Ads

Sunday, January 13, 2019

Pendekar Buta Jilid 013

Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya.

“Ibu…………. ibu.”

“In-kong……………… kau bunuhlah kami………….. biar terbebas kami daripada penderitaan ini ………….”

Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua kakinya.

“Kau salah sangka………….. kau salah mengerti……..” katanya sambil duduk kembali. “Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twa-so……………”

“In-kong………….” wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka diatas dada Kun Hong.

Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur dan mengusap-usap rambut A Wan yang menangis diatas pangkuannya.

“Tenanglah, duduklah Twa-so, dan mari kita bicara baik-baik.”

Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya.

“…………. ohhh……… maafkan aku, In-kong………”

Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala diatas pangkuan ibunya sekarang.

“Twa-so, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang dengan kehadiranku disini semalam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan daripada tidur menginap disini dengan akibat merusak namamu, Twa-so!”

“Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benar-benar bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini disini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku.”

Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

“Twa-so, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir………… akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau……….. menikah lagi.”

“In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki disekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi…………… mereka hanya ingin mempermainkan, In-kong. Aku tidak sudi……. apalagi Song-wangwe, aku tidak sudi, biar dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku.”

Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan wataknya.

“Susah kalau begitu. Twa-so, apakah kau tidak mempunyai keluarga?”

“Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul dimana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!”





Suara wanita itu memperdengarkan kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

“Orang yang datang tadi? Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati diwaktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-so?”

Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita. Tadinya ia hidup bahagia dengan suaminya, seorang petani muda she Yo. Biarpun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan milik mereka sebidang sawah, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan.

Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir, mereka adalah korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.

Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah disekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.

Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang “berbudi” itu membuat surat perjanjian juai beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol.

Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya “menyerahkan” isteri yang cantik manis itu menjadi “penghibur” tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.

Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.

Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya dan bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah.

Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga. Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok dimasa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat.

Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan “pengadilan”, bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wang-we dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan, isterinya menjadi gelisah sekali.

Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia……. mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!

“Demikianlah, In-kong…………” Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya yang bercucuran. “Penderitaanku tidak hanya sampai disitu saja……….. setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku menjadi……….. isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada hartawan Song………….”

Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar penuturan janda muda ini.

“…….. tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan………” janda itu melanjutkan, masih terisak, “bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong……….. kalau saja aku tidak melihat A Wan……… ah……….. agaknya sudah lama aku menyusul suamiku……..”

Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

“Besarkan hatimu, Twa-so, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?”

“Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa…………”

Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang kearah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung.

“In-kong……….. kau tidurlah………”

“Biarlah, Twa-so, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang.”

“Aku hendak menyelesaikan ini dulu……..” jawab janda muda itu.

Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut diantara kedua matanya itu.

Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang………..!

Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang kearah pemuda buta dengan hati penuh belas kasihan.

Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis diatas tubuh puteranya, lalu menengok kearah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

“In-kong……………?”

Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang diatas tikar rombeng yang dingin.

Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersamadhi dengan bebas.






No comments:

Post a Comment