Ads

Monday, January 21, 2019

Pendekar Buta Jilid 034

“Dia tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekalipun takkan mungkin membunuh anaknya, apalagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan ibumu!” suara Kun Hong lantang.

Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai dimana kelihaian ilmu pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat di tandingi oleh kebanyakan ahli silat ternama.

Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching-toanio, benar-benar membuat hwesio tua ini tidak mengerti. Padahal yang dipakai untuk menangkis hanya sebatang tongkat, dan gerakannya ketika menangkis tadipun hanya cepat saja, tidak luar biasa.

Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. Dibuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini.

Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk diakal. Ia tidak tahu bagaimana cara pedangnya sampai patah tadi, akan tetapi ia tidak perduli dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat diluar pengetahuannya.

Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju,
“Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri urusanku?”

Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi, malah kalau tidak keliru, menurut pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus,

“Harap Toanio dan Cuwi sekaiian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri? Toanio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tidak melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi.”

“Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biar kuwakili kau membereskannya!” bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena wanita bekas kekasih sutenya ini tadi mengalami penghinaan.

Dia adalah seorang Mancu yang berangasan, dan diapun seorang yang memiliki kepandaian tinggi lebih tinggi daripada Ching-toanio, murid dari Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.

“Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, lancang memasuki tempat tinggal orang berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!”

Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa orang ini tentu lebih lihai daripada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.

“Bouw-enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap bertingkah atau menjuai lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik dan kalau kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan mencampuri urusan orang lain.”

Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jerih dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia tertawa menyeringai dan membentak lagi,

“Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira disini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu? Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!”

Serta merta Bouw Si Ma menerjang, pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan menderu menyerang kearah dada Kun Hong.

Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jerih atau bingung. Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini telah terlibat dalam urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Ching-coa-to. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapapun juga.





Sekarang karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran.

Dengan hati sedih dia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin berat dan hebat. Namun, orang yang diserangnya bergerak aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayanganny sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.

“Bouw-loenghiong, aku tidak ingin berkelahi…….”

Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum juga dia habis bicara, lawannya sudah mengirim lagi penyerangan sebanyak tujuh jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan dan tendangan-tendangan kaki yang lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan ini mengandung tenaga Iweekang tersembunyi cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya ke akhirat.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil saja sudah menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang. Untuk memberi peringatan, pada jurus ketujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat lehernya, Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya kearah belakang atau punggung kepalan kiri orang Mancu itu.

“Aduh…….. keparat…….!”

Orang-orang yang berada disitu, kecuali Ka Chong Hoatsu, terheran-heran karena tidak ada yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya melihat pemuda buta itu terhuyung kesana kemari dengan kedua tangannya bergerak-gerak seperti mengimbangi badan agar tidak jatuh.

Kenapa Bouw Si Ma yang penuh semangat menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya mendadak menggigil seperti orang terserang demam malaria? Akan tetapi karena Bouw Si Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja dia menggigil dan segera dia dapat menguasai dirinya kembali dengan jalan menyalurkan Iweekang untuk melawan getaran hebat dari sentilan si buta yang tepat menyinggung jalan darahnya itu.

“Bocah buta she Kwa, kau sudah bosan hidup!” teriaknya sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, terus saja menyerang hebat.

Kun Hong kaget sekali. Desing pedang ketika dicabut dan desir angin serangan senjata itu membuat dia maklum bahwa ternyata dalam hal ilmu pedang, orang Mancu ini jauh lebih lihai daripada ilmu silat tangan kosongnya. Pedang yang digunakannya pun sebatang pedang yang ampuh, sedangkan tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan pedang amat kuat dan matang. Kiranya orang Mancu ini seorang ahli pedang, pikirnya.

Kun Hong tidak berani gegabah, tidak mau memandang rendah dan cepat sambil miringkan tubuh dan menekuk lutut ke belakang, tongkatnya dia gerakkan untuk menghalau serangan lawan. Benar saja dugaannya, ketika tongkatnya terbentur dengan pedang lawan, pedang itu tergetar dan dari getaran ini langsung menyeleweng menjadi serangan lanjutan yang lebih ganas!

Kun Hong berlaku hati-hati sekali. Gerakan lawan ini selain cepat dan bertenaga, juga amat aneh, belum dikenalnya karena merupakan ilmu pedang dari utara yang beraneka ragam. Dengan Kim-tiauw-kiam-hoat, yaitu Ilmu Pedang Rajawali Emas yang gerakannya gesit dan kelihatan aneh pula, dia selalu berhasil menghindarkan diri menggunakan langkah-langkah rahasia sambil menggerakkan tongkat untuk membentur pedang lawan.

Orang-orang disitu menjadi makin terheran-heran. Pemuda buta ini terhuyung kesana kemari seperti orang mabuk, cara dia menghadapi serangan-serangan Bouw Si Ma amat aneh dan kacau, tidak seperti ilmu silat, akan tetapi mengapa semua serangan Bouw Si Ma selalu mengenai tempat kosong belaka? Lebih heran lagi adalah Ka Chong Hoatsu, karena hwesio tua ini melongo menyaksikan Kim-tiauw-kun, lalu terdengar dia berbisik,

“Apa setan tua Bu Beng Cu menurunkan ilmunya kepada bocah buta ini?” pikirannya melayang-layang kepada masa lampau, ketika dia masih muda pernah bertempur melawan kakek Bu Beng Cu sampai ribuan jurus dan akhirnya dia harus menerima kekalahan dengan tulang pundak patah ketika Bu Beng Cu mempergunakan ilmu silat seperti gerakan burung yang amat aneh.

Semenjak itu dia tak pernah bertemu pula dengan kakek Bu Beng Cu, malah selama berpuluh tahun merantau, belum pernah dia melihat ilmu silat aneh itu dimainkan orang. Kenapa sekarang tiba-tiba bocah buta ini bisa mainkan ilmu membela diri yang tampaknya sama benar dengan gerakan-gerakan Bu Beng Cu dahulu?

Sementara itu, ketika melihat betapa Bouw Si Ma belum juga mampu menjatuhkan si buta, Souw Bu Lai si Pangeran Mongol mengeluarkan gerengan keras dan menerjang maju sambil membentak,

“Setan buta, kau benar-benar hendak menjual lagak disini!”

Sekaligus Pengeran Mongol ini menggerakkan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu sehelai sabuk baja digandeng-gandeng saling mengait dan setiap mata kaitan mengandung duri meruncing. Inilah senjata semacam joan-pian baja yang amat berbahaya karena lawan yang terkena ujungnya saja tentu akan terluka hebat!

Sambaran senjata mengerikan itu lewat diatas kepala Kun Hong ketika pemuda buta itu mengelak sambil merendahkan tubuh. Dari suara desir anginnya Kun Hong tahu bahwa penyerangnya yang baru ini memiliki tenaga gajah sehingga sekali lagi hatinya mengeluh. Dia harus menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh dan siapa tahu kalau pertempuran ini tidak akan menjadi makin hebat jika yang lain-lain maju pula.

“Aku tidak ingin berkelahi……. ah, kenapa kalian berdua mendesakku?”

“Sublai, gunakan Liok-coa-kun!” tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata kepada muridnya.

Souw Bu Lai menyanggupi dan segera ruyung lemas di tangannya bergerak cepat sekali, menyambar-nyambar seperti enam ekor ular yang mengeroyok seekor katak.

Liok-Coa-Kun atau Ilmu Silat Enam Ekor Ular adalah ciptaan Ka Chong Hoatsu sendiri yang berdasarkan penyerangan dan mempertahankan dari enam penjuru, yaitu dari kanan kiri muka belakang dan atas bawah. Gerakan-gerakannya meniru gaya gerakan ular yang sukar sekali diduga oleh lawan, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini.

Ka Chong Hoatsu yang merasa curiga menyaksikan gerakan permainan silat Kun Hong sengaja menyuruh muridnya menggunakan ilmu simpanan itu karena dia hendak memaksa Kun Mong mengeluarkan kepandaiannya sehingga dia dapat mengenal betul dari aliran manakah bocah buta yang amat lihai dan masih muda sudah memiliki ilmu kesaktian ini.

Tingkat kepandaian Pangeran Souw Bu Lai sebetulnya tidak lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bouw Si Ma. Malah boleh dibilang orang Mancu murid Pak Thian Lo-cu ini lebih matang dan lebih banyak pengalamannya karena memang lebih tua.

Akan tetapi karena senjata yang dipergunakan oleh pangeran itu lebih jahat dan ganas, maka bantuannya ini memiliki daya penyerangan yang tidak kalah hebatnya sehingga Kun Hong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya. Lebih banyak lagi jurus-jurus Kim-tiauw-kun harus dia keluarkan untuk menyelamatkan dirinya, karena dua orang ini benar-benar mengarah nyawanya. Tongkatnya berkelebatan, kadang-kadang tampak cahaya kemerahan dari pedangnya Ang-hong-kiam yang tersembunyi di dalam tongkat.

Sementara itu, Ching-toanio menjadi makin marah melihat betapa dua orang tamu yang amat diandalkan itu tetap juga belum dapat merobohkan si buta yang telah mendatangkan kekacauan di pulau. Ia menoleh kearah Hui Kauw dan makin panas hatinya melihat anak pungutnya ini memandang kagum dan penuh kekhawatiran kepada Kun Hong yang dikeroyok. Malah ia mendengar suara gadis itu perlahan.

“Curang……. curang……. matanya sudah buta masih dikeroyok…….”

Ching-toanio meloncat ke depan Hui Kauw, matanya menyinarkan cahaya bengis.
“Hui Kauw, betul-betulkah kau tidak main gila dan berjina dengan bocah buta itu?”

“Tidak, Ibu.”

“Kalau begitu, hayo kau bantu Pangeran Souw dan pamanmu Bouw untuk merobohkan dan membikin mampus setan buta itu!”

Hening sejenak, kecuali suara beradunya senjata-senjata mereka yang sedang bertempur. Lalu lirih terdengar

“…….tapi……. kedua orang yang begitu lihai masih tak mampu mengalahkannya, apalagi aku, Ibu? Kepandaianku amat rendah, mana bisa menangkan dia…….”






No comments:

Post a Comment