Ads

Tuesday, January 22, 2019

Pendekar Buta Jilid 037

“Uuuhhh, panas…….” nona itu merintih.

“Tidak apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar.”

Hui Kauw membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tak berbaju, apalagi melihat Kun Hong berdiri disitu dengan kepala tunduk. Ia cepat bangun dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi tubuhnya.

“Bagaimana ini……. apa yang terjadi……. kau kenapa berada disini…….?” pertanyaan yang terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar.

Kun Hong dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia membungkuk dengan hormat, berkata,

“Kau menderita luka-luka, aku berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Sekarang kau sudah selamat, perkenankan aku keluar dari tempat ini.”

Tanpa menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah kearah pintu, membuka daun pintu dan keluar dari situ.

Ka Chong Hoatsu sendiri menyambutnya.
“Bagaimana Kwa-sicu, berhasilkan usahamu?”

“Dengan berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya,” jawab Kun Hong sederhana.

Ching-toanio lalu berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya,
“Aduh, kasihan anakku…….”

Kun Hong mengerutkan kening. Suara Ching-toanio ini adalah suara palsu. Hemm, akan berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang sama jahat dan palsunya dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus segera pergi dari tempat ini.

“Ki-moi, hayo kita pergi …….”

Tidak ada jawaban.
“Di mana nona Loan Ki?” tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu.

Hwesio tua itu tertawa.
“Semua orang termasuk sahabatmu itu berkumpul di ruangan sembahyang. Mari, Kwa-sicu, karena pada saat ini kaupun menjadi seorang tamu terhormat, kaupun dipersilahkan ikut berpesta sambil ikut merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching-toanio.”

“Pesta apa? Sembahyangan apa?” Kun Hong tak mengerti.

“Suaminya meninggal tiga setengah tahun yang lalu dan hari ini kebetulan diadakan sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan ibu dan kedua anak.”

“Maaf, Lo-suhu, aku……. aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan Ki…….”

“Ha-ha-ha, Kwa-sicu, apakah kau seorang yang sudah banyak merantau di dunia kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat, keluarga Ching-toanio ingin menyampaikan terima kasih, dan disini sedang dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?”

Kun Hong menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan hwesio itu. Apalagi Loan Ki agaknya sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk lemah.

“Baiklah, setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tak usah berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup mengakibatkan heboh!”

Hwesio itu tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun Hong yang perjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya. Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah tiba di tempat yang dimaksudkan. Sebuah bangunan yang agak besar dan telinga Kun Hong menangkap suara banyak sekali orang disitu, banyak suara wanita dan agaknya orang-orang pada sibuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh diatas meja dan tercium bau lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu.





Kun Hong segera duduk diatas sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya. Karena tempat itu ramai dengan suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada disitu ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak.

Tentu saja dia tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot penuh kemarahan!

Dugaannya memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga disitu terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang mengatur meja sembahyangan yang besar dan megah. Dua batang lilin naga berwarna merah dinyalakan diatas meja sembahyangan yang dihias seperti meja sembahyangan pengantin saja!

Kemudian terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya,
“Kwa-sicu, silakan kau melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami Ching-toanio.”

Pendeta itu menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu jenazah merupakan syarat kesopanan yang tak mungkin ditolak. Dia menurut saja ketika dituntun ke depan meja sembahyang.

“Bersembahyang di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,”‘

Ka Chong Hoatsu berbisik dan Kun Hong yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi batang-batang hio itu diantara tangannya.

Pada saat itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Disana sini terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara orang berlutut disamping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw didalam kamar tadi.

Tak dapat diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah kirinya! Apa artinya ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia ragu-ragu dan menahan diri, tidak segera bersembahyang. Pada saat itu, diantara suara hiruk-pikuk para pelayan, ia mendengar suara Loan Ki, penuh ejekan, penuh kebencian.

“Hah, yang laki buta, yang perempuan bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini buruk!”

Kun Hong kaget setengah mati, tangan kirinya bergerak meraba dan……. dia mendapat kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!

“Apa artinya ini?” Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hionya ke samping.

Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,

“Orang she Kwa, jangan menolak! Kau telah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw, kau malah telah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu dan untuk membersihkan namanya, kau sudah dipilih menjadi suami yang sah. Nona Hui Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?”

Muka Kun Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh simpati besar, juga amat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya.

Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba. Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikitpun niat untuk menikah dengan wanita lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Seorang buta seperti dia mana mampu mendatangkan kebahagiaan kepada seorang isteri?

“Tidak…….. tidak…….! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku seorang manusia!” bantahnya, tidak perduli betapa tekanan pada pundaknya makin menghebat yang berarti hwesio itu memperhebat pula ancamannya.

“Orang she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan menjadi mantu Ching-toanio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau kau harus mati sekarang juga!” Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun Hong, “Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta ia, bukan? Nah, apalagi soalnya?”

“Tidak! Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini…….!”

Kun Hong berteriak lagi dengan marah sekali, seluruh urat di tubuhnya sudah menegang untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali.

Tiba-tiba Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan,

“Ya Tuhan…….. apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?”

Setelah itu, cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan menyerang Ka Chong Hoatsu dengan pedangnya yang tadi ia sembunyikan dibalik pakaian pengantin yang longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata.

Serangan ini hebat bukan main karena Hui Kauw mempergunakan jurus daripada ilmu pedangnya yang ia rahasiakan. Ka Chong Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga menghadapi serangan luar biasa ini, yang bagaikan halilintar menyambar kearah dadanya.

Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang panjang. Hampir terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju ini, Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan. Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang.

Kun Hong bersyukur sekali. Dia maklum bahwa gadis itu tadi menyerang Ka Chong Hoatsu dengan maksud menolongnya terlepas daripada cengkeraman yang membuat dia tidak berdaya. Pada saat itu terdengar Loan Ki berseru.

“Bagus, Hong-ko. Jangan takut, aku bantu kau!”

Dan gadis inipun sudah meloncat ketengah ruangan itu, di depan meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong!

Kembali Kun Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantunya, sebentar mencelakainya, kadang-kadang membelanya, ada kalanya mengkhianatinya. Tadi baru saja mencemooh dan dengan ucapan mengandung suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali ketika menyebut “Hong-ko” dan sekarang malah siap membantunya.

Kun Hong benar-benar bingung, apalagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Kenapa gadis yang sudah dapat dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya, kemudian kenapa pula gadis itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap gadis-gadis ini.

Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh daripada cukup untuk menghadapi mereka. Dia sendiripun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang lihai-lihai itu, apalagi Ka Chong Hoatsu si hwesio tua yang tadi mencengkeram pundaknya.

Andaikata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan sekali gebrakan, sejurus serangan gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong Hoatsu melepaskan cengkeramannya.

“Orang muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik, sungguhpun kau telah menimbulkan keributan. Kau dimaafkan, malah kelakuanmu yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis telah dimaafkan, sebaliknya daripada dihukum, kau malah diangkat menjadi mantu. Akan tetapi dengan sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah, akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah menghina pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk dan sekarang pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah mendiang gurumu, Yok-mo.”






No comments:

Post a Comment