sebagai seorang puteri. Adapun ibu anak ini sudah lama meninggal ketika Loan Ki masih kecil.

Baru beberapa hari setelah ayahnya pergi, Loan Ki sudah tidak dapat tahan lagi tinggal di rumah seorang diri. Maka, tanpa memperdulikan pencegahan para pelayan tua yang mengingatkannya bahwa ayahnya tentu akan marah kalau pulang tidak melihatnya, Loan Ki memaksa diri pergi meninggalkan Pek-tiok-lim.

Beberapa jam kemudian ia sudah meninggalkan Pek-tiok-lim seorang diri, menggendong sebungkus pakaian, membekal potongan-potongan emas dan perak, tidak ketinggalan tiga butir mutiara itu dibawanya serta. Pakaiannya serba hitam, terbuat daripada kain yang mengkilap seperti sutera, potongan pakaiannya ringkas dan ketat, di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek. Rambutnya yang hitam dan panjang itu ia gelung keatas dan ditutup dengan kain kepala berwarna hitam pula, ikat pinggangnya dari sutera kurung emas, demikian pula warna saputangan yang mengikat lehernya serta sepatunya.

Dari jauh ia seperti seorang pemuda saja, namun segala gerak-geriknya secara menyolok menyatakan bahwa ia adalah seorang muda kang-ouw yang melakukan perjalanan mengandalkan perlindungan pedang dan ilmu silatnya.

Siapapun dia yang menyaksikan Loan Ki melakukan perjalanan pasti akan ikut gembira. Gadis yang berwajah cantik jelita ini selalu berseri mukanya, mulut yang manis itu selalu tersenyum dan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang sudah biasa bagi Loan Ki untuk memandang segala keadaan di dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Ia gadis jenaka yang tak pernah mau mengenal susah.

Beberapa jam setelah keluar dari Pek-tiok-lim, ia sudah tampak berjalan ke selatan, kadang-kadang berloncatan dan berlari cepat, kadang-kadang berjalan lambat-lambat menikmati keindahan tamasya alam di sepanjang jalan.

Kalau sudah melakukan perjalanan seorang diri seperti ini, baru gadis ini merasakan kebahagiaan hidup bebas. Sekerat roti kering rasanya jauh lebih lezat daripada bermacam masakan yang biasa dihidangkan di rumahnya. Air pancuran di gunung rasanya lebih segar daripada air teh wangi di rumahnya. Tidur diatas cabang pohon besar lebih nikmat daripada tidur diatas ranjang dalam kamarnya yang mewah.

Tiga hari semenjak ia meninggalkan Pek-tiok-lim, tibalah ia di dalam hutan Pegunungan Shan-tung yang amat lebat dan liar. Hutan besar itu sama sekali tidak menakutkan hati Loan Ki, sebaliknya malah mendatangkan kegembiraannya. Alangkah indahnya sinar matahari menerobos di antara daun-daun pohon yang rindang. Terdengar suara auman binatang-binatang buas yang bagi gadis perkasa ini malah menambah gembiranya suasana.

Tiba-tiba ia mendengarkan penuh perhatian. Sebagai seorang gadis perantau yang sudah sering kali menghadapi bahaya serangan binatang buas di tengah hutan, ia dapat mengenal suara harimau yang sedang marah dan bertemu lawan. Gadis ini kuatir kalau-kalau binatang buas itu sedang mengancam keselamatan seorang manusia, maka cepat ia lalu berlari menuju kearah suara itu.





Benar saja dugaannya. Ia melihat seekor harimau besar sekali, sebesar anak lembu sedang menghadapi seorang laki-laki yang kelihatan tenang-tenang saja. Harimau itu berindap-indap maju dengan perut diseret diatas tanah, kadang-kadang mengeluarkan auman yang dapat membuat seorang penakut menggigil ketakutan.

Akan tetapi laki-laki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, matanya tajam menentang, sikapnya tenang waspada, malah mulutnya agak tersenyum seakan-akan ia merasa gembira.

Loan Ki dapat menduga bahwa laki-laki yang berpakaian aneh itu tentu seorang kuat, maka ia cepat meloncat keatas sebatang pohon besar, duduk diatas cabang pohon itu dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk melayang turun dan menolong andaikata orang itu terancam bahaya.

Dengan mata kagum ia memperhatikan orang itu. Usianya masih muda, kira-kira sebaya dengan Kun Hong Si Pendekar Buta. Akan tetapi tubuh orang ini jauh lebih tegap dan nampak kuat sekali. Pakaiannya aneh. Bajunya telah dibuka dan baju itu kini tergantung di pundaknya. Agaknya dia tadi merasa panas dan membuka bajunya. Tinggal celananya berwarna kebiruan, ringkas dan di bagian bawahnya tertutup pembalut kaki sebagai pengganti kaos kaki. Sepatunya dari kulit. Tubuh atas yang telanjang itu berkilat-kilat karena peluh, urat-uratnya melingkar-lingkar membayangkan tenaga yang dahsyat. Rambut laki-laki itu aneh pula. Digelung keatas, di tengah-tengah rambut ditusuk dengan sebuah tusuk konde hitam, ujung rambut dibiarkan terurai ke belakang. Seperti bentuk rambut seorang pendeta tosu, tapi lain lagi.

Pendeknya, aneh dalam pandangan Loan Ki dan belum pernah ia melihat seorang laki-laki dengan gelung rambut seperti itu. Di pinggang laki-laki itu tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang indah, terukir dan berwarna keemasan. Demikian pula gagang pedang itu. Akan tetapi anehnya, sarung pedang itu agak melengkung dan gagang pedang itu terlalu panjang menurut ukuran dan anggapan Loan Ki. Wajah laki-laki itu gagah dan tampan, pendeknya, dalam pandangan Loan Ki, laki-laki itu amat menarik hati dan aneh sekali.

Ketika harimau itu sudah dekat, laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti orang berkata-kata dan tertawa-tawa. Tampaklah kadang-kadang giginya yang putih berkilau ketika dia tertawa. Loan Ki makin tertarik. Jelas bahwa laki-laki ini seorang yang memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana mungkin bisa tertawa-tawa seenak itu menghadapi seekor harimau yang amat besar dan buas ini.

Kekhawatirannya berkurang, biarpun ada keraguan di dalam hatinya. Harimau itu adalah harimau betina yang amat galak, dan ia cukup mengenal kehebatan harimau seperti ini. Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Benarkah laki-laki aneh itu memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menyelamatkan diri? Ataukah, jangan-jangan dia seorang yang miring otaknya? Ucapan yang keluar dari mulutnya tadi seperti ucapan orang gila, sama sekali ia tidak mengerti artinya.

Ketika melihat betapa laki-laki itu menghentak-hentakkan kakinya dan berteriak-teriak seperti orang menghardik dan mengancam, wajahnya berseri-seri kelihatan gembira sekali,

Loan Ki mengerutkan kening. Agaknya benar telah gila orang ini, kenapa mengajak harimau itu bermain-main, tidak lekas mencabut pedangnya? Anehnya, harimau itupun agaknya selama hidupnya baru kali ini bertemu dengan seorang manusia seberani itu, maka tampak ragu-ragu, ekornya yang panjang bergerak perlahan.

Harimau itu tiba-tiba mendekam dan Loan Ki berdebar jantungnya. Ia tahu apa artinya itu. Harimau itu hendak melompat dan menerkam, dan biasanya gerakan ini amat hebat, kuat dan cepat sekali. Dan laki-laki itu masih tenang-tenang saja berdiri mengejek, seakan-akan tidak akan terjadi sesuatu.

Harimau itu mengeluarkan gerengan yang hebat, seakan-akan menggetarkan seluruh hutan dan tubuhnya yang besar itu menerkam dengan loncatan yang tak dapat dibayangkan cepatnya, menubruk dengan dua cakar kaki depan dan taring mulut yang terbuka lebar.

Celaka, pikir Loan Ki, menolongpun terlambat sekarang. Mengapa dia begitu sombong sehingga aku enggan menolongnya? Agak ngeri ia, akan tetapi dasar gadis pendekar yang tabah, matanya terbelalak memandang penuh perhatian.

Ia melihat betapa dengan cekatan orang muda itu melompat kekiri, disusul kilatan sinar pedang dan jeritan,

“Yaaatt………..! Yaaat!!” dua kali sinar pedang berkelebat dua kali menyilaukan mata dan……….. tubuh harimau besar itu terbanting roboh tak bergerak lagi, lehernya hampir putus dan perutnya terobek berantakan!

Loan Ki melongo. Ilmu pedang apa itu? Pemuda itu masih memegangi pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, cara memegangnya aneh, dengan kedua tangan memegangi gagang pedang yang panjang dan pedang itu agak melengkung bentuknya. Bukan main! Ilmu pedang yang amat aneh dan lucu, akan tetapi ganas luar biasa. Yang amat mengagumkan hati Loan Ki adalah kehebatan tenaga orang itu, di samping ketabahan dan ketenangannya yang patut dipuji.

Dengan tenang dan muka berseri, pemuda aneh itu membersihkan pedangnya dari darah dengan cara menggosok-gosok senjata itu pada kulit harimau yang berbulu indah, baru dia memasukkan pedang di dalam sarungnya lagi. Lalu dengan muka gembira sekali dia mencabut sebatang pisau pendek yang amat tajam, tangannya bekerja cepat dan tahu-tahu dia telah mengiris putus paha kanan sebelah belakang dari binatang itu, terus dipanggulnya pergi kearah sebatang anak sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Sisa bangkai harimau itu dia tinggalkan begitu saja.

Loan Ki dalam keheranan dan kekagumannya terus mengikuti dari jauh. Ia bersembunyi dibalik gerombolan pohon, mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu.

Tadi ketika melihat pemuda itu menggunakan pisau, ia mengira bahwa pemuda itu seorang pemburu. Akan tetapi kemudian perkiraan ini ia bantah sendiri. Tak mungkin seorang pemburu akan meninggalkan kulit harimau yang begitu berharga dan hanya pergi membawa sebuah paha.

Pemuda aneh itu berjongkok di pinggir anak sungai menyalakan api, membuat gantungan dikanan kiri api dan ternyata dia mulai memanggang paha harimau itu. Dia tertawa senang dan hidungnya kembang-kempis, beberapa kali dia bicara dengan bahasa yang tak dimengerti Loan Ki.

Gadis inipun hidungnya mulai kembang-kempis ketika mencium bau sedap dan gurih dari daging harimau yang dipanggang itu. Perutnya memang sudah lapar, sekarang mencium bau daging panggang, alangkah sedapnya!

Tiba-tiba keningnya berkerut, matanya terbelalak, kemudian mendadak ia membuang muka dan meramkan mata. Apa yang terjadi? Pernuda itu ternyata menanggalkan semua pakaiannya dan dengan bertelanjang bulat pemuda itu terjun ke dalam air anak sungai yang amat jernih.

“Anak setan!” Loan Ki memaki, geli sendiri. “Kurang ajar betul dia, berani bertelanjang didepan mataku?”

Kemudian ia teringat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang mengintai, maka tentu saja tidak bisa dibilang kurang ajar. Wajahnya memerah karena sebetulnya ia sendirilah yang kurang ajar, mengintai orang mandi. Kemudian timbul pikiran yang amat nakal. Memang Loan Ki seorang gadis remaja yang nakal sekali.

Ia memandang lagi dengan lega hatinya melihat bahwa orang itu mandi dengan merendam tubuh sebatas dada, jadi leluasa ia memandang. Ia melihat betapa pemuda itu dengan tubuhnya yang berotot kekar berkali-kali menyelam ke dalam air. Cepat ia menyelinap diantara pepohonan menanti saat baik.

Sementara itu, daging paha harimau itu agaknya sudah matang, baunya membuat ia tak kuat menahan laparnya lagi. Pada saat pemuda itu sekali lagi menyelam, cepat laksana kijang melompat, Loan Ki keluar dari tempat sembunyinya dan sekali sambar kayu yang menusuk paha itu telah berada di tangannya dan ia cepat melompat dan lenyap menyelinap di balik semak-semak belukar.

Dilain saat, gadis itu telah duduk ongkang-ongkang diatas cabang pohon yang tinggi, repot sendiri. Sibuk ia meniup-niup daging yang panas, menggigit, mengunyah dan tertawa-tawa ditahan sambil mendesis-desis kepanasan dan keenakan. Gurih dan sedap bukan main paha harimau yang setengah matang itu.

Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang dibawah. Kiranya ada dua puluh orang lebih lewat di bawah pohon dan kagetlah ia ketika mengenal bahwa yang lewat itu adalah para perampok, anak buah Hui-houw-pang. Ia mengenal mereka karena yang mengepalai rombongan ini bukan lain adalah ketua Hui-Houw-pang yang bernama Lauw Teng, si kepala rampok gemuk pendek bermuka kuning yang pernah ia permainkan dahulu itu. Orang-orang itu agaknya sudah melihat si pemuda aneh yang sedang mandi, buktinya mereka berseru dan pergi ke tempat itu.






No comments:

Post a Comment