Ads

Sunday, January 13, 2019

Pendekar Buta Jilid 014

Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas.

Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak disaat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur diranjang berkasur atau diatas tikar rombeng?

Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.

Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!

“Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!” terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

“Dung! Dung-dung!”

Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

“Celaka, In-kong…………., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah……..”

Benar-benar seorang berpribudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik bagi sijanda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

“Tenanglah, Twa-so…………. tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorangpun akan berani mengganggu kau atau A Wan.”

“Dung-dung-brakk!” Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

“Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu…………. kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!” teriakan Lao Tiu terdengar pula. “Dipelihara Song-wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!”

“Kreeeeettttt…………..!”

Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi kerut merut diantara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan mukanya pucat.

“Wah, tak tahu malu………….. tak tahu malu……….. berjina dengan jembel buta………… kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!”

Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu.

Janda itu berbisik menjawab,
“Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe………..”

Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat.





Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan diatas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri.

Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain seperti orang dikeroyok ribuan ekor semut. Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

“Aduh………. a……… a…………. aduhh……….. lepaskan……….” dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan.

Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik kesana kemari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan.

Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

“Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!”

Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada tanah, memukul-mukulkannya perlahan.

Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

“Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!” kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

“In-kong, jangan……… kasihan dia……..” janda itu berseru penuh kengerian.

Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.

“Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau? Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!”

“M……M… ampun………. ampun……..” dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.

Kun Hong menengok kekanan kiri, bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua disitu, menonton.

“Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat disini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!”

Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan.
“Hayo antar aku ke rumah majikanmu!”

Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata,
“Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar disini, biar mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja disini jangan ikut aku ke rumah Song-wang-we. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!”

Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting.

Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan “si janda Yo”!

Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat. Sambil mengomel panjang pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.

Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

“Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali.”

Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi “eh-eh, ah-ah, oh-oh” saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya.

Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya. Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki,

“Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”

Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai disitu saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

“Mundur semua!” Kun Hong membentak. “Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!”

Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

“Jangan serang……………. uh-uhh……. jangan serang………….. goblok…………..!”

Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!

Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat.

Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

“Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ketempat ini?” tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.

Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak,
“Hayo jawab!”

“Tidak…………… ti……….. tidak tahu……..” suaranya gemetar tubuhnya menggigil.






No comments:

Post a Comment