Ads

Saturday, January 26, 2019

Pendekar Buta Jilid 060

Tiada habis keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, biarpun ia tidak berani menyatakan bahwa kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya daripada Hui Kauw yang pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga tidak mungkin. Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia terdesak, biarpun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih.

Akan tetapi mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang amat aneh ini? Mungkinkah ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa kuketahui? Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan ayahnya telah ia pelajari, diantaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.

“Wan-koko……….. kau bantulah aku……….!” Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong kepada kekasihnya.

Sementara itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan orang. Malunya bukan main, apalagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Hui Siang atau ibunya.

Sudah beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi akan perbuatannya bersama Hui Siang yang melanggar susila.

“Bun Wan koko, hayo kau bantu aku!” kembali Hui Siang berseru, kini suaranya penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak cepat-cepat membantunya yang sudah amat terdesak oleh gelombang sinar pedang Hui Kauw yang amat aneh.

Bun Wan sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang amat kuat itu bergulung bagaikan naga mengamuk.

“Nona Hui Kauw harap mundur!” bentaknya dengan suara nyaring.

Dua gulungan sinar pedang bertemu dan keduanya melompat mundur tiga langkah dengan kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan. Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-lun Kiam-sut yang sudah terkenal di seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya apalagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini amat suka berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.

Tadi ketika dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan tenaga setengah bagian saja. Namun, kagetlah dia ketika dia merasa betapa pedangnya membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga memaksa dia melompat mundur tiga langkah.

Sebaliknya, Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang pemuda Kun-lun ini dalam segebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak enam tujuh langkah dan saling pandang seperti hendak mengukur keadaan dan kekuatan masing-masing. Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini mengandalkan bantuan kekasihnya.

“Hui Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku dengan orang Kun-lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan kata-kataku…….!” Hui Kauw coba menyabarkan adiknya dan menghindarkan diri dari beberapa tusukan.

“Tutup mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-koko, hayo kita binasakan budak hitam kurang ajar ini!”

Hui Siang memaki sambil menerjang terus dengan terpaksa Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat. Bun Wan sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dari belakang tubuhnya. Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang, membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar.

Hebat gerakan ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini. Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan.

Cepat bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak menyambar kearah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil. Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-lun ini,





“Bagus…..!” terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini.

Kiranya bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan dan……. mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak berbiji itu menggetar.

Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang tadi diserangnya itu, apalagi ketika melihat mahkota itu. Otomatis tangan kirinya meraba punggung dimana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia terima dari Hui Siang tadi disimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh. Mahkota itu sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah mahkota tadi.

Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, akan tetapi setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai daripada dahulu? Betapapun juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak,

“Kwa Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi perintang jalan hidupku.”

Kun Hong tersenyum pahit dan menggeleng kepala sambil menarik napas.
“Saudara Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah padamu, tapi kesalahan yang tidak disengaja sama sekali dan untuk kesalahan itupun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling kusayang di dunia ini dan anggauta badan yang paling kusayang pula kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada dijalan sesat!”

Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang seakan-akan menancap dl ulu hatinya.

“Kwa Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah urusan ini denganmu? Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi seperti dulu? Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta itu tidak menarik lagi dipandang!”

Kun Hong menggeleng kepala, suaranya terdengar keren,
“Bun Wan, biarpun urusanmu dengan orang-orang wanita tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi aku mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan diluar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi, kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah mengenai mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni Ching-coa-to. Aku tahu siapa yang berhak memiliki mahkota ini, oleh karena itu harus kuambil kembali.”

“Kun Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan mahkota itu!” bentak Bun Wan sambil menerjang dengan pedangnya.

Kun Hong cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini. Terpaksa diapun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini. Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata,

“Bun Wan, aku tidak ingin bertempur denganmu, tidak ingin bermusuh denganmu. Percayalah, mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini.”

Akan tetapi mana Bun Wan mau mengalah begitu saja? Dia menghendaki mahkota itu bukan semata-mata karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki mahkota itu, maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan.

Pedang di tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus kearah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong. Gerakan ini selain miring juga agak memutar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk disusul tendangan kaki kiri kearah sambungan lutut lawan. Inilah gerak tipu dalam jurus Sin-seng-kan-goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang!

Kun Hong yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, kaget juga akan perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu, cepat dia menekuk lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung pedang lawan, kemudian maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku.

Aneh dan cepat gerakan Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda Kun-lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan menggeser kaki itu kekanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan lawan. Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya.

Bun Wan mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam dan pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung, kemudian dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut, sekali mengarah tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya mengarah pusar.

Kiranya pemuda Kun-lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan jurus-jurus simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-mo-sam-bu (Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-cu-sam-kiam (Tiga Kali Tikaman Berantai).

“Hebat……….!”

Kun Hong memuji dan terpaksa diapun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat dahsyat ini. Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang, baru angin yang datang oleh gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar karena mampu membolongi baju menembus kulit daging. Dia berseru keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan hawa dingin.

Tidak terdengar suara benturan senjata, namun tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan itu tiga kali terpental balik, malah yang ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri. Hampir saja senjata makan tuan kalau Bun Wan tidak cepat-cepat melepaskan pegangannya dan membiarkan pedangnya terpukul runtuh!

Dia berdiri dengan muka pucat, memandang pedangnya diatas tanah dan bergantian memandang pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang “diserobot” pemuda ini. Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi.

Sementara itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah sejak tadi ia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi ia tidak tega dan sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah iapun berseru nyaring, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah kemana!

Gadis cantik jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini iapun berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan tetapi Hui Kauw tidak perduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan Bun Wan. Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik. Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan bergidik.

“Orang she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak senonoh dan merusak kehormatan nama penghuni Ching-coa-to. Ingat baik-baik ucapanku ini. Biarpun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni Ching-coa-to lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku bersumpah akan mencarimu, dan mengadu nyawa!”

“Saudara Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab,” kata pula Kun Hong.






No comments:

Post a Comment