Ads

Saturday, January 26, 2019

Pendekar Buta Jilid 059

Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan. Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri,

“Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?”

Tidaklah aneh apabila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus tentang keributan yang terjadi antara nona ini dengan ibunya, akan tetapi tetap saja mereka tidak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw.

Apalagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini, bahkan selain lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.

Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak memperdulikan pandang mata para anak buah ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to.

Akan tetapi keheranan inipun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan diantara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kangouw sehingga kejadian kali ini di pulau juga tidak begitu mereka perdulikan.

Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong ketika kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.

“Apakah kita tiba di taman……….?” tanyanya perlahan.

“‘Betul, tempat ini terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu.”

“Hui Kauw,”

Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa amat berterima kasih dan pula sikap gadis itu yang ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan dan malu lagi,

“Kau tunggulah saja disini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan minta kembali mahkota itu. Kalau sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga.”

Mau tidak mau Hui Kauw tersenyum kali ini dan menarik tangannya.
“Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendiri menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini atau kita gagal dan mati bersama disini.”

Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih,
“Kau baik sekali, kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu…”

“Husshhh, diam, ada orang-orang datang”

Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong diajak menyusup kedalam gerombolan pohon kembang. Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mendengar juga dapat melihat.

Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai. Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to.

Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk diatas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!





Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya penuh kemanjaan dan mengandung kegenitan.

“Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya………. mana bisa aku tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadakupun sama sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini………. ah, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?”

Kun Hong mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar percakapan semacam itu.

Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi isyarat agar dia jangan bergerak. Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap yang tidak tahu malu.

Tiba-tiba Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar percakapan antara Hui Kauw dan ibu angkatnya. Ching-toanio pernah memakinya tergila-gila kepada Bun Wan! Hemm, apakah sekarang Hui Kauw menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-lun yang digilainya itu bercumbu rayu dengan Hui Siang? Aneh sekali, pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa karena cemburu dan iri! Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius asmara!

“Hui Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana bisa aku tidak cinta kepadamu dengan seluruh hatiku?” terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan, akan tetapi aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.

“Ah, kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja? Cinta kasihku sudah aku buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau? Wan-koko, kau bersumpahlah……..”

Suara Bun Wan menghibur, akan tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi, masih tertangkap oleh pendengaran Kun Hong yang amat tajam.

“Hui Siang…….. yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali? Kau tahu benar bahwa bukan salahku semata, tapi kau……. ah, kenapa kau begini cantik dan kau pula yang mendorongku dengan sikapmu? Aku cinta padamu, tak perlu bersumpah.”

“Aku percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri. Tapi………. kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada ibu, bukan? Betul ya, Koko? Jangan terlalu lama, ya?”

“Hemm…….. soal itu…….. aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras hati………..”

Terdengar isak tangis tertahan.
“Kau harus dapat membujuknya, Koko……. kau harus dapat…….. kalau kau tidak lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke Kun-lun, aku tidak perduli…….!”

“Baiklah……. kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?”

Suara Hui Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan,

“Koko yang nakal, kau masih tidak percaya setelah semua yang kulakukan padamu? Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apalagi hanya benda macam ini. Sudah sejak tadi kubawa.”

Kiranya gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah mahkota kuno itu dan diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik napas panjang.

“Heran, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andaikata ibumu dan orang-orang lain tidak pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak akan berani mengambilkan benda ini untukku.”

“Ihh, siapa bilang? Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku? Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya? Dapat kulihat dari pandang matamu ketika kau datang dahulu…….”

“Hemmm, sebaliknya kaupun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau berani!”

Kedua orang itu tertawa-tawa kini diselingi cumbu rayu yang memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat persembunyiannya itu.

“Hui Siang, kalau aku sudah membawa pergi mahkota ini dan ibumu kembali, bagaimana kalau ia tanya tentang mahkota ini padamu?”

Mendengar pertanyaan Bun Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh. Eh, kiranya mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh mereka? Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula.

Hui Siang yang tadi menangis sekarang tertawa-tawa genit.
“Apa sukarnya mencari jawaban itu? Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku minta mahkota itu. Habis perkara!”

“Enak saja kau membohong, apa ibumu bisa percaya? Kalau hanya ia yang datang, apa kau tidak bisa melawan? Sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya,” bantah Bun Wan. “Ibumu tentu tidak percaya.”

“Koko yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si setan buta yang membantunya, tentu ibu percaya.”

Tiba-tiba Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda bahwa gadis itu marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,

“Hui Siang apa yang kau lakukan ini? Kemana harga dirimu sebagai seorang wanita? Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak melakukan fitnah! Kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar susila disini, keparat!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu. Lebih-lebih lagi Hui Siang yang merasa amat malu, kaget dan heran. Perasaan-perasaan itu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan besar.

“Budak hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya, kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku? Hayo minggat, kau hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!”

Sambil berkata demikian Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu dengan tusukan kilat.

Hui Kauw tenang saja menghindar sambil berkata,
“Hui Siang, betapapun juga, aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau telah tersesat……….” suaranya mengandung kedukaan besar.

“Siapa sudi nasihatmu? Tengok dirimu sendiri, berjina dengan jembel buta masih hendak rnengganggu orang bercinta. Wan-koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina ini!”

Kembali Hui Siang menyerang, kini lebih hebat lagi. Dasar ia memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tak boleh dipandang ringan.

Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil melompat menjauhi iapun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan.

Kaget bukan main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya dan hebatnya, semua serangannya tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus segulungan sinar pedang Hui Kauw sudah menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.






No comments:

Post a Comment