Ads

Saturday, January 26, 2019

Pendekar Buta Jilid 058

Sudah terlalu lama kita tinggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu. Seperti telah dituturkan dalam bagian depan, setelah pertemuannya dengan Tan Hok dan mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa penting arti mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok.

Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga disana terdapat orang-orang yang amat lihai.

Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu sepeninggal Tan Hok, menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi dan berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada.

Siapapun juga yang melihat keadaan Kun Hong disaat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar di dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali kelihatan susah sekali.

Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin. Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan biarpun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Kali ini karena keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya.

Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu sejak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah elahan napasnya. Elahah napas yang halus panjang namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih,

“Sahabat di luar kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja.”

Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu sambaran angin meliuk masuk melalui jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun diatas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.

“Nona Hui Kauw……..!”

Kedua kakinya gemetar ketika dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalnya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak perduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,

“Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari keluar dan pedang kita yang akan menentukan yang harus mati menebus hinaan.”

Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata,
“Aku tahu, Nona tanpa kusadari, aku telah melukai hati dan perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar kepada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona.”

Hui Kauw memandang tajam.
“Apa maksudmu? Kau……. kau……. tahukah kau apa yang menyakitkan hatiku?”

Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya,

“Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa akupun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona.”





Tiba-tiba Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut diatas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan di dalam dada bagaikan api dalam sekam.

Inilah berbahaya sekali bagi kesehatan, dan jalan terbaik untuk memberi jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, biarpun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut diantara kedua matanya yang buta.

Lama nona itu menangis. Sengaja derita dan sakit hati yang ia tahan selama bertahun-tahun di dalam dadanya, sekarang bagaikan gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak.

Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini, dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali. Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung, muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut amat menyedihkan.

“Siapa orangnya dapat menahan semua ini?” ia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak. “Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanya merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku sudah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Malah akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku. Setelah apa yang terjadi di dalam kamar ketika kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku menikah denganmu. Kata ibu kaupun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga baik namaku dan nama keluarga ibu. Tiada pilihan lain bagiku. Daripada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula…… kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati…….. maka akupun menurut. Siapa tahu…….” kembali gadis itu menangis.

“Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai…….. eh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan keributan di pulaunya?”

“Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu………..”

“Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau.”

Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu lirih,
“Memang dia bukan ibu kandungku………..” Ia menahan isak lalu melanjutkan, “Biarpun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu menculikku dari rumah ayah bundaku yang aseli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Ia amat kasih dan sayang kepadaku……….. sampai Hui Siang terlahir. Memang mereka itu baik kepadaku, tapi kadang-kadang……….. ah, entah mengapa, aku tersiksa batin……….. tak perlu kuceritakan sejelasnya, Sampai kau muncul dan……….. penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku, menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang hartawan di kota raja, she Kwee!”

“Baik sekali niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuamu,” kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.

“Tapi ada ganjalan di hatiku………..” gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar, “ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu……….. betapa tidak……….. karena itu, menurutkan nafsu hati dan kemarahan, aku sengaja menantimu, untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik seorang diantara kita tewas………. takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi………..”

Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan.
“Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat di hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!”

“Tidak…….. tidak…….. sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau mempermainkan, melainkan karena……. kau memang……. ah, siapa sih yang akan tertarik hatinya……. inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andaikata melihat, belum tentu sudi mengakui……….”

“Apa maksudmu, Nona?” tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.

“Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di kota raja.”

Terdengar gadis itu menggeser kaki hendak keluar dari kuil itu. Mendengar disebutnya “kota raja” ini, teringatlah Kun Kong akan mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil,

“Nona Hui Kauw, tunggu dulu…….!”

Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali ke depan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.

“Ada apakah?” tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.

“Nona, aku ingin mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan.”

“Tentu saja tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku daripada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!”

Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, Cepat-Cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu,

“Aku hanya ingin kau memberi petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to, Nona.”

Hui Kauw kaget dan memandang dengan mata melebar,
“Apa? Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?” lalu menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan, “Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali kesana?”

Berdebar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.

“Aku harus kembali kesana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki,” katanya dengan suara biasa.

“Tapi mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum yang lain-lain. Biarpun aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa kembali mahkota?” Kemudian gadis menyambung cepat-cepat, “Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka.”

Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih.
“Biarpun menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting daripada nyawaku.” Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok. “Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andaikata aku dapat pergi kesana sendiri, sudah tentu akupun tidak berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Akan tetapi apa dayaku, aku seorang buta, tak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu.”

Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya diatas lantai di depannya.

“Sebelum sampai disana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!”

Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tidak lucu baginya.

“Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-coa-to!” katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil.






No comments:

Post a Comment