Ads

Sunday, January 13, 2019

Pendekar Buta Jilid 011

Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.

“He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga.”

“Tidak………..” perempuan itu menangis.

“Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?”

“Ampun, Tai-yin……….. hamba…….. hamba tidak bisa………..”

“Tar! Tar!” Cambuk berbunyi mengerikan di udara, diatas kepala wanita itu. “Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus baru menurut!”

Cambuk itu menyambar kearah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan keatas.

Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat, sesosok bayangan menyambar kearah si pemegang cambuk dan pada detik lain si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!

Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi.

Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.

“Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!” Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. “Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawal yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!”

Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.

Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.

“Kau……….. kau siapakah? Siapa namamu………..?”

“Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja dengan aku!”

Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya.

Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuannya, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).

“Kau……….. kau anak Hoa-san-pai……….. putera ketua Hoa-san-pai………?” Dia bertanya gagap.

Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang.
“Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!”





Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita itu, ah, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.

“Pergi………..!”

Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya. Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,

“Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!”

Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar kearah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan,

“Aduhh……….. aduh……….. mulutku……….. gigiku rontok semua……….. aduh ……..!” Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh.

Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya.

Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit diantara kedua matanya.

“In-kong (tuan penolong)……….. terima kasih atas budi In-kong yang telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak………..” dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.

Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.

“Jangan berlutut………… jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-so (kakak), aku tidak berani menerima penghormatan seperti ini.”

Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

“Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?” anak kecil itu bertanya, timbul pula keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

“Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita………..”

“Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!” Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. “Paman buta, kenapa kau tadi diikat?”

Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang.

“Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!”

“Tidak!” jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. “Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi………. Paman buta………..”

“Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!” bentak ibunya. “In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam.”

“Tak usahlah, Twa-so, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku.”

Kun Hong mencegah, dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

“Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan……….. dan……….. kau harus makan dulu………..” suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan.

Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan,

“In-kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku……….. aku tak mampu membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya……….. untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja……….. ah, In-kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!”

Anak itu dengan suara merdu berkata,
“Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah………..”

“A Wan………..”

Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa,

“Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik………………”

“Paman buta, mari kutuntun kau masuk.”

Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya.

Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.

“Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng…………..” Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

“Sini, Paman, sini duduklah…….”

Anak itupun mempersilakannya. Kun Hong maju dua langkah dan ternyata disitu terbentang sehelai tikar dialas tanah! Dia lalu duduk bersila diatas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut diantara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

“Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu.”

Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya keatas.

“Tidak usah, Twa-so, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini………….. aku……. aku tidak perlu berganti pakaian.”

Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil.
“Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar.”

“Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!” anak itu berkata.






No comments:

Post a Comment