Ads

Monday, January 21, 2019

Pendekar Buta Jilid 033

Maka tidaklah heran apabila Loan Ki segera memujinya, sungguhpun ia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri takkan kalah baik bentuk wajah maupun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan Hui Siang, akan tetapi karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau dan kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih, kalah halus, dan pakaiannya juga kalah baik.

Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya amat galak dan sombong. Karena hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki,

“Budak hina! Apakah matamu buta? Eh, kau pelayan barukah? Belum pernah aku melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!”

Loan Ki mendongkol sekali, ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata,

“Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw telah membikin malu kita, kali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita diseret kedalam lumpur!”

Gadis ini mengerling kekanan kiri seakan-akan tidak memperdulikan orang-orang yang berada disitu. Sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat sekali lagi ketika ia melihat Hui Siang.

“Hui Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?”

Ching-toanio berkata, kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.

“Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya……. dia berpacaran dengan enci Hui Kauw!”

“Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!” ibunya membentak marah.

Biarpun di dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel buta.

Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh ibunya yang biasanya memanjakan.

“Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan saputangan suteranya kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi saputangan itu. Aku marah dan menyerangnya, eh……. kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Lalu muncul enci Hui Kauw dan……. enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas …….?”

“Waaaaahhhhh, mata keranjang! Tidak punya mata tapi bisa mata keranjang, apa yang lebih aneh daripada ini? Dasar laki-laki!”

Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang cepat melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiripun tidak mengerti mengapa ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi saputangan sutera?

Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya…….

“Dasar tukang cium…….!” Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang mengkal.

Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya dan tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh laki-laki tinggi besar.

Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandangnya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar.

“Nona, kau tidak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat penting,” katanya sambil mendekat.

Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah mau menyerangnya, akan tetapi ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di belakangnya.





“Aku tidak sudi!” katanya setengah membentak. “Biarkan aku jalan sendiri!”

“Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan menghubungkan kami dengan ayahmu,” kata pula Souw Bu Lai.

Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakangnya, cepat ia miringkan tubuh membalik. Kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan menyerangnya.

Loan Ki kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu! Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan penangkapan ini benar-benar cepat dan hebat, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekalipun sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.

“Monyet-monyet tua muda, kalian mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu jurus!” ia memaki-maki.

“Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular kita, Ibu?”

Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik. Bergidik juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan umpan atau kurban didalam sumur dikeroyok ratusan ular, ia benar-benar merasa ngeri dan kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut-takut kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!

“Ha-ha-ha, dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?” Ka Chong Hoatsu berkata. “Pinceng curiga terhadap sahabat yang buta itu, maka sementara ini pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke taman menemui orang buta itu.”

Beramai mereka lari ke taman bunga mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat kedua tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan menyumpah-nyumpah. Pangeran Mongol itu hanya tertawa saja.

Diam-diam gadis ini harus mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri. Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki.

Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi saputangan seorang gadis bernama Hui Kauw, kedua kalinya karena ia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ketiga kalinya sekarang ia menjadi seorang tawanan, dibelenggu seperti seekor domba!

Awas kalian, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekaii ayahku kuberitahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini dibumi hanguskan, tak seorangpun manusia atau seekorpun mahluk diberi hidup! Akan tetapi, dibalik ancamannya ini, ia sendiri ragu-ragu apakah ayahnya akan mampu menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama sekali hwesio tua itu.

Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tak dapat menahan mulutnya lagi berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong,

“Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!”

Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki ini. Ia tidak perdulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,

“Ki-moi! Kau selamat? Syukurlah!”

“Hong-ko, kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus kedalam jurang, hampir mampus, menerima hinaan orang, tapi kau……. kau malah berpacaran dan enak-enak senang-senang disini. Wah, sahabat macam apa kau ini?”

Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya.
“Ki-moi, jangan kau percaya akan fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran disini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani menghinamu?”

Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka terdengar bentakan marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka dan memaksa mereka mengalihkan perhatian. Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh kemarahan,

“Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang balasanmu? Berjina dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!”

Terdengar oleh Kun Hong suara “plak-plak-plak!” tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Biarpun tak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa dara bersuara bidadari itu telah ditampar tiga kali mukanya oleh si ibu yang galak.

“Ibu……. maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan……. dan aku sama sekali tidak melakukan perbuatan tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini memasuki taman menemukan saputanganku yang tertinggal disini. Harap ibu jangan mempercayai segala fitnah keji…….”

“Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!”

“Srrrrrttt! Singgggg!”

Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorangpun diantara para tamu berani mencampuri urusan antara ibu dan anak.

Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang ditangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur seperti kilat menyambar kearah leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikitpun tidak bergerak seakan-akan sudah rela menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan memenggal lehernya dan maut yang akan merenggut nyawanya.

Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan berkelebat.

“Criinggggg”

Pedang di tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujungnya melayang keatas entah kemana sedangkan sisanya masih terpegang Ching-toanio, menggetar dan mengeluarkan bunyi!

Ching-toanio berdiri seperti patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada disitu, kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.

“Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang gadis muka hitam!” Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.

Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak memperdulikan teriakan Loan Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya itu.

“Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak membunuhmu?”

Ucapan ini selain mengandung perasaan kasihan, juga merupakan teguran. Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.

“Saudara Kwa, ia……. ia ibuku…….” jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak tertahan.

Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran mengapa ibunya seperti itu?

“Dia bukan ibumu!” Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.

“Heeeee? Saudara Kwa……. bagaimana kau bisa tahu akan hal ini…….?”






No comments:

Post a Comment