Ads

Sunday, January 13, 2019

Pendekar Buta Jilid 012

Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai? Ah, dia mendapat akal. Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek.

Setelah itu dia boleh memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, ia dapat memuaskan hati nyonya rumah.

Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.
“Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu disini, sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!”

“Tapi………. tapi……..” Kun Hong berusaha membantah.

“Harap In-kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam…………”

Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.
“Tapi badanku kotor semua…………. aku harus membersihkan badan dulu……. begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?”

Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu.

Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

“A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!” kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

“Hayo, Paman buta!”

Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya keluar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika keluar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

“Siapa mereka, A Wan?” tanyanya.

“Paman-paman dan bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman,” jawab anak itu dengan singkat.

Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan anehnya, tak seorangpun diantara mereka menegur anak ini!

Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.

Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap tiba-tiba menghentikan percakapan mereka dikala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan,

“Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara.”

Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

“………… perduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kuberikan kepada siapapun juga baju suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau…………. kau selalu mengganggu……………. saudara misan yang durhaka!”





“Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa diantara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, kulaporkan kepada Song-wang-we (hartawan Song)!” Terdengar suara laki-laki memaki.

“………….. pergi…………! Pergi…….! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi………!” Wanita itu berseru marah.

“Ibu……………! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?”

A Wan tak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

“A Wan, kau sudah pulang?”

Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.

Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya. Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar.

Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenalnya, tentu ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan,

“Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong.”

“Terima kasih…………… terima kasih…………. aku menyusahkan saja,” kata Kun Hong dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya.

Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan tempat itu, setelah pakaiannya sendiri kering.

Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat daripada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu, alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

“Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui.”

“A Wan!!” ibunya menegurnya.

“Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku…………… aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah.”

Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya.

“Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi…………………..”

“Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi akupun tidak akan mencuri lagi, ibu marah-marah,” kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan inipun membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan.

Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang disudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

“Dia sudah tidur, Twa-so. Dimana tempat tidurnya?” tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama baru terjawab lirih.
“……. disini juga………. disini juga” napas panjang, tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

“In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah……………. tempat kami duduk, makan dan tidur…………….”

“Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Kemanakah dia?”

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan,
“Dia sudah………….. sudah tidak ada……………….”

“Tidak ada? Kemana ??” Kun Hong tidak menduga buruk.

“…………. sudah meninggal dunia…….tiga bulan yang lalu…………..”

“Ahhh………….!”

Kerut diantara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda dimasa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin. Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan.

Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan.
“Twa-so, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?”

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

“Orang-orang bilang dia mirip dengan aku.”

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

“Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu,” katanya pula.

“…………… baru dua puluh tiga umurku.”

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan diatas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata,

“Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga.”

“………… kenapa………..? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya…………..”

Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri.

“Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun…………”

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“In-kong…………. engkau juga begitu…………?? Ah, kalau begitu………….. kau pukulkan tongkatmu itu kepadaku…….. kau bunuh saja aku, In-kong……….. apa artinya hidup kalau semua orang……. juga kau yang kumuliakan……….. memandang serendah itu kepadaku……..? Kau bunuhlah aku………… kau bunuhlah.”






No comments:

Post a Comment