Ads

Monday, January 21, 2019

Pendekar Buta Jilid 032

“Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Adapun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!”

Tiga orang laki-laki yang berada disitu tersenyum, malah Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini menyuramkan “sinar” mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.

“Budak! Kau berani kurang ajar di depan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?” teriak Ching-toanio dan bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati.

Serangan ini hebat bukan main, mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki. Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri kalau ia tidak cepat-cepat mempergunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sukar dari ilmu silat keturunannya Sian-li-kun-hoat.

Tubuhnya mencelat bagaikan dilemparkan keatas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya. Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, namun angin pukulan yang dilontarkan nyonya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada di punggungnya.

Terdengar suara “brett!” dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh keatas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.

“Oho, bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?” terdengar suara parau dari Souw Bu Lai.

Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali lihat dia telah mengenalnya, apalagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kangouw.

Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi, maka ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini berseru

“Toanio, tahan dulu!”

Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki,

“Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li-kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?”

“Hemmm, bagus kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesalpun sudah terlambat!”

Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapapun juga ia takkan mampu melawan, baru nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apalagi yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Daripada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.

“Aha, bagus!” Ka Chong Hoatsu berseru. “Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan ?”

Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada mengedikkan kepala dan meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata,

“Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?”

Akan tetapi mulutnya berkata bangga.
“Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini.”

Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh berahi. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika ia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali.





Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.

“Budak liar! Hayo katakan kau ini apanya ketua Thai-san-pai?” bentak Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.

Biarpun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Ia seringkali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apalagi dari golongan hitam.

Setelah berpikir beberapa detik lamanya, ia lalu tertawa dengan nada sombong sekali.
“Hi-hi-hik, biarpun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!”

Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini.

“He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?” Tanya Ka Chong Hoatsu.

“Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang diantara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan nonamu ini Tan Loan Ki adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa berani menentang ayahku?”

“Ha-ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!” kata hwesio tua itu dan semua orang yang berada disitu memang sudah mengenal Tan Beng Kui.

Mereka menarik napas lega dan menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia.

Pertama, ia tahu bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Kedua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu. Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki dan berkata,

“Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah segolongan, maka tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai disini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?”

Loan Ki tidak goblog untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Iapun tersenyum ramah dan berkata,

“Wah, ayah tentu girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kangouw. Bagus, karena cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar ditambah sepuluh kali jumlah mereka takkan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to.”

Seperti lagak anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang tak pernah terjadi tentang pengeroyokan. Padahal kalau tidak ada Kun Hong, mana ia bisa mendapatkan mahkota itu?

“Ho-ho, memang tidak mudah, tapi pinceng bolehkah melihat sebentar?”

Tongkat hwesio itu menyelonong ke depan, Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!

“Ha-ha-ha, tenang, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini mahkota yang aseli.”

Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota, melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada disitu, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam iapun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai dari padanya.

Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut.

“Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!”

Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak dan Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan gadis ini bulat-bulat. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.

“Kau mau apa?” tanya Loan Ki dengan alis berkerut.

Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih berkilat dibalik kumis panjang, kumis model Mongol,

“Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku…….”

“…….kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!” tukas Loan Ki galak.

Souw Bu Lai tertawa.
“Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memamg aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona.”

“Wah, sudahlah, aku tidak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, kembali kedarat.”

“Kau datang tak diundang, pulangpun tak usah minta diantar,” jawab Ching-toanio cemberut.

“Hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tidak boleh pinjam, curipun masih bisa.”

Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan kearah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu.

Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang amat cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya kekiri sedangkan orang yang lari itupun tiba-tiba berhenti, begitu tiba-tiba dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang pandai. Keduanya berpandangan dan tak terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji,

“Aduh cantiknya……”

Orang itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi, wajahnya terawat baik dengan bantuan pelayan-pelayan ahli, pakaiannya selalu mentereng sehingga biarpun ia puteri seorang pemilik pulau, namun sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga kaisar di istana!






No comments:

Post a Comment