Ads

Tuesday, January 22, 2019

Pendekar Buta Jilid 036

Kun Hong tidak marah kepada Loan Ki, hanya heran karena dia masih belum mengerti mengapa gadis lincah itu merobohkannya. Makin besar keheranannya ketika dia mendengar betapa secara mati-matian Loan Ki menolongnya daripada serangan-serangan Ching-toanio, malah membelanya dengan omongan-omongan pedas.

Tentu saja keheranan kedua ini disertai kegirangan hati bahwa terbukti Loan Ki tidak memusuhinya, malah melindunginya. Akan tetapi kenapa tadi menotoknya roboh? Dan bagaimana pula setelah menotok roboh dengan serangan gelap, sekarang membela dan melindunginya mati-matian pula? Benar-benar aneh sekali gadis lincah ini, dan Kun Hong merasa seperti menghadapi sebuah teka-teki yang amat kuat.

Kun Hong sengaja berpura-pura tak berdaya dan membiarkan saja Loan Ki bersitegang dengan Ching-toanio, akan tetapi ketika mendengar betapa Ching-toanio menyerang Hui Kauw secara hebat dan membabi buta, Kun Hong tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan tiba-tiba dia meloncat bangun, sekali menggenjot tubuh dia telah menyambar kearah Ching-toanio.

Ching-toanio mendengar seruan kaget dari semua orang yang tiba-tiba melihat gerakan Kun Hong yang tadinya lumpuh itu, ketika ia melihat betapa si buta itu menerjang ke arahnya, ia menjadi marah sekali dan pedangnya memapaki dengan sebuah tusukan kilat kearah ulu hati.

Dalam penyerangan ini, Ching-toanio menggunakan semua tenaganya karena ia memang marah sekali dan ingin menebus kekalahan dan penghinaan-penghinaan yang ia alami tadi.

Sinar pedang di tangan Ching-toanio itu berkelebat menusuk, Kun Hong miringkan tubuhnya dan……. pedang itu ambles di bagian dada sampai menembus punggung si buta itu.

Terdengar jeritan-jeritan keluar dari mulut Hui Kauw dan Loan Ki sekaligus. Akan tetapi dua orang nona ini yang merasa ngeri dan kaget sekali, tidak berusaha untuk maju menolong karena mereka kini, seperti yang lain-lain, berdiri bengong penuh keheranan.

Biasanya kalau orang terkena tusukan pedang, apalagi sampai menembus punggung, tentu akan mengeluh, atau roboh, setidak-tidaknya darah tentu akan mengalir keluar. Akan tetapi si buta ini lain lagi reaksinya. Dia berdiri tegak dengan pedang lawan masih menancap di bagian pinggir dada, mulutnya tersenyum, sikapnya tenang dan tidak ada setetespun darah mengalir keluar.

Ching-toanio mengerahkan tenaganya menarik keluar pedangnya dan……. tiba-tiba ia terhuyung ke belakang dan mukanya menjadi pucat. Pedang itu tinggal gagangnya saja, selebihnya masih “menancap” di dada Kun Hong.

Ketika pemuda buta itu menggerakkan lengan kanan, terdengar suara “krekk!” dan jatuhlah sebatang pedang tanpa gagang, sudah patah menjadi tiga potong! Kiranya pemuda itu bukan tertusuk pedang, melainkan senjata itu ketika tadi menusuk ulu hatinya dia miringkan tubuh dan secara cepat dan lihai sekali sampai dapat mengelabui mata banyak orang-orang pandai, dia berhasil menjepit pedang itu di bawah ketiaknya!
Kun Hong tidak perdulikan lagi Ching-toanio yang masih bengong keheranan, dia menghampiri Hui Kauw, membungkuk dan sekali bergerak gadis itu telah dipondongnya lagi.

“Saudara Kwa…….. jangan…….. kau lepaskanlah aku …….”

Hui Kauw berkata lemah, hatinya tidak karuan rasanya dan ia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki muda, biarpun buta, di depan banyak orang itu.

“Sshhh, diamlah Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan suara dan tenaga……. lukamu hebat……. kurasa sedikitnya sebuah tulang rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darah, aku harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja…..”

Pada saat itu ada angin menyambar dari depan dan suara yang hampir tak dapat ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya.

Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw, keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.

Pada saat itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi lemas, kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak tenaga dalam menghadapi ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong merasa lega.





Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk bergerak, dapat dia mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tidak akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu. Dia cepat mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan.

Terdengar oleh Kun Hong suara yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang hebat,

“Omitohud, pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan banyak orang pandai membuat pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin pinceng mencoba kehebatan kepandaianmu yang aneh. Akan tetapi sebelumnya pinceng ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini kepadamu?”

Kun Hong kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang hwesio yang berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab,

“Syukurlah bahwa disini terdapat Lo-suhu yang saya percaya memiliki pertimbangan adil dan pemandangan yang luas. Lo-suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting malah tidak berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-suhu, kedatangan saya ini sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, maka harap Lo-suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci seperti Lo-suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang ajar?”

Pendeta itu tertawa bergelak dan Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa hwesio ini dengan kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada disitu. Kemudian bertanya,

“Orang muda, biarpun matamu buta tapi hatimu melek. Tentu saja pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian. Akan tetapi kau datang disini menimbulkan keributan, apa sih yang kau inginkan sekarang?”

“Maaf, Lo-suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan keributan. Semua yang dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini adalah fitnah belaka. Tidak ada yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya dan nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman.”

Kembali Ka Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching-toanio dan yang lain-lain, kemudian dia tertawa lagi.

“Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat amat berat luka-luka akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?”

“Jika Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak tahu akan ilmu pengobatan.”

“Hwesio tua, jangan kau pandang rendah kepadanya. Orang sakit apapun juga asal belum mampus tentu dapat dia menyembuhkan. Dia adalah murid Toat-beng Yok-mo, masa tidak bisa mengobati?”

Ucapan Loan Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-beng Yok-mo, kalau tidak salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-houw-pang dimana gadis itu diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai.

Tidak hanya Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang disitu, terutama sekali Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah mendengar nama Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya belum pernah mendengar nama tabib iblis yang amat pandai mengobati, akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas)? Seketika pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang Toat-beng Yok-mo adalah orang “segolongan” dengan mereka.

“Omitohud! Betulkah kau murid Yok-mo, orang muda?” Ka Chong Hoatsu akhirnya bertanya.

Kun Hong adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia menjawab,

“Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-mo pernah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang pengobatan, entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah.”

“Oho!” Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan menyentuh pundak Kun Hong. “Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-sicu, kalau begitu tidak ada urusan lagi diantara kita dan soal pertempuran tadi kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching-toanio, pinceng harap kau sudi menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-sicu mengobati puterimu.”

Kun Hong menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching-toanio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau, orang pertama dari Ang Hwa Sam-cimoi yang bersuara kecil melengking,

“Pantas saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-mo. Hi-hik, tak perlu ribut-ribut, biar buta amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-mo. Toa-nio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hik!”

Mendongkol sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah, karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat mengobati Hui Kauw.

“Tidak lama…… tidak lama…….” katanya gugup. “Sebentar saja kupulihkan kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat pertumbuhan tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal disini dan akan segera keluar dari pulau bersama nona Loan Ki.”

Dia merasa heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali. Dia tidak melihat betapa nona ini biarpun berada pula disitu, mukanya murung dan cemberut terus.

Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkan sama sekali. Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang, bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak itu.

Orang-orang menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir keluar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching-toanio yang ampuh. Kemudian dia minta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus dibuka.

Hanya Ching-toanio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-cimoi, Hui Siang dan tiga orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biarpun maklum disitu terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia menyambung tulang iga yang patah!

Setengah hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, lalu duduk bersila dan menempelkan kedua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga.

Sejam dia melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya menjadi merah sehat. Pada saat itu Ching-toanio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal disitu, akan tetapi Ching-toanio berkata lirih,

“Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara tentang urusan yang juga menyangkut ayahmu. Marilah, biar Kwa-sicu mengaso, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali.”

Tak enak juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu kearah Kun Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat kearah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar pula.

Kamar itu sunyi. Suara orang-orang diluar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak nona itu, lalu dengan perlahan dia mengurut jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari pembaringan, berdiri menanti.






No comments:

Post a Comment