Ads

Sunday, January 27, 2019

Pendekar Buta Jilid 061

Bun Wan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya sedangkan Hui Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.

“Kun Hong, mari kita pergi!”

Hui Kauw menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana burung-burung terbang, pergi dari pulau itu menuju ke pantai. Mereka tidak bicara sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga. Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata,

“Nona ………..”

“Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu,” potong Hui Kauw cepat-cepat.

“Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku amat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia.”

Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.

“Hui Kauw, kenapakah……….?” tanyanya sambil melangkah maju. “Apakah kau sakit? Terluka………..?”

Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya.

“Memang sakit, tak terperikan nyerinya………. memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya………..”

Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut diantara kedua matanya makin jelas. Dia menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk,

“Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tak mungkin aku dapat membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah di penjelmaan lain kelak aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu……….”

“Kun Hong……. jangan kau bilang begitu………” suara Hui Kauw mengandung tangis.

“Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi malapetaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Dan kau hidup sebatangkara…….. ah, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?”

Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Diapun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora.

“Kun Hong……. Kun Hong…….. di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah………. rasa kasih sayang sedikit saja?”

Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi.
“Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku…….. aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu………..”

Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis diatas dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak dan mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum sambil menghela napas berkali-kali.





“Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu……….. biarlah aku ikut denganmu kemana saja kau pergi.”

Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata,

“Tidak mungkin, Hui Kauw……….. tidak mungkin……….. biarpun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu………..”

“Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama di depan meja sembahyang biarpun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku……….. aku……….. menganggap bahwa aku telah menjadi……….. isterimu…….. apapun yang terjadi……….. aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku……. ah……….. aku cinta kepadamu, Kun Hong…………”

Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kemudian dia menggeleng keras-keras kepalanya karena terbayang dia akan wajah Cui Bi.

“Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, tak berharga……….. tak berani aku membawa kau ikut menderita. Kau mulia dan agung, kau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku………..”

“Tidak, tidak………..! Kun Hong, kau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Biarpun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku……….. ah, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong.”

“Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kau bidadari!” pemuda itu membantah dengan suara keras.

Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, lalu ia melepaskan rangkulannya.

“Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Kau tak pandai melihat………..”

“Cukup dengan mendengar, suaramu Hui Kauw. Kalau aku……….. eh, andaikata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi………… tapi maaf, ini hanya seandainya………..”

“Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk.”

“Aku tidak berani, Hui Kauw……….. aku tidak berani kurang ajar kepadamu………..”

Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapapun juga, amat sangat inginnya meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.

“Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau……….. ah, kau rabalah agar kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selalu akan mengenangmu selama hidup, akan mencintaimu selama hayat dikandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya………..” Sampai disini Hui Kauw menangis.

“Hui Kauw………..! Jangan bilang begitu.”

Tapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya kearah mukanya sambil tersendat-sendat berkata,

“Rabalah…….. rabalah……….”

Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher…….. lalu kembali lagi keatas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,

“Kau cantik jelita……….. kau cantik jelita……….. ah, Hui Kauw……….. alangkah cantik engkau………..”

Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya.

“Aduh, Kun Hong……….. selama aku hidup, baru kali ini ada orang memuji kecantikanku……….. semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk………. Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu………..”

Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi dan dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas,

“Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Akupun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan………..”

“Diam!!” Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. “Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita macam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku tetap bersetia. Biarpun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku sudah menjadi isterimu dan selama hidupku aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kaupun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya.”

Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa menitikkan air mata. Ingin ia memeluknya, ingin ia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi ia tetap berdiri, menanti penjelasan.

“Hui Kauw, ketahuilah. Akupun seorang manusia yang telah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biarpun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia……….. ia mati karena aku, Hui Kauw………..”

Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus tentang kebutaan matanya.

Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Demikian terpesona dan terharu ia oleh cerita itu sehingga ia seperti tidak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, makin tak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.

“Aduh, Kun Hong………!” Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. “Kasihan sekali kau……… laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni……….. ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Akupun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau………..”

Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi diatas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.

“Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Kau tahu sendiri sekarang betapa tak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku.”

Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Sepasang matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba.

“Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tidak mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, dimana kau dan aku sudah berlutut didepan meja sembahyang, takkan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku takkan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat, Disana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku………..” Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.

“Hui Kauw………..! Biarkan aku mengobati mukamu………..!” Kun Hong berteriak memanggil.






No comments:

Post a Comment