Ads

Tuesday, January 22, 2019

Pendekar Buta Jilid 038

Kun Hong melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban. Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur,

“Lo-suhu, kalau aku tidak salah menduga, kau adalah seorang hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur dan mulia. Lo-suhu, lupakah kau akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab Buddha? Lupakah kau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri sendiri?”

Sampai disini Kun Hong lalu mendongak dan suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang merupakan doa dari kitab Agama Buddha.

“Dia yang dapat menahan kemarahan, seperti seorang menahan kaburnya kereta, dialah patut disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan amarah dengan kasih, tundukkan kejahatan dengan kebajikan, kerakusan dengan kerelaan, dan kebohongan dengan kebenaran.”

Sampai disini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong menghentikan nyanyiannya.

“Ha-ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani mengajar pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang mengajar ikan tentang renang!”

“Kalau perlu boleh saja, Lo-suhu, Sungguhpun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia akan tersesat dan tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui kehancurannya.”

“Huh, bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap sombong dan kurang ajar di depan pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-mo sendiri yang kau sebut sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah kepada pinceng. Majulah dan coba perlihatkan kepandaianmu!”

Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak.
“Lo-suhu, aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga…….”

“Ha, kau jerih kepada Ka Chong Ho-atsu?” hwesio itu mengejek.

“Akupun tidak jerih atau takut kepada siapapun juga.”

“Kalau begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!”

“Lo-suhu, aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini diperbolehkan pergi dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini…….”

“Tai-su, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!” kata Ching-toanio dengan suara gemas.

“Bocah Kwa, lihat tongkat!” bentak Ka Chong Hoatsu dan Kun Hong cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya.

Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya. Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar kearah pinggangnya.

Sengaja dia memperlambat gerakannya dan begitu tongkat itu sudah menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia meloncat keatas. Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya.

Kun Hong makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya, malah mungkin tidak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si tua bangka Pak Thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir disini.

Kekaguman tidak hanya berada di fihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi benar-benar diluar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu.





Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan Kim-tiauw-kun dalam menghadapi penyerangan ini, melainkan mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-yang-kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.

Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanan ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus keatas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti menunjuk, seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegang segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri.

Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu, tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapapun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh. Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar dengan Pak Thian Lo-cu, hanya kalau Pak Thian Lo-cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha.

Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Semenjak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku diantara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu.

Malah dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang mempunyai harapan untuk merampas kembali kerajaan yang hilang.

Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan seorang pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi? Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dan diapun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.

Kedua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biarpun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.

“Bun-taihiap dari Kun-lun-pai yang terhormat telah tiba untuk bertemu dengan toanio…….!!” terdengar seruan wanita penjaga dari jauh.

Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba disitu pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.

“Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kebetulan kedatanganku!” kata pemuda itu.

Ka Chong Hoatsu sudah dari tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya diatas tanah dan tertawa bergelak.

“Sungguh tak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!”

Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang kearah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang mata penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.

“Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang kesini dan mengapa hendak bertempur melawanmu?”

Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lun-san dan dia mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka dan bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.

“Ha-ha, Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw…….”

Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh, ejekan.
“Hemm, kiranya setelah kedua matamu buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?”

Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biarpun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi (baca Rajawali Emas)?

Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biarpun dahulu terus pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya (baca Rajawali Emas), namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya. Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada.

“Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari Kun-lun-pai. Tapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dahulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang…….”

Kembali Bun Wan, pemuda itu mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh kearah Ching-toanio dan berkata,

“Toanio, karena aku telah datang disini, kuharap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman dimana aku hadir. Tentu ayah akan menegurku.”

Ching-toanio menggerutu,
“Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?”

Akan tetapi Ka Chong Hoatsu segera berkata,
“Ching-toanio, biarlah, melihat muka Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apalagi mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati.”

Melihat kesempatan baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata,

“Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!”

Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebikan bibir dan melerok kesana kemari kepada orang-orang yang berada disitu!

“He-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!” kata Ka Chong Hoat-su.

Mendengar ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan keluar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan takkan terlepas daripada hukuman dan pembalasannya juga!

“Betul, Nona. Kau tidak boleh pergi dulu setelah menjadi tamu kami. Kami hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!” katanya.

Loan Ki memutar otaknya. Ia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekalipun. Ia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,

“Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada disini, dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Kalau nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini takkan mampu menghalangiku, Hwesio tua!”

Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada disitu tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal) pikirnya, tidak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah jelas bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentahpun tidak, dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!






No comments:

Post a Comment